Home / Romansa / Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing / 7. Pergantian Dosen Pembimbing

Share

7. Pergantian Dosen Pembimbing

last update Last Updated: 2024-01-25 12:50:38

Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini.

Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir  jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya.

"Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?"

Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh."

Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?"

"Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?"

"Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen.

Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak."

Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha membaca kertas pengumuman yang terpasang di papan pengumuman. Sejenak netra Dinda terpaku pada satu nama yang tertera di sebuah kolom, di samping kolom yang tertera namanya. 

Dinda menahan napasnya. Ia mengerjap lalu kembali membaca pengumuman itu. Ada desiran aneh  yang kemudian mengalirkan sensasi dingin menyelinap di dalam hatinya. Ini pasti sebuah lelucon usil. Dinda kembali menatap papan pengumuman. Berulang kali ia membaca, tapi huruf-huruf itu tidak berubah.

"Huaaaa!" Sebuah teriakan keras dan tepukan berulang di pundaknya, membuat Dinda berjingkat ke belakang.

"Ciiyeee! Kabul nih doa gua semalam. Pucuk dicinta ulam tiba. Lu akhirnya punya waktu berduaan sama doi." Bisikan Mita terdengar begitu nyaring di telinga Dinda.

Wajah Dinda menjadi tegang. "Ini hasil perbuatan lu?" Dinda menatap tajam Mita.

Dan dengan cepat Mita menggelengkan kepalanya. "Gua belum bertindak apapun. Baru berdoa doang semalam sebelum tidur."

Di saat keduanya kembali memandang ke papan pengumuman, tiba-tiba seorang mahasiswa ke luar dari ruangan dosen.

"Yang bimbingannya Pak Arya, disuruh menghadap sekarang!"

Suara itu bagai petir menyambar Dinda. Ia merasa tubuhnya bagai disengat ribuan lebah. Wajahnya menjadi kaku dan tangannya menjadi dingin. Hatinya pun mulai berdetak tidak beraturan.

"Sana, gih. Doi  udah nungguin tuh." Mita menyikut lengan Dinda, tapi begitu melihat begitu banyak mahasiswa yang berjalan menuju ruangan Arya, gadis itu justru mengajak Dinda untuk menjauh sejenak dari komplek ruangan dosen itu.

"Ntar aja ke sananya. Kalau rame begini,justru kalian nggak bisa leluasa ngobrolnya."

Dinda menggeleng. "Lebih baik sekarang aja. Nggak papalah nggak leluasa. Yang pentingkan gua setor muka dulu."

"Loh, gimana sih lu, Din? Ni kesempatan lu buat bikin first impression ke doi. Biar doi inget terus sama elu."

"Tsk. Yang ada gua malah gak konsen ntar." Dinda melangkah meninggalkan Mita yang tampak kecewa usulnya ditolak. 

Sepanjang jalan menuju ruangan Arya, perasaan Dinda berkecamuk. Ada rasa senang akhirnya ia bisa bebas dari dosen pembimbingnya yang sangat menyebalkan itu. Namun, kini ia merasa tidak nyaman karena harus berkonsultasi dengan pria tampan yang digandrungi banyak mahasiswi di kampusnya. Apakah dirinya bisa selamat dari godaan maut di hadapannya itu?

"Dinda."

Tiba-tiba namanya dipanggil dari dalam ruangan. Ternyata, mereka harus menunggu panggilan dari sang dosen, baru bisa menghadap dan memperkenalkan diri masing-masing.

Dinda masuk dengan langkah tegas tapi tidak dengan hati yang tenang. Perasaaannya tengah kebat-kebit tidak karuan. Baru kali ini ia berhadapan langsung, face to face dengan sang dosen.

"Nama kamu benar Dinda .... "

"Dinda Erdiana Maharani, Pak."

Arya mengangkat wajahnya. Ia cukup terkejut melihat siapa yang sedang berdiri di depannya, dan tengah menatapnya lekat. Arya mulai merasa sedikit kikuk. Ia tidak pernah membayangkan jika gadis yang sudah beberapa hari ini mengganggu pikirannya, kini menjadi mahasiswi bimbingannya.

"Oh, iya. Silakan duduk." Arya berusaha bersikap tenang.

Dinda menarik ke belakang kursi di depannya. Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wajah Arya, dan Arya merasa sedikit salah tingkah ditatap Dinda sedemikian rupa.

"Kamu bawa skripsi kamu?"

Dinda menggeleng. "Tidak, Pak. Saya tidak tahu kalau ada pergantian dosen pembimbing. Saya pikir itu hanya berlaku untuk yang belum maju sidang saja."

Arya mengangguk. "Sebentar. Apa dulu kamu pernah saya uji?" Arya mengetes Dinda, apakah gadis itu mengingat dirinya sebagai salah satu pengujinya.

"Kata teman saya, iya, Pak."

"Loh, kok kata temannya? Kamu sendiri tidak ingat siapa saja tim penguji kamu?"

Dinda menggeleng tapi kemudian mengangguk. "Waktu itu saya hanya ingat wajahnya dia." Dinda merasa sangat melas menyebutkan mantan pembimbingnya.

"Dia?" Arya mengerutkan alisnya.

"Eh, maaf, Pak. Maksud saya, nama yang sangat malas saya sebutkan."

"Maksudnya?" Arya semakin menajamkan tatapannya ke wajah Dinda. 

"Maaf, Pak. Maksud saya Bu Mega." Dinda akhirnya menyebut nama Mega tapi tidak dengan nama lengkapnya.

"Kamu dendam dengan beliau?" 

"Jawaban tidak jujur, tidak dendam. Kalau mau jujur, iya, Pak."

Arya tidak lagi bertanya. Ia bisa memaklumi perasaan Dinda. "Jika benar kamu pernah saya uji, harusnya skripsi kamu juga ada di saya atau ..."

"Tidak, Pak. Skripsi hanya saya serahkan saat ujian."

"Kalau begitu, kamu harus datang menghadap saya lagi besok pagi."

Dinda terkejut mendengar permintaan Arya.

"Kamu sekarang menjadi mahasiswi bimbingan saya. Jadi, sudah selayaknya sebagai dosen pembimbing kamu, saya harus tahu seperti apa skripsi yang sudah kamu susun. Kamu harus menyerahkan skirpsi kamu untuk saya pelajari lebih lanjut, agar besok ketika kamu maju sidang, saya bisa memberi sedikit bantuan saat kamu mengalami kesulitan."

Dinda terkesima. Ia tidak menyangka jika dosen pembimbingnya yang baru begitu perhatian padanya. Emang boleh seperhatian itu?

"Besok pagi ya, Pak?" Dinda meminta penegasan.

"Nanti malam juga bisa." Arya keceplosan.

"Eh?"

"Oh, maksud saya lebih cepat lebih baik."

"Oh, iya, Pak. Siap." 

"Sekarang kamu boleh keluar."

"Terima kasih, Pak." Dinda undur diri diiringi anggukan Arya.

Hati Dinda meleleh seketika. Andai tahu begini, ia akan mengajukan permintaan pergantian dosen pembimbing sejak dulu. 

"Eh. Sebentar." Arya menghentikan langkah Dinda sebelum gadis itu membuka pintu ruangannya.

Dinda memutar tubuhnya. "Iya, Pak?"

"Kamu catat nomor ponsel saya yang tertera di papan pengumuman. Hubungi saya jika kamu ingin mengkonsultasikan sesuatu. Hanya yang terkait dengan skripsi kamu saja, bukan curhatan tentang pacar kamu."

"Nggak akan, Pak. Saya belum punya suami." Kini giliran Dinda yang keceplosan. Ia langsung menutup mulutnya. "Maaf, Pak. Becanda. Permisi, Pak." Dinda langsung buru-buru membuka pintu ruangan Arya dan melesat keluar. Wajahnya sudah panas menahan malu.

Kebalikan dengan Arya. Ia tersenyum lebar. Pertanyaan jebakannya ternyata berhasil. Status Dinda yang tidak memiliki pacar atau tunangan, diketahuinya tanpa perlu repot-repot melakukan penyelidikan. Setidaknya, ia tidak punya saingan untuk sekarang ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 45

    Dinda mencoba membuka kedua netranya. Hari masih begitu gelap, dan suasana masih begitu sunyi. Samar, terdengar rintik ujan mulai turun mengenai genteng, menyebarkan bau khas tanah. Tangan Arya masih memeluk erat tubuh Dinda, seakan enggan berada jauh dari wanita muda itu. Bukannya menyingkirkan tangan pria yang menikahinya empat tahun lalu, Dinda justru memeluk erat tubuh Arya.Arya yang semula masih terlelap, terbangun oleh gerakan kecil di sampingnya. Pucuk kepala Dinda menyapu lembut dagunya, membuatnya merasa geli sesaat. Secara reflek, Arya mengecup puncak kepala Dinda. "Kenapa bangun?" Suara serak Arya terdengar di telinga Dinda."Hmmm. Hujan. Dingin."Arya tersenyum. "Hmm. Begini pasti nggak akan dingin lagi." Arya juga mengeratkan pelukannya pada Dinda. Dinda terkekeh. Keduanya tidur saling berpelukan di balik selimut tebal yang sejak awal sudah menemani tidur keduanya. Sayangnya, usaha Dinda untuk dapat kembali memejamkan netranya tidak berhasil. Ia menggeliat, lalu mele

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 44

    "Om Dani! Bian mau yang itu." Brilian menarik-narik tangan Dani agar mendekat ke etalase yang penuh dengan macam-macam puding di rak paling atas. Warna-warni dan hiasan di atas puding, membuat Brilian tidak mengalihkan pandangannya dari etalase itu.Dani menepati janjinya pada dua keponakannya. Ia membawa Fahriza dan Brilian ke gerai kue Maya, membiarkan Fahriza dan Brilian memasuki gerai itu lebih dulu, sedang Dani berjalan di belakang dua bocah kecil itu, sambil tersenyum.Gerai kue Maya mulai ramai dengan pembeli, sehingga agak menyulitkan kedua bocah itu untuk memilih. Dani terpaksa menggandeng tangan Fahriza, agar bisa menyusul Brilian yang sedang fokus di etalase."Fahriza juga mau?"Bocah perempuan dengan alis seperti busur panah, tebal dan hitam itu mengangguk. Ia mulai memilih sedangkan Brilian memilih stroberi dengan lapisan vanila di atasnya."Hanya itu?" tanya Dani begitu melihat hanya satu puding yang dipilih Brilian."Boleh ambil lagi?" Brilian ragu."Bolehlah. Mumpung

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 43

    Dani ternyata tidak menepati janjinya pada Brilian. Dia menepikan mobilnya tepat di depan gerai Maya, lalu memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dani keluar dari mobil lalu melangkah tegas masuk ke gerai Maya.Suasana gerai yang tidak terlalu ramai membuat Dani bebas bergerak. Ia bebas mengamati seluruh bagian gerai, dan isi apa saja yang ada di rak-rak kue. Ia menemukan kue-kue yang dibeli Dinda kemarin.Ia teringat pada percakapannya semalam dengan Dinda. Lapis legit dan lapis surabaya. Dua kue yang menjadi kesukaan Dinda, yang ingin Dinda pesan di sini, dan dirinya tadi malam telah menawarkan bantuan untuk memesankan kue-kue itu."Semoga menjadi awal yang baik untuk ke depannya," ucapnya dalam hati meneguhkan niatnya mendekati meja kasir yang sedang kosong."Selamat Pagi." Dani menyapa Maya dengan suara datar. Betapa Dani sedang berusaha keras menahan lonjakan kegirangan dalam hatinya.Maya bergegas bangkit dari duduknya. Hal biasa yang ia lakukan jika pelanggan datang ke meja kasir saa

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 42

    Dani mengunyah sus yang berhasil ia ambil dari tas belanja Dinda. Ia mengunyah sambil berpikir apa yang akan ia katakan setelah tiba di gerai kue Maya, besok. Ya. Dani berencana untuk tetap mendatangi gerai Maya, meski sempat bersitegang dengan sang adik. Bagaimanapun, Dani adalah anak tertua, yang memiliki rasa mengayomi kepada adiknya. Jiwa itu tidak dapat hilang dari dirinya, meski merasa kesal terhadap Dinda. "Permisi. Mau pesan kue lapis, bisa? Dua loyang. Diambil nanti bisa?" Dani bermonolog sendiri. Ia membayangkan jika saat ini sudah berdiri di hadapan Maya.Merasa aneh, Dani mengganti kalimatnya, dan itu terus berulang hingga ia merasa capek sendiri. Pada akhirnya, Dani menyerah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan dan katakan besok. Yang jelas, ia tetap akan pergi ke gerai Maya esok hari.-0-Brilian dan Fahriza sudah siap dengan seragam dan tas sekolah masing-masing. Dinda sibuk menata bekal untuk dua bocah kecil itu, sedangkan Arya memanaskan mesin mobil. Kehebohan di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 41

    Dinda terkekeh sendiri. "Nanti aja deh ceritanya. Biar Om Dani sendiri yang cerita. Sekarang, Tante mau makan ini. Fahriza mau?" Dinda menyodorkan tas belanjanya ke hadapan Fahriza.Bocah perempuan itu mengangguk. Ia asyik memilih mana yang lebih menarik untuk disantap. "Bungkusnya kayak yang dibawa Om Dani," gumam Fahriza mengamati cupcake yang ia pilih."Belinya di tempat yang sama, ya jelas sama, dong. Coba Fahriza makan. Rasanya enak nggak?""Oke."Dinda memilih mengambil kue lapis lalu memberikannya pada Arya. "Tadi mau ambil lapis surabaya, tapi malah yang diambil ini.""Ya besok beli lagi atau pesan. Minta dibuatkan yang ukuran satu loyang penuh," usul Arya. Ia menjadi salah satu penggemar kue lapis surabaya dan lapis legit, sejak mengenal Dinda. Ia suka rasa ringan dan creamy dari mentega pada kue lapis surabaya dan rasa legit pada kue lapis legit. Bisa membuatnya merem melek tidak karuan. Apalagi ditemani kopi pahit. Bisa-bisa Arya tidak konsentrasi bekerja.Keduanya asyik me

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 40

    "Tante yang mana ini?" Dinda menatap Dani penuh curiga. Ia mencium satu rahasia yang Dani sembunyikan darinya. "Kenapa nggak diajak kemari aja? Biar mama nggak cerewet terus tiap menit tiap detik saban hari?"Dani membisikkan sesuatu pada Brilian, lalu bocah kecil itu terkekeh. "Mama jadi beli lontong, nggak? Bian mau sama Om Dani aja. Makan ini." Brilian mengangkat tas kertas itu ke atas."Kamu suka? Memang sudah pernah beli itu? Mama baru tahu ini, deh." Dinda mengambil tas kertas itu dari tangan Brilian. Ia membaca lalu bergumam sendiri. "Perasaan pernah liat tulisan ini. Tapi dimana, ya?"Dani melangkah masuk membiarkan adiknya sibuk mengingat lambang yang tertera di tas kertas itu. Ia sendiri langsung melangkah ke dapur, membuat minuman segar yang sejak tadi menggodanya.Melihat Dani yang cuek, membuat Dinda merasa sangat aneh. "Kak! Something happened, ya?" tanya Dinda penuh selidik.Dani menolak untuk memberitahu. "Nggak ada. Kenapa sih repot amat?""Ya, nggak gitu lah. Dulu j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status