Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat.
Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali.
"Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?'
Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita.
"Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali.
"Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?"
"Nemenin mama make sanggul. Nggak ada yang lain." Dinda diseret Mita ke arah kantin mini yang ada di salon itu.
"Yaaa... Kirain lu juga ikutan. Kalau lu ikut kan seru nih. Bakal banyak yang akan terpana dengan kecantikan elu." Mita benar-benar ingin melihat sahabatnya itu dandan barang sehari, mengingat Dinda lebih senang berpenampilan sederhana, apa adanya. Hanya sapuan bedak tipis dan lipgloss berwarna pink muda yang mewarnai bibirnya.
"Ogah, ah. Itukan tugas mama papa gua. Gua nggak ada urusan. Mending tidur sama guling ketimbang ke sana."
Dinda tidak sadar jika ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jauh.
"Lagi liat siapa?" Anggun menghampiri Arya yang tengah begitu serius menatap Dinda.
"Oh-eh, Mama. Nggak, Ma. Bukan siapa-siapa. Heran aja. Ini salon keren juga ya konsepnya. Ada mini kantinnya juga. Sering ke sini ya, Ma?" Arya menjawab sambil tertawa kecil. Ia berusaha bersikap wajar, meski jujur, dirinya sendiri masih begitu terkejut melihat mahasiswinya, ada di tempat yang sama dengannya saat ini.
Anggun mengangguk pelan.
"Mama sudah selesai?"
"Sudah. Ayo, kita pulang. Nanti papa kamu uring-uringan lagi." Anggun berjalan mendahului Arya ke luar dari salon itu.
-0-
Dinda menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu, sedangkan Sari segera masuk ke dalam kamar berganti pakaian dan merias wajahnya. Broto sendiri sudah siap sejak tadi dan kini tengah membaca majalah bisnis.
"Memangnya siapa yang nikah sih, Pa? Kok banyak banget tadi yang dandan di salon?"
"Rektor punya mantu."
"Oh. Rektor mana?"
"Rektor kampus kamu itu."
"Hah? Kok Dinda nggak diundang?"
"Ngapain ngundang kamu? Bocil labil. Ntar malah ngerusak acara." Tiba-tiba Dani datang dan duduk di seberang Dinda.
"Enak aja bocil labil. Primadona kampus nih. Sampai-sampai Si Dosbing ogah ngelulusin."
Dani tergelak. "Gitu kok sombong. Malu kali."
"Ngapain malu. Habis ini kan mau nikah. Iya kan, Pa?" Dinda melirik Broto, berharap sang papa mendukung sandiwaranya.
Broto menganggukkan kepalanya, membuat Dani tercengang.
"Serius, Pa? Pria mana yang mau sama bocil labil begini?" Dani benar-benar tidak percaya.
"Yang jelas dia pria tulen, cakep dan pintar seperti saya." Dinda melirik sebal ke arah kakaknya itu. Memangnya dia nggak pantes dapat pria tampan dan mapan?
"Nggak percaya. Berani taruhan. Doi pasti bujang lapuk yang umurnya udah kepala empat, yang perutnya buncit ke depan, kepala botak di bagian tengah." Dani terpingkal dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri.
Bantal kursi sukses mendarat di wajah Dani. "Taruhan diterima. Kalau sampai doi ternyata sangat tampan dan seksi, kakak harus beliin Dinda aipong terbaru."
"Deal." Dani tanpa pikir panjang menyetujui permintaan Dinda. "Berlaku juga sebaliknya, kalau tebakan kakak benar, berarti kamu yang harus beliin aipong itu buat kakak."
"Deal!"
-0-
Dinda menunggu kedatangan Mita di kantin kampus. Kepalanya pening begitu sadar dengan harga aipong yang dijadikan taruhan antara dirinya dengan Dani.
"Gimana kalau Dani bener? Gimana kalau emang yang mau sama gua ternyata pria buncit kepalanya botak di tengah? Mati gua!" Dinda menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya, di atas meja kantin.
Sepuluh menit berlalu, yang ditunggu Dinda akhirnya datang. "Ngapain lu, Din? Migrain? Si Mona datang nge-ganggu lagi?" Mita mencolek bahu Dinda.
"Eh, Mit. Lu punya kenalan cowok yang lagi nyari calon istri nggak? Kenalin ke gua dong?"
"Hah?!" Mita jelas mendelik. "Lu ngomong apaan sih, Din? Nggak paham gua."
"Gua lagi nyari calon suami," jawab Dinda lugas, terdengar sangat jelas di telinga Mita, membuat gadis berambut sedikit ikal sepanjang bahu itu menarik sebal ujung rambut belakang Dinda.
"Apaan sih, Mit?! Sakit tahu nggak?!"
"Lah elu, pagi cerah begini, becandanya nggak jelas."
"Loh, gua serius ini. Serius! Gua udah bikin sumpah, kalau sampai sidang kedua gua kagak lulus, gua mending merit sama pria yang ngajak gua nikah duluan."
Mita kembali dibuat terbelalak mendengar perkataan Dinda. "Lu serius?"
Dinda mengangguk mantab. "Semakin serius lagi karena Dani ngajakin gua taruhan. Dia taruhan kalau calon suami gua bujang lapuk, perut buncit, kepala botak."
Mita kali ini terbahak mendengar itu. "Jadi, sekarang lu takut?"
"Jelaslah! Gimana-gimana kan gua masih waras, Mit. Masih doyan pria tampan yang mapan."
Mita langsung terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebuah nama tiba-tiba melintas di benak Mita. "Lu mau nggak pedekate ma Pak Arya?" Mita berbisik di telinga Dinda.
"Pak Arya?? Ogah! Lu bilang doi udah pernah sama Si Mona. Masa iya gua dapat bekas orang, Mit. Yang masih ting-ting, dong." Dinda langsung protes begitu mendengar nama sang dosen tampan.
Mita berdecak. "Kan itu baru rumor, Din. Gua juga kagak tahu beliau nerima tawaran Si Mon-Mon atau nggak. Yang gua tahu, beliau masih single. Background keluarganya juga jos. Kaya, Cakep. Apalagi ya?" Mita mengetuk-ketuk keningnya dengan jari telunjuk.
"Yang lain."
"Adanya cuma itu."
Dinda diam.
"Ketimbang Dani menang. Lu beneran dapat bujang lapuk berumur empat puluh ke atas, dengan perut buncit dan kepala botak di tengahnya?"
Dinda menghela napas, dan Mita menganggap jika sahabatnya itu setuju dengan idenya.
"Oke. Gua akan mulai mencari info tentang Pak Arya. Secepatnya, gua akan usahain lu berdua bertemu empat mata."
Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s
Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu
"Apakah kamu memiliki rencana lain untuk mendekati istriku?" tanya Arya penuh selidiki. Wajahnya begitu mengerikan, membuat Denny kehilangan selera makannya."Mas!" tegur Dinda kesal. "Apa-apan, sih? Jangan lupa kalau dia sudah menyelamatkan saya, dari niat buruk Bu Mega waktu itu."Arya merasa tertampar dengan peringatan Dinda. Benar. Seharusnya dia tidak harus bersikap cemburu seperti sekarang ini. Seharusnya dia tidak lagi mempermasalahkan rasa Denny yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan."Maaf."Dinda menggelengkan kepalanya. Ia yakin, ada kejadian yang membuat mood Arya seburuk ini. Akan tetapi, dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu karena masih ada Denny bersama mereka."Tidak apa-apa, Pak Arya. Wajar, kok. Sikap waspada seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Saya bisa memaklumi. Jika saya berada di posisi itu, pasti saya akan melakukan hal yang sama." "Thanks."Mereka mulai menyantap menu yang mereka pesan. Kali ini, Arya dan Dinda tidak seperti biasa. Mereka men
"Ada Bu Arya?" ulang Susi dengan ekspresi bingung yang tidak dapat ia tutupi. Ia tidak memahami bisikan Rini barusan. "Bukannya dia jadi IRT ya?" Rini tidak menjawab melainkan sibuk menata ekspresi wajahnya. Susi mengikuti kemana arah Rini menghadap sekarang, lalu menjadi salah tingkah sendiri.Susi lantas menginjak kaki salah satu rekannya yang masih sibuk mengoceh, hingga obrolan seru itu berhenti tiba-tiba. "Se-Selamat Pagi, Bu Arya," sapa Rini dengan sangat ramah. Siapa yang tidak mengenal sosok Dinda? Mahasiswi pintar yang tertunda kelulusannya karena sikap tidak profesional sang pembimbing, yang tidak lain dan tidak bukan wanita yang baru saja meninggalkan gedung itu."Selamat Pagi." Wajah Dinda yang cantik menjadi semakin cantik karena senyum manisnya. Dinda sengaja datang ke kampus untuk mencari informasi program magister untuk Dani."Ada yang bisa kami bantu, Bu?""Saya sedang mencari informasi program magister manajemen."Keempat pasang telinga yang ada di balik meja infor
"Semua sama. Tidak ada perlakuan yang beda." Kembali Arya menegaskan perihal penundaan rekrutmen tenaga dosen di kampusnya.Indra menggigit sedikit bagian dalam bibirnya. Aura rektor muda di depannya sangat mendikte dirinya. Ia yang baru empat bulan diterima sebagai asisten dosen, harus berulang kali menelan salivanya. "Menjadi asisten dosen di kampus-?" Arya kembali mengangkat wajahnya dari lembaran curriculum vitae milik Indra."Baru lima bulan, Pak.""Dapat informasi darimana?" "Dari teman, Pak. Pak Subagyo adalah teman sharing saya di lembaga pendidikan Bahasa Inggris EFC. Karena beliau sering keluar kota mengikuti training, sehingga beliau membutuhkan seorang asisten dosen. Dan kebetulan, mata kuliah yang diampu Pak Subagyo adalah jurusan saya, saya menyambut baik tawaran itu."Arya mengangguk paham. Mungkin ia perlu membicarakan hal ini dengan Subagyo suatu hari nanti.Kening Arya mendadak berkerut sesaat. Ada hal menarik yang ia temukan. Namun, ia segera menepis pikiran burukn
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kasi
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me