Mag-log inDavin tersenyum lembut, ada kehangatan samar di matanya, seolah ia masih sulit percaya bahwa wanita yang kini berdiri di hadapannya adalah sosok yang dulu pernah ia kenal begitu dekat.
“Kalian saling kenal?” tanya Arka sambil melirik bergantian antara Davin dan Dina, nadanya penuh selidik. Davin menoleh pada Arka, lalu kembali menatap Dina. “Dinarayu ini adik tingkatku semasa kuliah,” ujarnya tenang. “Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu di sini. Dan ternyata kamu istrinya sahabatku.” Dina menelan ludah. Ada getar halus yang tak mampu ia sembunyikan. Lelaki ini masih membawa sesuatu dalam dirinya. Kenangan yang lembut, tapi menyesakkan. “Mas… apa kabarmu?” tanyanya tanpa sadar. Belum sempat Davin menjawab, Arka meremas pinggang Dina sedikit kasar, seolah memberi peringatan tanpa suara. Dina tersentak kecil, berusaha menyamarkan rasa perih dengan senyum kaku di wajahnya. “Baik,” jawab Davin akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi matanya menatap tajam ke arah Arka, menyadari sesuatu di balik gestur kecil tadi. Meski tak diucapkan terang-terangan, ia bisa merasakan ada ketidaksukaan yang disembunyikan Arka sejak Dina membuka percakapan. Senyum tipis terbit di wajah Davin, mencoba mencairkan suasana. “Kau masih sama seperti dulu rupanya,” ujarnya ringan. “Masih tipe yang mudah cemburu. Tenang saja, aku tidak akan merebut istri cantikmu ini.” Arka ikut tersenyum. “Aku tidak berpikir seperti itu,” balasnya, sebelum menoleh pada Dina dengan senyum yang justru membuat wanita itu hampir tak tahu cara bernapas. “Karena istriku ini…” Ia menahan kalimatnya sejenak, menatap dalam ke arah Dina—pandangan yang terasa seperti belenggu. “…tidak akan bisa pergi dariku.” Ucapan itu membuat bahu Dina menegang. Senyum yang semula ia paksakan perlahan memudar. “Berarti dia sangat mencintaimu,” ujar Davin, tatapannya meredup penuh tanya, menelusuri wajah Dina, memperhatikan bagaimana wanita itu menatap suaminya—bukan dengan cinta, melainkan ketakutan yang berusaha disembunyikan. “Tentu saja,” sahut Arka cepat, senyum di wajahnya menipis menjadi garis tajam. “Ia tergila-gila padaku.” Davin terdiam. Ia menunduk sedikit, menghela napas samar sebelum berkata dengan nada yang lebih lembut, “Ah, syukurlah kalau begitu.” Namun ketika matanya kembali bertemu dengan mata Dina, ada kesedihan yang tak sempat ia sembunyikan. Arka kemudian mengajak Davin bergabung ke meja panjang bersama keluarga. Suasana ramai oleh percakapan hangat. Arka tertawa bersama Davin, mengulang kisah lama dan proyek bisnis yang mereka banggakan. Dina hanya diam, menunduk, menyendok makanan di piring tanpa benar-benar tahu apa yang ia kunyah. Sesekali, ia merasakan tatapan Davin jatuh padanya. Sekilas, tapi berulang. Beberapa kali pandangan mereka bersinggungan. Dina buru-buru mengalihkan mata, pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Jantungnya berdetak terlalu cepat, ia membenci dirinya karena merasa gugup. Sementara itu, Arka terlalu sibuk menumpahkan cerita tentang kesuksesan yang seolah tak ada habisnya, dan segala hal yang harus menegaskan citra dirinya di mata semua orang. Suaranya mendominasi meja, riuh dengan kebanggaan yang berlebihan. Davin mendengarkan, sesekali tersenyum dan menimpali singkat, tapi matanya lebih sering bergerak ke arah Dina yang duduk diam di sebelah Arka. Sekali waktu ia menimpali percakapan ringan tentang rasa masakan di meja, sebelum akhirnya berkata pelan, nada bicaranya lebih lembut dari percakapan yang lain. “Masakannya enak sekali,” pujinya. “Rasanya mengingatkanku pada bekal yang dulu sering kamu bawa ke kampus. Masakan ibumu masih seenak dulu, ya?” Dina tertegun. Ia sempat menatapnya ragu. Ia tak menyangka Davin masih mengingat bekal makan siang yang sering ia bagi diam-diam di taman kampus. Ia menatap Davin. “Iya,” jawabnya pendek. Davin tersenyum kecil. Hanya itu, tapi cukup untuk mengguncang sesuatu di dada Dina, perasaan hangat yang sudah lama terkubur, muncul lagi dengan cara yang begitu tenang. Dina buru-buru mengalihkan pandangan, meneguk air putih di gelasnya untuk menyamarkan kegugupan. Tapi di ujung mata, ia bisa melihat Davin masih menatapnya. “Davin,” suara Arka memecah suasana. “Kamu belum cerita, apa alasanmu akhirnya kembali ke Indonesia? Terakhir aku dengar, kamu sudah begitu betah di negara orang.” Semua mata tertuju pada Davin. Lelaki itu tersenyum kecil. “Aku pulang untuk menemui tunanganku,” ujarnya tenang, seolah kalimat itu hal yang biasa. Beberapa orang di meja tersenyum senang. Kecuali Dina yang nampak terkejut. “Wah, kabar baik itu! Selamat ya, Nak Davin,” sahut Arman ramah. “Terima kasih, Pak Arman,” jawab Davin sopan. “Kami akhirnya memaksa dia pulang dan segera menikah,” ujar Veronika. “Usianya sudah cukup matang, sudah saatnya membangun keluarga sendiri.” Ester menimpali dengan nada setuju, “Benar sekali, Bu Vero. Lagi pula, Nak Davin ini anak tunggal, pewaris satu-satunya keluarga Halim. Sudah sepatutnya ia punya pendamping yang bisa menemani dan menjaga rumah tangga juga bisnis keluarga.” Arka juga ikut menimpali. “Kamu harus mengenalkan calon istrimu pada kami.” Davin menatap Arka sebentar, lalu sekilas menatap Dina sebelum mengangguk kecil. “Tentu saja. Akan aku kenalkan. Dia pribadi yang baik dan mudah bergaul.” Senyum dan ucapannya terdengar ringan, tapi bagi Dina ada debar aneh yang tiba-tiba menyeruak. Sesuatu yang tak seharusnya ia rasakan, apalagi hanya karena alasan sederhana seorang lelaki yang katanya betah di negeri orang kini memilih pulang. Bodoh, pikirnya, kenapa hatinya terasa sesak padahal tidak ada yang salah dengan alasan itu. **Saat Davin masih berada di dalam kamar, bersiap-siap untuk menghadapi hari yang panjang, ponsel Dina bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arka.Dina segera membukanya, dan napasnya tercekat membaca barisan kalimat itu.[Dina, aku tahu kamu bersama Davin. Pulang sekarang dan jangan bertingkah. Davin pasti sudah menceritakan masalah yang dia hadapi, kan? Itu peringatan kedua dariku.][Dan jangan membuatku menyebarkan foto mesra kalian di depan publik. Kamu tahu, pembukaan resort baru kekasihmu itu tinggal beberapa minggu lagi. Jangan sampai impiannya batal dan hancur total hanya karenamu.]Dina membeku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya mulai bergetar tanpa sadar. Teror Arka terasa begitu nyata, menusuk hingga ke jantung. Arka tidak hanya mengancam dirinya, tetapi menggunakan Davin sebagai senjata.Dina menyadari dengan rasa putus asa yang menyakitkan, ia tidak punya pilihan lain selain kembali pada Arka. Pria itu tidak akan pernah melepaskannya. Arka akan mengh
Davin duduk di samping Dina di sofa Apartemen, jari-jarinya menggenggam erat tangan Dina. “Arka tidak mungkin melakukannya sendiri. Dia terlalu pengecut,” ujar Davin. “Pasti ada orang suruhan, dan orang itu pasti meninggalkan jejak.”“Tapi bagaimana, Mas? Polisi tidak menemukan apapun yang mencurigakan saat memeriksa tadi. Bahkan kamera pengawas pun rusak jadi tidak ada bukti di sana,” balas Dina, kepalanya masih terasa berat. “Polisi pasti menganggapnya kecelakaan biasa karena instalasi listrik atau kerusakan gas.”Davin menarik napas panjang. "Kita tidak bisa mengandalkan polisi sekarang. Kita harus mencarinya diam-diam. Bukti pertama yang harus kita cari adalah di lokasi kebakaran."Dina menatapnya bingung. “Maksudmu, kembali ke sana?”“Aku punya kenalan. Seorang penyelidik swasta yang sangat andal dan dapat dipercaya,” jelas Davin. “Kita butuh bukti yang bisa membuktikan adanya bahan pemicu api yang disengaja. Api tidak menjalar secepat itu, Arka pasti menggunakan sesuatu.”Da
Dina kini benar-benar terisolasi dan hancur, menyadari motif Arka bukanlah cinta, melainkan dendam, kepemilikan, dan kontrol.Dina tidak tahu berapa lama ia berdiri terpaku, menatap punggung Arka hingga pria itu menghilang ke lantai atas. Ketika keheningan yang dingin kembali menguasai rumah itu, Dina sadar ia harus bertindak. Ia tidak bisa lagi tenggelam dalam keputusasaan.Dengan tangan gemetar, ia meraih kembali ponselnya dan mencari nama Davin. Hanya Davin satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong. Mengadu semua rasa sakitnya. [Halo, Dina? Ada apa?]Dina tidak bisa menahan suaranya agar tidak pecah. “Mas jemput aku sekarang juga. Aku butuh kamu.”[Apa terjadi sesuatu?] Suara Davin terdengar cemas. “Tolong datang saja, Mas. Nanti aku jelaskan.”[Baiklah. Mau ku jemput dimana? Restotan?]“Jangan ke sana, Mas! Jangan! Jemput aku di persimpangan jalan depan komplek perumahanku.” [Baiklah. Tunggu aku, Sayang. Lima belas menit.]Begitu mengucapkan kalimat tersebut, Davin se
“Pernikahan ini hanyalah alat, Dina,” jawab Arka enteng, senyum meremehkan itu kini terasa sangat menjijikkan. “Karena dengan menikahimu, aku bisa lebih leluasa menyakitimu sesuka hatiku tanpa dicampuri siapa pun.”“Kenapa, Mas? Apa salahku padamu sampai kamu harus sejahat ini?” Air mata Dina mengalir, bukan lagi karena putus asa, tapi karena rasa sakit pengkhianatan mendalam.Ekspresi Arka berubah dingin. “Salahmu? Kakek menginginkanku menikahi wanita miskin sepertimu dan memaksaku memodali usaha restoranmu. Aku harus menghabiskan waktuku dengan wanita rendahan yang sama sekali tidak kuinginkan. Apa kamu pikir aku bisa menerimanya dengan senang hati? Egoku tertampar, Dina.”Arka menekan setiap kata. “Kakek tidak melihat betapa kompetennya aku dalam memimpin perusahaan. Tapi dia memberi syarat kalau aku ingin kursi direktur dan menjadi pewaris kekayaannya, aku harus menikahimu. Kamu adalah syarat, bukan pasangan.”Dina menahan napas, hatinya sakit tak tertahankan. Setiap kata yan
Dina menatap puing-puing bangunan dengan hati yang hancur. Aroma gosong dan asap tebal menyesakkan paru-paru. Ia bergerak perlahan di antara sisa-sisa bangunan yang hangus, mencoba mengamankan apa pun yang mungkin terselamatkan dari dapur atau area kasir.Ia segera menyadari, kerugian yang ditelan bencana ini sangat besar. Kepalanya sibuk menghitung, mencoba mencocokkan total kerusakan dengan sisa tabungan yang ia miliki. Pertanyaan pahit itu terus berputar: Apakah uang ini cukup untuk merenovasi ulang, bahkan membangunnya kembali dari awal?Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Dina mengusap wajahnya yang berantakan, merasakan debu dan air mata yang mengering.“Aku butuh dana tambahan. Tapi dari mana mendapatkannya?” gumamnya, suara putus asa yang tertelan oleh sisa-sisa suasana kacau.Ia melirik sekeliling. Meskipun sebagian besar telah dievakuasi, masih banyak petugas pemadam kebakaran, polisi, dan beberapa warga lokal yang penasaran. Mereka berbisik-bisik. Bisik-bisik liar mu
Hari itu berjalan normal, di tengah rutinitas sore yang sibuk, hingga kabar buruk itu meledak tanpa peringatan.Dina baru saja keluar dari gudang bahan baku, mengelap tangan di apron saat seorang staf muda berlari mendekat. Wajahnya pucat pasi, matanya membesar seperti hendak copot.“Bu, di dapur … Kebakaran!” Staf itu terengah-engah, suaranya putus-putus, seolah udara pun terhambat oleh kengerian yang baru saja ia saksikan.Dina membeku di tempat, seolah pendengarannya gagal memproses dua kata mengerikan itu. “Apa yang kamu bilang?” tanyanya, suaranya serak dan menipis. Tubuhnya mendadak kaku seperti disetrum.“Kebakaran, Bu! Di dapur! Apinya cepat sekali menjalar!” ulangnya terburu-buru.Tanpa menunggu lagi, Dina membuang lap dan berlari ke arah dapur. Matanya langsung menangkap pemandangan yang menghancurkan. Kepulan asap hitam pekat sudah memenuhi koridor belakang. Lalu, ia melihat kobaran api merah-oranye yang melompat buas, melahap dinding, menjilat langit-langit dengan kec







