Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini.
Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya.
"Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?"
Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh."
Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?"
"Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?"
"Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen.
Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak."
Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha membaca kertas pengumuman yang terpasang di papan pengumuman. Sejenak netra Dinda terpaku pada satu nama yang tertera di sebuah kolom, di samping kolom yang tertera namanya.
Dinda menahan napasnya. Ia mengerjap lalu kembali membaca pengumuman itu. Ada desiran aneh yang kemudian mengalirkan sensasi dingin menyelinap di dalam hatinya. Ini pasti sebuah lelucon usil. Dinda kembali menatap papan pengumuman. Berulang kali ia membaca, tapi huruf-huruf itu tidak berubah.
"Huaaaa!" Sebuah teriakan keras dan tepukan berulang di pundaknya, membuat Dinda berjingkat ke belakang.
"Ciiyeee! Kabul nih doa gua semalam. Pucuk dicinta ulam tiba. Lu akhirnya punya waktu berduaan sama doi." Bisikan Mita terdengar begitu nyaring di telinga Dinda.
Wajah Dinda menjadi tegang. "Ini hasil perbuatan lu?" Dinda menatap tajam Mita.
Dan dengan cepat Mita menggelengkan kepalanya. "Gua belum bertindak apapun. Baru berdoa doang semalam sebelum tidur."
Di saat keduanya kembali memandang ke papan pengumuman, tiba-tiba seorang mahasiswa ke luar dari ruangan dosen.
"Yang bimbingannya Pak Arya, disuruh menghadap sekarang!"
Suara itu bagai petir menyambar Dinda. Ia merasa tubuhnya bagai disengat ribuan lebah. Wajahnya menjadi kaku dan tangannya menjadi dingin. Hatinya pun mulai berdetak tidak beraturan.
"Sana, gih. Doi udah nungguin tuh." Mita menyikut lengan Dinda, tapi begitu melihat begitu banyak mahasiswa yang berjalan menuju ruangan Arya, gadis itu justru mengajak Dinda untuk menjauh sejenak dari komplek ruangan dosen itu.
"Ntar aja ke sananya. Kalau rame begini,justru kalian nggak bisa leluasa ngobrolnya."
Dinda menggeleng. "Lebih baik sekarang aja. Nggak papalah nggak leluasa. Yang pentingkan gua setor muka dulu."
"Loh, gimana sih lu, Din? Ni kesempatan lu buat bikin first impression ke doi. Biar doi inget terus sama elu."
"Tsk. Yang ada gua malah gak konsen ntar." Dinda melangkah meninggalkan Mita yang tampak kecewa usulnya ditolak.
Sepanjang jalan menuju ruangan Arya, perasaan Dinda berkecamuk. Ada rasa senang akhirnya ia bisa bebas dari dosen pembimbingnya yang sangat menyebalkan itu. Namun, kini ia merasa tidak nyaman karena harus berkonsultasi dengan pria tampan yang digandrungi banyak mahasiswi di kampusnya. Apakah dirinya bisa selamat dari godaan maut di hadapannya itu?
"Dinda."
Tiba-tiba namanya dipanggil dari dalam ruangan. Ternyata, mereka harus menunggu panggilan dari sang dosen baru bisa menghadap dan memperkenalkan diri masing-masing.
Dinda masuk dengan langkah tegas tapi tidak dengan hati yang tenang. Perasaaannya tengah kebat-kebit tidak karuan. Baru kali ini ia berhadapan langsung, face to face dengan sang dosen.
"Nama kamu benar Dinda .... "
"Dinda Erdiana Maharani, Pak."
Arya mengangkat wajahnya. Ia cukup terkejut melihat siapa yang sedang berdiri di depannya, dan tengah menatapnya lekat. Arya mulai merasa sedikit kikuk. Ia tidak pernah membayangkan jika gadis yang sudah beberapa hari ini mengganggu pikirannya, kini menjadi mahasiswi bimbingannya.
"Oh, iya. Silakan duduk." Arya berusaha bersikap tenang.
Dinda menarik ke belakang kursi di depannya. Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wajah Arya, dan Arya merasa sedikit salah tingkah ditatap Dinda sedemikian rupa.
"Kamu bawa skripsi kamu?"
Dinda menggeleng. "Tidak, Pak. Saya tidak tahu kalau ada pergantian dosen pembimbing. Saya pikir itu hanya berlaku untuk yang belum maju sidang saja."
Arya mengangguk. "Sebentar. Apa dulu kamu pernah saya uji?" Arya mengetes Dinda, apakah gadis itu mengingat dirinya sebagai salah satu pengujinya.
"Kata teman saya, iya, Pak."
"Loh, kok kata temannya? Kamu sendiri tidak ingat siapa saja tim penguji kamu?"
Dinda menggeleng tapi kemudian mengangguk. "Waktu itu saya hanya ingat wajahnya dia." Dinda merasa sangat melas menyebutkan mantan pembimbingnya.
"Dia?" Arya mengerutkan alisnya.
"Eh, maaf, Pak. Maksud saya, nama yang sangat malas saya sebutkan."
"Maksudnya?" Arya semakin menajamkan tatapannya ke wajah Dinda.
"Maaf, Pak. Maksud saya Bu Mega." Dinda akhirnya menyebut nama Mega tapi tidak dengan nama lengkapnya.
"Kamu dendam dengan beliau?"
"Jawaban tidak jujur, tidak dendam. Kalau mau jujur, iya, Pak."
Arya tidak lagi bertanya. Ia bisa memaklumi perasaan Dinda. "Jika benar kamu pernah saya uji, harusnya skripsi kamu juga ada di saya atau ..."
"Tidak, Pak. Skripsi hanya saya serahkan saat ujian."
"Kalau begitu, kamu harus datang menghadap saya lagi besok pagi."
Dinda terkejut mendengar permintaan Arya.
"Kamu sekarang menjadi mahasiswi bimbingan saya. Jadi, sudah selayaknya sebagai dosen pembimbing kamu, saya harus tahu seperti apa skripsi yang sudah kamu susun. Kamu harus menyerahkan skirpsi kamu untuk saya pelajari lebih lanjut, agar besok ketika kamu maju sidang, saya bisa memberi sedikit bantuan saat kamu mengalami kesulitan."
Dinda terkesima. Ia tidak menyangka jika dosen pembimbingnya yang baru begitu perhatian padanya. Emang boleh seperhatian itu?
"Besok pagi ya, Pak?" Dinda meminta penegasan.
"Nanti malam juga bisa." Arya keceplosan.
"Eh?"
"Oh, maksud saya lebih cepat lebih baik."
"Oh, iya, Pak. Siap."
"Sekarang kamu boleh keluar."
"Terima kasih, Pak." Dinda undur diri diiringi anggukan Arya.
Hati Dinda meleleh seketika. Andai tahu begini, ia akan mengajukan permintaan pergantian dosen pembimbing sejak dulu.
"Eh. Sebentar." Arya menghentikan langkah Dinda sebelum gadis itu membuka pintu ruangannya.
Dinda memutar tubuhnya. "Iya, Pak?"
"Kamu catat nomor ponsel saya yang tertera di papan pengumuman. Hubungi saya jika kamu ingin mengkonsultasikan sesuatu. Hanya yang terkait dengan skripsi kamu saja, bukan curhatan tentang pacar kamu."
"Nggak akan, Pak. Saya belum punya suami." Kini giliran Dinda yang keceplosan. Ia langsung menutup mulutnya. "Maaf, Pak. Becanda. Permisi, Pak." Dinda langsung buru-buru membuka pintu ruangan Arya dan melesat keluar. Wajahnya sudah panas menahan malu.
Kebalikan dengan Arya. Ia tersenyum lebar. Pertanyaan jebakannya ternyata berhasil. Status Dinda yang tidak memiliki pacar atau tunangan, diketahuinya tanpa perlu repot-repot melakukan penyelidikan. Setidaknya, ia tidak punya saingan untuk sekarang ini.
Dani hanya bisa tersenyum pahit. Bukannya dirinya tidak mau membina rumah tangga, tapi memilih pasangan hidup tidak semudah membeli cabai di pasar. Cabai saja harus dipilih mana yang bagus dan mana yang tidak, apalagi pasangan hidup yang akan menemani kita dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan terkadang lebih satu hari.Arya yang hendak mendekat ke tempat dimana Dinda duduk, diam sejenak tidak melanjutkan langkahnya. Pria itu sudah memperhatikan Dani sejak kakak iparnya itu datang. Wajah Dani yang terlihat suntuk menarik perhatiannya.“Mau cari kopi. Ikut?” ajak Arya. Ia sangat paham. Perbincangan antara laki-laki biasanya akan mengalir lewat secangkir kopi. Maka dari itu, agar Dani bersedia cerita tentang kesulitan yang dihadapinya tanpa harus dipaksa bercerita, Arya mengajak pria muda yang dua tahun lebih muda darinya, berjalan ke kafe sebelah.“Boleh.” Dani langsung mengikuti Arya dari belakang.“Sedikit gerah. Mungkin nanti dicampur sedikit susu
"Cukup!" Sari tidak ingin lagi mendengar kelanjutan kalimat Dani. Dani terkejut mendengar suara Sari. Tidak pernah mamanya itu berkata dengan nada tinggi dan keras seperti barusan. Nyali Dani menciut."Kamu harus melihat bibit, bebet dan bobot. Mama tidak mau rumah tanggamu berantakan dalam hitungan waktu hanya karena salah memilih pendamping."Dani diam terpengkur."Jangan karena penilaian orang atau sindiran orang, kamu jadi mencari pendamping secara asal-asalan. Yang menikah itu kamu bukan mereka.""Tapi, Ma, bukannya akan sama saja jika Dani dijodohkan dengan pilihan mama dan papa?""Beda. Mama dan papa pasti memperhatikan latar belakang kehidupan gadis yang akan mama jodohkan sama kamu. Sama seperti adikmu dulu. Yang jelas dia harus berasal dari keluarga baik-baik. Jika dia berasal dari keluarga yang bercerai di tengah jalan, maka kami sebagai orang tua-mu akan memastikan bagaimana dia tumbuh dan berkembang. Tidak asal-asalan.""Bagaimana jika dia berasal dari keluarga korban K
Mendengar ucapan Mita, Sandra sontak meilhat ke arah perut putri tunggalnya. Ia memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, tapi perut Mita masih terlihat sama seperti perut Dinda. Tidak ada yang berbeda. "Kamu hamil lagi?" Suara Sandra terdengar ragu-ragu. Ada rasa senang dan bahagia tapi, keraguan datang tiba-tiba, membuatnya tidak yakin dengan berita yang disampaikan putrinya sendiri.Mita mengangguk. "Nggak direncanakan kok, Ma." Mita jadi tidak yakin mamanya itu bahagia dengan berita ini. Berbanding terbalik dengan Chandra, sang papa. Sambutan yang diberikan Sandra tidak seperti bayangannya."Berapa bulan?" Sandra bertanya sambil terus memperhatikan perut Mita."Hmm, lupa, Ma." Mita mendadak gugup dengan sikap Sandra yang demikian"Lupa? Gimana sih kamu ini? Hamil kok bisa lupa usia kandungannya?" Mita syok dengan sikap Sandra. Apakah mamanya tidak suka punya banyak cucu? Apakah mamanya tidak akan mengakui anak keduanya?"Kalau dibawah lima bulan berarti belum bisa tahu dong jeni
Sandra mengerjapkan kedua netranya. Kabur. Itu yang pertama kali ia rasakan. Ruangan itu begitu sunyi tanpa suara yang ia kenal, kecuali suara mesin deteksi detak jantung yang terdengar begitu nyaring di telinganya.Wanita itu mencoba bangun, tapi gelombang rasa mual datang tiba-tiba. Kepalanya terasa sangat pusing. "Dimana ini?" Sandra kembali memejamkan netranya seraya meredakan rasa panik yang merayap datang. Setelah berhasil menguasai diri, Sandra berusaha membuka netranya. Namun untuk kali ini, ia melakukan dengan perlahan.Pandangannya masih kabur, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Terdengar suara pintu didorong dari luar. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke biliknya. Sandra kembali menutup netranya. Langkah kaki itu berhenti tepat di biliknya, mendekat ke berbagai mesin yang Sandra tidak tahu nama dan fungsinya, kecuali mesin deteksi detak jantung.Tangan hangat menyentuh pergelangan tangannya, menekan beberapa saat lalu beralih ke selang cairan infus. Sandra merasa ad
"Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" Di
"Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan