Share

8. Persaingan

last update Huling Na-update: 2024-01-25 16:08:56

Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita.

"Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda.

"Nggak. Nggak ada apa-apa." 

"Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?" 

"Nggaklah."

"Terus?"

"Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang."

Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing  lu yang dulu, mati kutu."

Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua."

"Tenang. Lu kan sekarang udah punya bodyguard."

"Bodyguard pala lu!"

"Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu."

"Tau dari mana?"

"Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh."

"Mau minta berapa mangkok bakso, nih?"

Mita langsung memukul keras lengan Dinda. "Ah, elu, Din."

"Lu lagi pengen makan bakso kan?"

Mita nyengir kuda. "Kuy kalau begitu. Kita ke warung bakso Solo depan kampus." Mita menarik tangan Dinda, menuju mobilnya.

"Gua bawa mobil."

"Pake mobil gua aja. Lu ntar gua anterin ke kampus lagi."

"Kalau gitu sekalian anterin gua pulang ambil skripsi gua. Kali aja ntar Pak Arya masih ada di kampus."

"Oke."

-0-

"Ayo, Pak Arya makan siang dulu. Mumpung Pak Hasan sedang ulang tahun ini," seru Rudy staf administrasi yang bertugas di gedung rektorat. 

Saat itu, Arya baru saja menyerahkan blangko pendaftaran beasiswa S2 di Inggris. "Saya masih kenyang, Pak Rudy."

"Jangan menolak rezeki, Pak Arya. Siapa tahu di sana nanti Pak Arya bisa ketemu jodohnya." Hasan menjawil pundak Arya.

"Ah, Pak Hasan rupanya." Arya menatap dosen seniornya yang sudah lebih dulu lulus dari program Magister Management di Inggris. Karena rekomendasi Hasan-lah, Arya kini mengikuti jejak pria itu.

"Ayo, kita ke warung bakso depan kampus. Sudah lama nggak nongkrong bareng kawan-kawan di sini." Hasan berjalan lebih dulu di depan. 

Arya akhirnya menyerah. Ia yang sebenarnya sedang dalam program menjaga asupan gizi dengan mengurangi makan daging-pun, tidak dapat mengelak. Mereka ber-enam berangkat dengan dua mobil, mobil Arya dan mobil Hasan. 

Siang itu antrian mengular seperti biasa. Beruntung, pemilik warung memiliki hubungan cukup akrab dengan Rudy, sehingga mereka mendapatkan tempat yang cukup strategis. Di halaman luar warung, di bawah pohon mangga, yang tengah berbunga.

Tanpa sengaja, Arya menangkap sosok mahasiswi yang baru saja menjadi anak bimbingnya. Gadis itu tengah menggambar sesuatu dan menunjukkan pada teman di seberangnya. Keduanya lantas  tertawa. 

"Gimana, Pak Arya? Sudah dapat pandangan?" Hasan rupanya memperhatikan Arya sejak mereka duduk di tempat itu.

"Pandangan apa, Pak?" Arya hanya membalas singkat sambil tersenyum simpul.

"Kampus ini banyak cewek cantik. Di sini juga saya bertemu dengan ibu-nya anak-anak." Hasan memulai ceritanya.

"Oh, ternyata begitu. Ibu dari kampus sini juga?"

"Kuliahnya di tempat lain, tapi bekerjanya di sini. Waktu itu beliau masih dosen baru." 

Rudy lantas berdeham. "Sebenarnya Pak Arya ini sudah ada yang naksir, Pak Hasan."

"Oh, betulkah?"

"Iya, Pak. Bapak tahu Bu Mega?" Jiwa merumpi Rudy mulai memanas. 

"Astaga! Ngomong apa sih, Pak Rudy?" Arya berusaha mencegah Rudy berbicara lebih banyak lagi.

"Yang suka sekali menggelung rambutnya itu? Yang satu tim dengan saya kemarin?"

"Iya, Pak. Bu Mega Sandrina, tapi Pak Arya-nya lari melulu."

Arya kesal bukan kepalang. "Bukan begitu, Pak Rudy."

Hasan mencoba menengahi. "Mungkin bukan tidak mau, Pak Rudy. Pak Arya mungkin sedang menaksir yang lain. Yang lebih cantik dan lebih seksi."

"Aduh, Pak Hasan jangan ikut-ikutan Pak Rudy, deh." Arya menjadi salah tingkah sendiri.

"Bisa saja kan. Mungkin Pak Arya sedang mengincar dosen dari fakultas lain."

Arya menyerah. Ia akhirnya membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan teman-teman kantornya. Netranya sesekali masih mencuri pandang empat meja di seberangnya, yang tampaknya tidak menyadari jika mereka berdua tengah berada di tempat yang sama. 

Tampak di pandangan Arya, Dinda tengah sibuk dengan ponselnya. 'Sedang menghubungi siapa?'

Ponsel Arya berkedip. Ia segera mengambil ponsel yang semula ia letakkan di meja. Dari nomor asing. Siapa?

* Selamat Siang, Pak. Saya Dinda Erdiana Maharani, mahasiswi transferan dari Bu Mega, Pak. Yang tadi pagi menghadap, Bapak. Maaf jika mengganggu. Apakah Bapak masih ada jadwal di kampus siang ini?

Wajah Arya langsung berubah. Ada seulas senyum tersungging di sudut bibirnya, dan itu ternyata tidak luput dari Hasan yang sejak tadi terus memperhatikan Arya.

* Saya ada di kampus sampai nanti sore. Ada apa?

* Mohon ijin untuk menyerahkan skripsi seperti yang Bapak minta tadi pagi.

* Temui saya satu setengah jam lagi di ruangan saya.

* Baik, Pak. Terima kasih.

Arya kini meletakkan ponselnya di saku kemejanya. Ia seperti seseorang yang baru saja mendapatkan barang yang sangat berharga.

Hasan tersenyum simpul. Tampaknya ia mengetahui siapa yang baru saja menghubungi Arya. 

"Oh iya. Saya baru ingat dengan seorang mahasiswi yang tidak lulus sidang kemarin. Siapa ya namanya, saya lupa." Hasan berpura-pura lupa dengan sosok yang ia ingat, meski dia benar-benar lupa dengan nama Dinda.

"Siapa, Pak?" Rudy membantu pelayan memindahkan mangkok bakso dari nampan ke meja.

"Cantik anaknya. Saya sering melihatnya di perpus pusat. Yang suka datang ke perpus rame-rame dengan teman-temannya. "

"Oh itu. Dinda kalau tidak salah namanya Pak Hasan. Kasihan anak itu."

"Apakah anaknya memang pintar?"

"Pintar, Pak. Setiap sore selalu mengajar teman-temannya, kalau nggak di halaman rumput di depan rektorat, perpus pusat atau di perpus fakultas. Yang saya heran mengapa dia bisa tidak lulus, sampai dua kali lagi, sedangkan teman-teman yang belajar dengannya lulus semua."

"Sewaktu saya menempel pengumuman pengunduran jadwal sidang skripsi, wajahnya tambah memprihatinkan sekali. Setiap saya  ingat ekspresinya, saya merasa pengen memeluk, memberi semangat atau melakukan semacamnya."

"Hush! Nggak boleh asal peluk. Bukan Muhrim." Arya tiba-tiba nyeletuk.

Hasan hanya bisa menggeleng. "Sepertinya ada masalah antara dia dengan pembimbingnya. Jawaban dan penjelasannya tidak ada yang salah. Cara menjelaskannya pun enak, mudah dipahami dan benar."

Arya memilih kembali diam.

"Mungkin Pak Arya tahu penyebabnya?" Hasan menatap Arya dengan tatapan serius.

"Saya tidak tahu, Pak. Saya juga terkejut melihat nilai yang diberikan oleh Bu Sandrina. Untuk anak dengan penjelasan sedetil itu dan benar, mengapa diberi nilai D."

Semua orang terdiam.

"Mungkin ada semacam persaingan diantara kedua orang ini." Hasan kembali berbicara.

"Maksudnya, Pak?" Rudy kali ini menatap serius ke arah Hasan. "Tidak mungkin persaingan mendapatkan nilai'kan Pak Hasan?"

"Jelas bukan itu. Rivalitas yang saya maksud di sini adalah rivalitas dalam menarik perhatian seseorang. Sehingga saat orang yang mendapatkan perhatian lebih dari yang diincar, ia menjadi korbannya."

Arya berkidik. Ia tidak mau ikut berspekulasi dengan Hasan, dan tidak mungkin yang dimaksud adalah dirinya.

"Maksud Pak Hasan, Bu Sandrina menganggap Dinda sebagai saingannya untuk mendapatkan Pak Arya?" Rudy sangat penasaran.

"Sudah-sudah. Mari kita hentikan pembicaraan ini. Saatnya kita makan bakso. Keburu dingin nanti kuahnya." Arya dengan sigap memasukkan satu butir bakso ke mulut Rudy. Ia tidak ingin pembicaraan melantur dan tidak ada gunanya ini, semakin panjang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 38

    Dani hanya bisa tersenyum pahit. Bukannya dirinya tidak mau membina rumah tangga, tapi memilih pasangan hidup tidak semudah membeli cabai di pasar. Cabai saja harus dipilih mana yang bagus dan mana yang tidak, apalagi pasangan hidup yang akan menemani kita dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan terkadang lebih satu hari.Arya yang hendak mendekat ke tempat dimana Dinda duduk, diam sejenak tidak melanjutkan langkahnya. Pria itu sudah memperhatikan Dani sejak kakak iparnya itu datang. Wajah Dani yang terlihat suntuk menarik perhatiannya.“Mau cari kopi. Ikut?” ajak Arya. Ia sangat paham. Perbincangan antara laki-laki biasanya akan mengalir lewat secangkir kopi. Maka dari itu, agar Dani bersedia cerita tentang kesulitan yang dihadapinya tanpa harus dipaksa bercerita, Arya mengajak pria muda yang dua tahun lebih muda darinya, berjalan ke kafe sebelah.“Boleh.” Dani langsung mengikuti Arya dari belakang.“Sedikit gerah. Mungkin nanti dicampur sedikit susu

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 37

    "Cukup!" Sari tidak ingin lagi mendengar kelanjutan kalimat Dani. Dani terkejut mendengar suara Sari. Tidak pernah mamanya itu berkata dengan nada tinggi dan keras seperti barusan. Nyali Dani menciut."Kamu harus melihat bibit, bebet dan bobot. Mama tidak mau rumah tanggamu berantakan dalam hitungan waktu hanya karena salah memilih pendamping."Dani diam terpengkur."Jangan karena penilaian orang atau sindiran orang, kamu jadi mencari pendamping secara asal-asalan. Yang menikah itu kamu bukan mereka.""Tapi, Ma, bukannya akan sama saja jika Dani dijodohkan dengan pilihan mama dan papa?""Beda. Mama dan papa pasti memperhatikan latar belakang kehidupan gadis yang akan mama jodohkan sama kamu. Sama seperti adikmu dulu. Yang jelas dia harus berasal dari keluarga baik-baik. Jika dia berasal dari keluarga yang bercerai di tengah jalan, maka kami sebagai orang tua-mu akan memastikan bagaimana dia tumbuh dan berkembang. Tidak asal-asalan.""Bagaimana jika dia berasal dari keluarga korban K

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 36

    Mendengar ucapan Mita, Sandra sontak meilhat ke arah perut putri tunggalnya. Ia memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, tapi perut Mita masih terlihat sama seperti perut Dinda. Tidak ada yang berbeda. "Kamu hamil lagi?" Suara Sandra terdengar ragu-ragu. Ada rasa senang dan bahagia tapi, keraguan datang tiba-tiba, membuatnya tidak yakin dengan berita yang disampaikan putrinya sendiri.Mita mengangguk. "Nggak direncanakan kok, Ma." Mita jadi tidak yakin mamanya itu bahagia dengan berita ini. Berbanding terbalik dengan Chandra, sang papa. Sambutan yang diberikan Sandra tidak seperti bayangannya."Berapa bulan?" Sandra bertanya sambil terus memperhatikan perut Mita."Hmm, lupa, Ma." Mita mendadak gugup dengan sikap Sandra yang demikian"Lupa? Gimana sih kamu ini? Hamil kok bisa lupa usia kandungannya?" Mita syok dengan sikap Sandra. Apakah mamanya tidak suka punya banyak cucu? Apakah mamanya tidak akan mengakui anak keduanya?"Kalau dibawah lima bulan berarti belum bisa tahu dong jeni

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 35

    Sandra mengerjapkan kedua netranya. Kabur. Itu yang pertama kali ia rasakan. Ruangan itu begitu sunyi tanpa suara yang ia kenal, kecuali suara mesin deteksi detak jantung yang terdengar begitu nyaring di telinganya.Wanita itu mencoba bangun, tapi gelombang rasa mual datang tiba-tiba. Kepalanya terasa sangat pusing. "Dimana ini?" Sandra kembali memejamkan netranya seraya meredakan rasa panik yang merayap datang. Setelah berhasil menguasai diri, Sandra berusaha membuka netranya. Namun untuk kali ini, ia melakukan dengan perlahan.Pandangannya masih kabur, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Terdengar suara pintu didorong dari luar. Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke biliknya. Sandra kembali menutup netranya. Langkah kaki itu berhenti tepat di biliknya, mendekat ke berbagai mesin yang Sandra tidak tahu nama dan fungsinya, kecuali mesin deteksi detak jantung.Tangan hangat menyentuh pergelangan tangannya, menekan beberapa saat lalu beralih ke selang cairan infus. Sandra merasa ad

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 34

    "Mama!" Suara teriakan itu membuat Dinda menjadi sangat khawatir. Mengapa begitu keras teriakannya? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Jantung Dinda berdegup sangat kencang. Ia menggelengkan kepalanya.'Jangan-Jangan Tuhan! Jangan biarkan apa yang kami takutkan menjadi nyata. Kami belum siap. Apalagi Mita. Tolong kabulkan ya Tuhan..." Dinda memejamkan kedua netranya. Perasaan takut menyergapnya. Takut jika semua menjadi lebih buruk.Dinda merasa tubuhnya digoyang sedemikian rupa. Goncangannya begitu hebat. Kepalanya terasa sangat pusing."Mama!" Dahi Dinda berkerut. 'Mengapa suaranya terdengar dekat sekali?' "Mama! Bangun, Ma! Biyan lapel. Ayo, kita beli sate, Ma! Ayo, Ma!"Dinda terkejut. Ia langsung terbangun. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah tampan putra semata wayangnya. "Brilian?" tanyanya bingung. Dinda menyapu pandangannya dan menemukan wajah Arya yang menatapnya begitu dalam. Pria itu tampak penasaran."Mimpi apa kamu, sampai berlinang air mata segala?" "Eh?" Di

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 33

    "Pa ..." Mita menatap kepergian Chandra yang berjalan menuju ruang dokter yang merawat Susan. Ada rasa sesak membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan yang tiada habisnya. Selama ia hidup dan bernapas, hanya sekitar lima tahun dirinya menghabiskan waktu bersama Susan.Kenangan demi kenangan hadir memenuhi benak Mita. Lima tahun berlalu dengan kenangan manis tapi hanya lima tahun. Sejak ia masuk taman kanak-kanak, hidupnya diserahkan kepada pengasuhnya. Susan dan Chandra sibuk dengan perusahaan masing-masing. Alasannya adalah alasan klasik, demi masa depannya mereka harus bekerja keras.Mita menghela napas. Bulir-bulir air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya, kembali diseka oleh Fahri. Pria itu seakan paham jika sang istri butuh waktu sendiri. Ia sengaja membiarkan Mita meluapkan perasaannya. Tangan kanannya tidak jauh dari punggung Mita. Menyalurkan perasaan hangat agar Mita tidak merasa sendiri."M-Mas ha-haus nggak?" Tiba-tiba Mita mengangkat kepalanya, menatap Fahri dengan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status