Share

6. Bujang Lapuk

last update Last Updated: 2024-01-25 09:08:42

Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat. 

Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali. 

"Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?'

Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita.

"Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali. 

"Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?"

"Nemenin mama make sanggul. Nggak ada yang lain." Dinda diseret Mita ke arah kantin mini yang ada di salon itu.

"Yaaa... Kirain lu juga ikutan. Kalau lu ikut kan seru nih. Bakal banyak yang akan terpana dengan kecantikan elu." Mita benar-benar ingin melihat sahabatnya itu dandan barang sehari, mengingat Dinda lebih senang berpenampilan sederhana, apa adanya. Hanya sapuan bedak tipis dan lipgloss berwarna pink muda yang mewarnai bibirnya.

"Ogah, ah. Itukan tugas mama papa gua. Gua nggak ada urusan. Mending tidur sama guling ketimbang ke sana."

Dinda tidak sadar jika ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jauh. 

"Lagi liat siapa?" Anggun menghampiri Arya yang tengah begitu serius menatap Dinda.

"Oh-eh, Mama. Nggak, Ma. Bukan siapa-siapa. Heran aja. Ini salon keren juga ya konsepnya. Ada mini kantinnya juga. Sering ke sini ya, Ma?" Arya menjawab sambil tertawa kecil. Ia berusaha bersikap wajar, meski jujur, dirinya sendiri masih begitu terkejut melihat mahasiswinya, ada di tempat yang sama dengannya saat ini. 

Anggun mengangguk pelan.

"Mama sudah selesai?"

"Sudah. Ayo, kita pulang. Nanti papa kamu uring-uringan lagi." Anggun berjalan mendahului Arya ke luar dari salon itu.

-0-

Dinda menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu, sedangkan Sari segera masuk ke dalam kamar berganti pakaian dan merias wajahnya. Broto sendiri sudah siap sejak tadi dan kini tengah membaca majalah bisnis.

"Memangnya siapa yang nikah sih, Pa? Kok banyak banget tadi yang dandan di salon?"

"Rektor punya mantu."

"Oh. Rektor mana?"

"Rektor kampus kamu itu."

"Hah? Kok Dinda nggak diundang?"

"Ngapain ngundang kamu? Bocil labil. Ntar malah ngerusak acara." Tiba-tiba Dani datang dan duduk di seberang Dinda.

"Enak aja bocil labil. Primadona kampus nih. Sampai-sampai Si Dosbing ogah ngelulusin." 

Dani tergelak. "Gitu kok sombong. Malu kali."

"Ngapain malu. Habis ini kan mau nikah. Iya kan, Pa?" Dinda melirik Broto, berharap sang papa mendukung sandiwaranya.

Broto menganggukkan kepalanya, membuat Dani tercengang.

"Serius, Pa? Pria mana yang mau sama bocil labil begini?" Dani benar-benar tidak percaya.

"Yang jelas dia pria tulen, cakep dan pintar seperti saya." Dinda melirik sebal ke arah kakaknya itu. Memangnya dia nggak pantes dapat pria tampan dan mapan?

"Nggak percaya. Berani taruhan. Doi pasti bujang lapuk yang umurnya udah kepala empat, yang perutnya buncit ke depan, kepala botak di bagian tengah." Dani terpingkal dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri. 

Bantal kursi sukses mendarat di wajah Dani. "Taruhan diterima. Kalau sampai doi ternyata sangat tampan dan seksi, kakak harus beliin Dinda aipong terbaru."

"Deal." Dani tanpa pikir panjang menyetujui permintaan Dinda. "Berlaku juga sebaliknya, kalau tebakan kakak benar, berarti kamu yang harus beliin aipong itu buat kakak."

"Deal!"

-0-

Dinda menunggu kedatangan Mita di kantin kampus. Kepalanya pening begitu sadar dengan harga aipong yang dijadikan taruhan antara dirinya dengan Dani.

"Gimana kalau Dani bener? Gimana kalau emang yang mau sama gua ternyata pria buncit kepalanya botak di tengah? Mati gua!" Dinda menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya, di atas meja kantin.

Sepuluh menit berlalu, yang ditunggu Dinda akhirnya datang. "Ngapain lu, Din? Migrain? Si Mona datang nge-ganggu lagi?" Mita mencolek bahu Dinda.

"Eh, Mit. Lu punya kenalan cowok yang lagi nyari calon istri nggak? Kenalin ke gua dong?"

"Hah?!" Mita jelas mendelik. "Lu ngomong apaan sih, Din? Nggak paham gua."

"Gua lagi nyari calon suami," jawab Dinda lugas, terdengar sangat jelas di telinga Mita, membuat gadis berambut sedikit ikal sepanjang bahu itu menarik sebal ujung rambut belakang Dinda.

"Apaan sih, Mit?! Sakit tahu nggak?!" 

"Lah elu, pagi cerah begini, becandanya nggak jelas."

"Loh, gua serius ini. Serius! Gua udah bikin sumpah, kalau sampai sidang kedua gua kagak lulus, gua mending merit sama pria yang ngajak gua nikah duluan."

Mita kembali dibuat terbelalak mendengar perkataan Dinda. "Lu serius?"

Dinda mengangguk mantab. "Semakin serius lagi karena Dani ngajakin gua taruhan. Dia taruhan kalau calon suami gua bujang lapuk, perut buncit, kepala botak."

Mita kali ini terbahak mendengar itu. "Jadi, sekarang lu takut?"

"Jelaslah! Gimana-gimana kan gua masih waras, Mit. Masih doyan pria tampan yang mapan."

Mita langsung terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebuah nama tiba-tiba melintas di benak Mita. "Lu mau nggak pedekate ma Pak Arya?" Mita berbisik di telinga Dinda.

"Pak Arya?? Ogah! Lu bilang doi udah pernah sama  Si Mona. Masa iya gua dapat bekas orang, Mit. Yang masih ting-ting, dong." Dinda langsung protes begitu mendengar nama sang dosen tampan.

Mita berdecak. "Kan itu baru rumor, Din. Gua juga kagak tahu beliau nerima tawaran Si Mon-Mon atau nggak. Yang gua tahu, beliau masih single. Background keluarganya juga jos. Kaya, Cakep. Apalagi ya?" Mita mengetuk-ketuk keningnya dengan jari telunjuk.

"Yang lain."

"Adanya cuma itu."

Dinda diam. 

"Ketimbang Dani menang. Lu beneran dapat bujang lapuk, berumur empat puluh ke atas, dengan perut buncit dan kepala botak di tengahnya?" 

Dinda menghela napas, dan Mita menganggap jika sahabatnya itu setuju dengan idenya.

"Oke. Gua akan mulai mencari info tentang Pak Arya. Secepatnya, gua akan usahain lu berdua bertemu empat mata."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 36

    Mendengar ucapan Mita, Sandra sontak meilhat ke arah perut putri tunggalnya. Ia memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, tapi perut Mita masih terlihat sama seperti perut Dinda. Tidak ada yang berbeda. "Kamu hamil lagi?" Suara Sandra terdengar ragu-ragu. Ada rasa senang dan bahagia tapi, keraguan datang tiba-tiba, membuatnya tidak yakin dengan berita yang disampaikan putrinya sendiri.Mita mengangguk. "Nggak direncanakan kok, Ma." Mita jadi tidak yakin mamanya itu bahagia dengan berita ini. Berbanding terbalik dengan Chandra, sang papa. Sambutan yang diberikan Sandra tidak seperti bayangannya."Berapa bulan?" Sandra bertanya sambil terus memperhatikan perut Mita."Hmm, lupa, Ma." Mita mendadak gugup dengan sikap Sandra yang demikian"Lupa? Gimana sih kamu ini? Hamil kok bisa lupa usia kandungannya?" Mita syok dengan sikap Sandra. Apakah mamanya tidak suka punya banyak cucu? Apakah mamanya tidak akan mengakui anak keduanya?"Kalau dibawah lima bulan berarti belum bisa tahu dong jeni

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 35

    Sandra mengerjapkan kedua netranya. Kabur. Itu yang pertama kali ia rasakan. Ruangan itu begitu sunyi tanpa suara yang ia kenal, kecuali suara mesin deteksi detak jantung yang terdengar begitu nyaring di telinganya.Wanita itu mencoba bangun, tapi gelombang rasa mual datang tiba-tiba. Kepalanya terasa sangat pusing. "Dimana ini?" Sandra kembali memejamkan netranya seraya meredakan rasa panik yang merayap datang. Setelah berhasil menguasai diri, Sandra berusaha membuka netranya. Namun untuk kali ini, ia melakukan dengan perlahan.Pandangannya masih kabur, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Terdengar suara pintu didorong dari luar. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke biliknya. Sandra kembali menutup netranya. Langkah kaki itu berhenti tepat di biliknya, mendekat ke berbagai mesin yang Sandra tidak tahu nama dan fungsinya, kecuali mesin deteksi detak jantung.Tangan hangat menyentuh pergelangan tangannya, menekan beberapa saat lalu beralih ke selang cairan infus. Sandra merasa ad

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 34

    "Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" Di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 33

    "Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 32

    "Mama masuk rumah sakit?" Mita nyaris membiarkan Fahriza jatuh dari pelukannya.Fahri langsung menghampiri Mita yang mendadak jadi linglung. "Buruan ganti baju. Kita ke rumah sakit sekarang. Papa Chandra sendirian." Fahriza berusaha memahami apa yang terjadi. Mamanya yang tba-tiba menjadi linglung dan papanya yang bergerak ke sana kemari menyiapkan pakaian untuk sang mama. "Papa ...' Fahriza akhirnya memberanikan diri untuk bertanya."Hmm. Papa belum bisa ajak Iza. Biar papa dan mama lihat keadaaan nenek dulu. Besok mungkin Iza baru bisa ikut ke rumah sakit."Nenek sakit?"Fahri mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala putrinya. "Doain nenek cepat sehat kembali, biar kita bisa berlibur bersama-sama.""Iya, Pa. Iza akan doain nenek bial cepet sembuh.""Anak pintar." Fahri mengajak putrinya untuk ke lantai bawah, menitipkannya pada Dinda dan Arya."Saya titip bocah ini dulu. Om Chandra di rumah sakit.""Eh?! Om Chandra? Sakit apa? Kok mendadak sekali? Bukannya kemarin baik-baik aj

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 31

    Wanita yang keluar dari mobil Dani terlihat sangat cantik. Mita dibuat kagum hingga ia melupakan es teler pesanannya yang sudah selesai disiapkan. Gestur tubuh wanita itu sangat dikenalnya. Tapi, tunggu dulu. Mengapa pakaian wanita itu agak aneh? Kedua alis Mita terangkat.Ia melangkah meninggalkan tenda milik Ahmad. Menyeberang sambil terus mengamati gerak-gerik wanita cantk yang kini jaraknya tinggal beberapa langkah darinya. Dani yang mengenali sosok Mita yang mendekat, menatap tajam ke arah Mita. "Ngapain ke sini? Bukannya jalan-jalan ke mall?" tegur Dani setengah emosi."Eh? Elu. Ngapain ke sini? Gua kira siapa? Beli apaan? Kenapa nggak telpon gua aja?" Mita menghiraukan teguran Dani yang tampaknya tidak ikhlas mengorbankan waktunya hanya untuk jajan di warung tenda seperti ini.Dinda mendelik kesal. "Lu bilang kenapa nggak telpon elu? Gimana gua mau telpon, kalau hape lu aja lu tinggal! Tuh, Fahriza nangis di rumah. Dia minta emaknya. Untung bujukan Dani mempan, bikin dia ngga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status