Share

2. Frustasi

last update Last Updated: 2024-01-10 12:51:10

Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri membeku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat Universitas Panca Satrya.

Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak.  Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napas dengan kasar.

Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.

Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya dirinya juga yang menjadi salah satu dosen penguji gadis itu?

Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pundak gadis itu. Sosok putih itu pun lantas mengurungkan niatnya.

“Pak Dosen Arya,” sapa seseorang secara tiba-tiba dari arah belakang.

Pria yang ternyata bernama Arya itu menoleh ke belakang. “Oh, Pak Rudy. Ada yang bisa saya bantu?”

“Jadwal sidang skripsi untuk bulan depan sementara diundur, Pak.“

“Diundur?”

Pria bernama Rudy itu mengangguk. “Pengumuman sudah ditempel di papan pengumuman, baik di rektorat maupun di masing-masing fakultas, termasuk di perpus pusat dan perpus fakultas masing-masing.”

Ingatan sang dosen melayang ke beberapa menit yang lalu. Inikah penyebab wajah murung itu?

“Masih ada selebarannya? Kalau masih ada, saya minta satu.”

“Ada, Pak.” Rudy, staf administrasi rektorat menyerahkan satu lembar pengumuman mengenai pengunduran sidang skripsi dan  jadwal sidang skripsi yang baru. “Ini, Pak.”

“Oke. Terima kasih banyak.” Arya membaca sambil melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Mundur dua bulan?? Kedua netra Arya pun melebar, dan condong ke depan. Ia tidak menyangka akan mundur selama itu. Mengapa diundur? Apakah ada rapat atau kegiatan yang mendesak hingga ditunda dua bulan lamanya?

Ia mencoba mencari sosok gadis tadi, tapi sejauh mata memandang ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Mungkin gadis itu sudah pulang atau pergi ke suatu tempat. Arya lalu melanjutkan langkahnya. Ia kembali ke gedung perpus,  mengambil beberapa silabus untuk jam kuliah yang diampu-nya, hari ini.

-0-

“Dosa gua apa ya? Kenapa mereka tega mengubah jadwal seenak jidat mereka sendiri?” Dinda duduk  di kursi kantin, meja  yang biasa  ditempati geng-nya.

Mita diam. Ia tidak berani menjawab. Selain karena memang tidak tahu alasan dibalik pengunduran jadwal sidang ujian, Mita takut jika jawabannya nanti justru menambah kekecewaan sahabatnya.

“Lu nggak makan, Mit?” Dinda melambaikan tangannya ke arah pelayan.

Mita menggeleng. Semula Mita ingin berkeluh kesah soal biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat mengikuti wisuda bulan depan. Akan tetapi, melihat Dinda yang seperti ini, ia jadi tidak tega. Kesusahannya tidak sebanding dengan rasa kecewa Dinda.

“Tumben anak-anak yang lain belum pada datang.” Dinda mencari sosok Yuda dan Seno. Celingukan ke arah parkiran motor. “Atau pada naik mobil ya?” Kembali Dinda menyapukan pandangannya ke area parkir mobil.

Sayangnya, ia tidak mendapati dua sahabatnya itu, melainkan sosok lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya, setidaknya itu dalam ingatan Dinda. Menyipitkan kedua netranya, Dinda berusaha memperhatikan sosok yang sedang turun dari mobil jeep berwarna coklat tua metalik.

“Wow!! Ternyata ada cowok cakep di kampus ini. Kemana aja gua selama ini?” Dinda terus mengikuti pria putih  berkacamata yang melintas di tengah area parkiran mobil.

“Siapa, Din?” Mita mencoba mengikuti arah pandang Dinda.

“Itu. Cowok pake kemeja lengan panjang putih plus kacamata hitam.” Dinda menunjuk dengan dagunya.

“Ya ampun, Dinda. Lu mainnya emang kurang jauh ya…. Doi kan kemarin yang nguji kita. Namanya Pak Arya. Duduk di sebelah kiri Pak Hasan.  Bu Mega, dosen kesayangan lu, di sebelah kanan Pak Hasan, kalau lu juga lupa.”

“Amit-amit ya kesayangan gua. Musuh mah iya.” Dinda protes keberatan.

“Doi baik tuh. Sempat nanyain ke kita-kita. Pada belajar sama siapa?”

“Nggak lu jawabkan? Bagus.”

“Gua jawab, belajar sama elu. Dinda.”

“Apa?! Semua juga jawab begitu?” Dinda menatap Mita tidak percaya. Bukannya bangga, tapi Dinda justru lemas.

“Nah iya kan. Emang kita semua belajar sama elu. Masa iya gua jawab belajar sama Pak Yon kantin?”

“Astaga, Emak! Pantas aja gua kagak lulus. Itu nyonya besar kan benci banget sama gua. Dia nggak terima kalau gua pintar dan cantik. Makanya lu-lu pada dilulusin, sedang gua nggak. Niat amat dia ya bikin gua sengsara!!!” Dinda mulai mengomel lagi. Kali ini dengan dendam dua kali lipat.

Mita tidak terima. “Kalau untuk ini, gua nggak bisa bohong, Din. Emang benar karena elu,  kita semua bisa paham dengan skripsi kita, dan semua teori pendukungnya. Masa iya gua nggak mengakui semua kepintaran dan kebaikan lu. Jahat amat gua kalau berani begitu. Sahabat macam apa gua?”

Dinda mengaduk es jeruknya dengan kuat, hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu. Emosinya kembali naik.

“Jadwal diundur. Terus sekarang sudah ketahuan nyonya besar kalau gua beneran pintarnya. Terus kira-kira kapan gua bisa lulus  dari sini, heh?!”

Mita kali ini memilih diam. Melihat Dinda yang galau seperti ini, separuh hatinya tidak tega. “Ketimbang galau mulu, kita hang out aja yuk, Din? Kemana, kek. Bosan juga gua lama-lama di sini.” Mita berdiri dari duduknya.

“Ogah, ah! Gua mending pulang aja. Dah males juga gua ke perpus. Tau diundur begini, gua jadi tambah males.” Dinda membayar es jeruk yang sudah ia seruput habis.

“Ya udah kalau gitu. Bareng gua aja. Gua mau ke rumah tante gua.” Mita menarik tangan Dinda. “Lagian, sekarang napa nggak pernah bawa mobil diri lagi, sih?”

“Males debat sama Bang Jablay. Cerewet aja saban gua pulang sore. Orang dia punya mobil sendiri juga, masih aja ngrusuhin punya orang.”

“Hah? Bang Jablay? Sapa dia?” Mita tidak paham siapa yang dimaksud Dinda.

“Siapa lagi kalau bukan kakak gua,”jawab Dina sengit. “Dah, ah. Jangan ghibahin dia terus. Ntar habis stok pahala kita.”

Mini copper milik Mita meluncur mulus setelah keluar dari area parkir fakultas. Tepat di depan  gedung rektorat, ternyata mereka berpapasan dengan sang dosen tampan.

Mita membuka kaca mobilnya. “Pak Arya!! Dapat salam dari teman saya, Pak. Salam manis dari Dinda, Pak.”

Arya sontak menoleh begitu mendengar teriakan dari mobil di sampingnya. Dia melihat gadis yang tadi dilihatnya di perpus pusat duduk di samping gadis yang berteriak-teriak, tengah menjambak rambut temannya itu.

“Bukan begitu. Yang benar begini.” Dinda meralat. Lalu gadis itu  ganti berteriak ke arah Arya. Tanpa rasa malu, Dinda mengucap kata-kata yang membuat Arya terhenyak.

“Pak. Kita nikah, yuk???!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 45

    Dinda mencoba membuka kedua netranya. Hari masih begitu gelap, dan suasana masih begitu sunyi. Samar, terdengar rintik ujan mulai turun mengenai genteng, menyebarkan bau khas tanah. Tangan Arya masih memeluk erat tubuh Dinda, seakan enggan berada jauh dari wanita muda itu. Bukannya menyingkirkan tangan pria yang menikahinya empat tahun lalu, Dinda justru memeluk erat tubuh Arya.Arya yang semula masih terlelap, terbangun oleh gerakan kecil di sampingnya. Pucuk kepala Dinda menyapu lembut dagunya, membuatnya merasa geli sesaat. Secara reflek, Arya mengecup puncak kepala Dinda. "Kenapa bangun?" Suara serak Arya terdengar di telinga Dinda."Hmmm. Hujan. Dingin."Arya tersenyum. "Hmm. Begini pasti nggak akan dingin lagi." Arya juga mengeratkan pelukannya pada Dinda. Dinda terkekeh. Keduanya tidur saling berpelukan di balik selimut tebal yang sejak awal sudah menemani tidur keduanya. Sayangnya, usaha Dinda untuk dapat kembali memejamkan netranya tidak berhasil. Ia menggeliat, lalu mele

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 44

    "Om Dani! Bian mau yang itu." Brilian menarik-narik tangan Dani agar mendekat ke etalase yang penuh dengan macam-macam puding di rak paling atas. Warna-warni dan hiasan di atas puding, membuat Brilian tidak mengalihkan pandangannya dari etalase itu.Dani menepati janjinya pada dua keponakannya. Ia membawa Fahriza dan Brilian ke gerai kue Maya, membiarkan Fahriza dan Brilian memasuki gerai itu lebih dulu, sedang Dani berjalan di belakang dua bocah kecil itu, sambil tersenyum.Gerai kue Maya mulai ramai dengan pembeli, sehingga agak menyulitkan kedua bocah itu untuk memilih. Dani terpaksa menggandeng tangan Fahriza, agar bisa menyusul Brilian yang sedang fokus di etalase."Fahriza juga mau?"Bocah perempuan dengan alis seperti busur panah, tebal dan hitam itu mengangguk. Ia mulai memilih sedangkan Brilian memilih stroberi dengan lapisan vanila di atasnya."Hanya itu?" tanya Dani begitu melihat hanya satu puding yang dipilih Brilian."Boleh ambil lagi?" Brilian ragu."Bolehlah. Mumpung

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 43

    Dani ternyata tidak menepati janjinya pada Brilian. Dia menepikan mobilnya tepat di depan gerai Maya, lalu memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dani keluar dari mobil lalu melangkah tegas masuk ke gerai Maya.Suasana gerai yang tidak terlalu ramai membuat Dani bebas bergerak. Ia bebas mengamati seluruh bagian gerai, dan isi apa saja yang ada di rak-rak kue. Ia menemukan kue-kue yang dibeli Dinda kemarin.Ia teringat pada percakapannya semalam dengan Dinda. Lapis legit dan lapis surabaya. Dua kue yang menjadi kesukaan Dinda, yang ingin Dinda pesan di sini, dan dirinya tadi malam telah menawarkan bantuan untuk memesankan kue-kue itu."Semoga menjadi awal yang baik untuk ke depannya," ucapnya dalam hati meneguhkan niatnya mendekati meja kasir yang sedang kosong."Selamat Pagi." Dani menyapa Maya dengan suara datar. Betapa Dani sedang berusaha keras menahan lonjakan kegirangan dalam hatinya.Maya bergegas bangkit dari duduknya. Hal biasa yang ia lakukan jika pelanggan datang ke meja kasir saa

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 42

    Dani mengunyah sus yang berhasil ia ambil dari tas belanja Dinda. Ia mengunyah sambil berpikir apa yang akan ia katakan setelah tiba di gerai kue Maya, besok. Ya. Dani berencana untuk tetap mendatangi gerai Maya, meski sempat bersitegang dengan sang adik. Bagaimanapun, Dani adalah anak tertua, yang memiliki rasa mengayomi kepada adiknya. Jiwa itu tidak dapat hilang dari dirinya, meski merasa kesal terhadap Dinda. "Permisi. Mau pesan kue lapis, bisa? Dua loyang. Diambil nanti bisa?" Dani bermonolog sendiri. Ia membayangkan jika saat ini sudah berdiri di hadapan Maya.Merasa aneh, Dani mengganti kalimatnya, dan itu terus berulang hingga ia merasa capek sendiri. Pada akhirnya, Dani menyerah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan dan katakan besok. Yang jelas, ia tetap akan pergi ke gerai Maya esok hari.-0-Brilian dan Fahriza sudah siap dengan seragam dan tas sekolah masing-masing. Dinda sibuk menata bekal untuk dua bocah kecil itu, sedangkan Arya memanaskan mesin mobil. Kehebohan di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 41

    Dinda terkekeh sendiri. "Nanti aja deh ceritanya. Biar Om Dani sendiri yang cerita. Sekarang, Tante mau makan ini. Fahriza mau?" Dinda menyodorkan tas belanjanya ke hadapan Fahriza.Bocah perempuan itu mengangguk. Ia asyik memilih mana yang lebih menarik untuk disantap. "Bungkusnya kayak yang dibawa Om Dani," gumam Fahriza mengamati cupcake yang ia pilih."Belinya di tempat yang sama, ya jelas sama, dong. Coba Fahriza makan. Rasanya enak nggak?""Oke."Dinda memilih mengambil kue lapis lalu memberikannya pada Arya. "Tadi mau ambil lapis surabaya, tapi malah yang diambil ini.""Ya besok beli lagi atau pesan. Minta dibuatkan yang ukuran satu loyang penuh," usul Arya. Ia menjadi salah satu penggemar kue lapis surabaya dan lapis legit, sejak mengenal Dinda. Ia suka rasa ringan dan creamy dari mentega pada kue lapis surabaya dan rasa legit pada kue lapis legit. Bisa membuatnya merem melek tidak karuan. Apalagi ditemani kopi pahit. Bisa-bisa Arya tidak konsentrasi bekerja.Keduanya asyik me

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 40

    "Tante yang mana ini?" Dinda menatap Dani penuh curiga. Ia mencium satu rahasia yang Dani sembunyikan darinya. "Kenapa nggak diajak kemari aja? Biar mama nggak cerewet terus tiap menit tiap detik saban hari?"Dani membisikkan sesuatu pada Brilian, lalu bocah kecil itu terkekeh. "Mama jadi beli lontong, nggak? Bian mau sama Om Dani aja. Makan ini." Brilian mengangkat tas kertas itu ke atas."Kamu suka? Memang sudah pernah beli itu? Mama baru tahu ini, deh." Dinda mengambil tas kertas itu dari tangan Brilian. Ia membaca lalu bergumam sendiri. "Perasaan pernah liat tulisan ini. Tapi dimana, ya?"Dani melangkah masuk membiarkan adiknya sibuk mengingat lambang yang tertera di tas kertas itu. Ia sendiri langsung melangkah ke dapur, membuat minuman segar yang sejak tadi menggodanya.Melihat Dani yang cuek, membuat Dinda merasa sangat aneh. "Kak! Something happened, ya?" tanya Dinda penuh selidik.Dani menolak untuk memberitahu. "Nggak ada. Kenapa sih repot amat?""Ya, nggak gitu lah. Dulu j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status