Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita.
"Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda.
"Nggak. Nggak ada apa-apa."
"Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?"
"Nggaklah."
"Terus?"
"Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang."
Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing lu yang dulu, mati kutu."
Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua."
"Tenang. Lu'kan sekarang udah punya bodyguard."
"Bodyguard pala lu!"
"Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu."
"Tau dari mana?"
"Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh."
"Mau minta berapa mangkok bakso, nih?"
Mita langsung memukul keras lengan Dinda. "Ah, elu, Din."
"Lu lagi pengen makan bakso kan?"
Mita nyengir kuda. "Kuy kalau begitu. Kita ke warung bakso Solo depan kampus." Mita menarik tangan Dinda, menuju mobilnya.
"Gua bawa mobil."
"Pake mobil gua aja. Lu ntar gua anterin ke kampus lagi."
"Kalau gitu sekalian anterin gua pulang ambil skripsi gua. Kali aja ntar Pak Arya masih ada di kampus."
"Oke."
-0-
"Ayo, Pak Arya makan siang dulu. Mumpung Pak Hasan sedang ulang tahun ini," seru Rudy staf administrasi yang bertugas di gedung rektorat.
Saat itu, Arya baru saja menyerahkan blangko pendaftaran beasiswa S2 di Inggris. "Saya masih kenyang, Pak Rudy."
"Jangan menolak rezeki, Pak Arya. Siapa tahu di sana nanti Pak Arya bisa ketemu jodohnya." Hasan menjawil pundak Arya.
"Ah, Pak Hasan rupanya." Arya menatap dosen seniornya yang sudah lebih dulu lulus dari program Magister Management di Inggris. Karena rekomendasi Hasan-lah, Arya kini mengikuti jejak pria itu.
"Ayo, kita ke warung bakso depan kampus. Sudah lama nggak nongkrong bareng kawan-kawan di sini." Hasan berjalan lebih dulu di depan.
Arya akhirnya menyerah. Ia yang sebenarnya sedang dalam program menjaga asupan gizi dengan mengurangi makan daging-pun, tidak dapat mengelak. Mereka ber-enam berangkat dengan dua mobil, mobil Arya dan mobil Hasan.
Siang itu antrian mengular seperti biasa. Beruntung, pemilik warung memiliki hubungan cukup akrab dengan Rudy, sehingga mereka mendapatkan tempat yang cukup strategis. Di halaman luar warung, di bawah pohon mangga, yang tengah berbunga.
Tanpa sengaja, Arya menangkap sosok mahasiswi yang baru saja menjadi anak bimbingnya. Gadis itu tengah menggambar sesuatu dan menunjukkan pada teman di seberangnya. Keduanya lantas tertawa.
"Gimana, Pak Arya? Sudah dapat pandangan?" Hasan rupanya memperhatikan Arya sejak mereka duduk di tempat itu.
"Pandangan apa, Pak?" Arya hanya membalas singkat sambil tersenyum simpul.
"Kampus ini banyak cewek cantik. Di sini juga saya bertemu dengan ibu-nya anak-anak." Hasan memulai ceritanya.
"Oh, ternyata begitu. Ibu dari kampus sini juga?"
"Kuliahnya di tempat lain, tapi bekerjanya di sini. Waktu itu beliau masih dosen baru."
Rudy lantas berdeham. "Sebenarnya Pak Arya ini sudah ada yang naksir, Pak Hasan."
"Oh, betulkah?"
"Iya, Pak. Bapak tahu Bu Mega?" Jiwa merumpi Rudy mulai memanas.
"Astaga! Ngomong apa sih, Pak Rudy?" Arya berusaha mencegah Rudy berbicara lebih banyak lagi.
"Yang suka sekali menggelung rambutnya itu? Yang satu tim dengan saya kemarin?"
"Iya, Pak. Bu Mega Sandrina, tapi Pak Arya-nya lari melulu."
Arya kesal bukan kepalang. "Bukan begitu, Pak Rudy."
Hasan mencoba menengahi. "Mungkin bukan tidak mau, Pak Rudy. Pak Arya mungkin sedang menaksir yang lain. Yang lebih cantik dan lebih seksi."
"Aduh, Pak Hasan jangan ikut-ikutan Pak Rudy, deh." Arya menjadi salah tingkah sendiri.
"Bisa saja kan. Mungkin Pak Arya sedang mengincar dosen dari fakultas lain."
Arya menyerah. Ia akhirnya membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan teman-teman kantornya. Netranya sesekali masih mencuri pandang empat meja di seberangnya, yang tampaknya tidak menyadari jika mereka berdua tengah berada di tempat yang sama.
Tampak di pandangan Arya, Dinda tengah sibuk dengan ponselnya. 'Sedang menghubungi siapa?'
Ponsel Arya berkedip. Ia segera mengambil ponsel yang semula ia letakkan di meja. Dari nomor asing. Siapa?
* Selamat Siang, Pak. Saya Dinda Erdiana Maharani, mahasiswi transferan dari Bu Mega, Pak. Yang tadi pagi menghadap Bapak. Maaf jika mengganggu. Apakah Bapak masih ada jadwal di kampus siang ini?
Wajah Arya langsung berubah. Ada seulas senyum tersungging di sudut bibirnya, dan itu ternyata tidak luput dari Hasan yang sejak tadi terus memperhatikan Arya.
* Saya ada di kampus sampai nanti sore. Ada apa?
* Mohon ijin untuk menyerahkan skripsi seperti yang Bapak minta tadi pagi.
* Temui saya satu setengah jam lagi di ruangan saya.
* Baik, Pak. Terima kasih.
Arya kini meletakkan ponselnya di saku kemejanya. Ia seperti seseorang yang baru saja mendapatkan barang yang sangat berharga.
Hasan tersenyum simpul. Tampaknya ia mengetahui siapa yang baru saja menghubungi Arya.
"Oh iya. Saya baru ingat dengan seorang mahasiswi yang tidak lulus sidang kemarin. Siapa ya namanya, saya lupa." Hasan berpura-pura lupa dengan sosok yang ia ingat, meski dia benar-benar lupa dengan nama Dinda.
"Siapa, Pak?" Rudy membantu pelayan memindahkan mangkok bakso dari nampan ke meja.
"Cantik anaknya. Saya sering melihatnya di perpus pusat. Yang suka datang ke perpus rame-rame dengan teman-temannya. "
"Oh itu. Dinda kalau tidak salah namanya Pak Hasan. Kasihan anak itu."
"Apakah anaknya memang pintar?"
"Pintar, Pak. Setiap sore selalu mengajar teman-temannya, kalau nggak di halaman rumput di depan rektorat, perpus pusat atau di perpus fakultas. Yang saya heran mengapa dia bisa tidak lulus, sampai dua kali lagi, sedangkan teman-teman yang belajar dengannya lulus semua."
"Sewaktu saya menempel pengumuman pengunduran jadwal sidang skripsi, wajahnya tambah memprihatinkan sekali. Setiap saya ingat ekspresinya, saya merasa pengen memeluk, memberi semangat atau melakukan semacamnya."
"Hush! Nggak boleh asal peluk. Bukan Muhrim." Arya tiba-tiba nyeletuk.
Hasan hanya bisa menggeleng. "Sepertinya ada masalah antara dia dengan pembimbingnya. Jawaban dan penjelasannya tidak ada yang salah. Cara menjelaskannya pun enak, mudah dipahami dan benar."
Arya memilih kembali diam.
"Mungkin Pak Arya tahu penyebabnya?" Hasan menatap Arya dengan tatapan serius.
"Saya tidak tahu, Pak. Saya juga terkejut melihat nilai yang diberikan oleh Bu Sandrina. Untuk anak dengan penjelasan sedetil itu dan benar, mengapa diberi nilai D."
Semua orang terdiam.
"Mungkin ada semacam persaingan diantara kedua orang ini." Hasan kembali berbicara.
"Maksudnya, Pak?" Rudy kali ini menatap serius ke arah Hasan. "Tidak mungkin persaingan mendapatkan nilai'kan Pak Hasan?"
"Jelas bukan itu. Rivalitas yang saya maksud di sini adalah rivalitas dalam menarik perhatian seseorang. Sehingga saat orang yang mendapatkan perhatian lebih dari yang diincar, ia menjadi korbannya."
Arya berkidik. Ia tidak mau ikut berspekulasi dengan Hasan, dan tidak mungkin yang dimaksud adalah dirinya.
"Maksud Pak Hasan, Bu Sandrina menganggap Dinda sebagai saingannya untuk mendapatkan Pak Arya?" Rudy sangat penasaran.
"Sudah-sudah. Mari kita hentikan pembicaraan ini. Saatnya kita makan bakso. Keburu dingin nanti kuahnya." Arya dengan sigap memasukkan satu butir bakso ke mulut Rudy. Ia tidak ingin pembicaraan melantur dan tidak ada gunanya ini, semakin panjang.
Dinda mencoba membuka kedua netranya. Hari masih begitu gelap, dan suasana masih begitu sunyi. Samar, terdengar rintik ujan mulai turun mengenai genteng, menyebarkan bau khas tanah. Tangan Arya masih memeluk erat tubuh Dinda, seakan enggan berada jauh dari wanita muda itu. Bukannya menyingkirkan tangan pria yang menikahinya empat tahun lalu, Dinda justru memeluk erat tubuh Arya.Arya yang semula masih terlelap, terbangun oleh gerakan kecil di sampingnya. Pucuk kepala Dinda menyapu lembut dagunya, membuatnya merasa geli sesaat. Secara reflek, Arya mengecup puncak kepala Dinda. "Kenapa bangun?" Suara serak Arya terdengar di telinga Dinda."Hmmm. Hujan. Dingin."Arya tersenyum. "Hmm. Begini pasti nggak akan dingin lagi." Arya juga mengeratkan pelukannya pada Dinda. Dinda terkekeh. Keduanya tidur saling berpelukan di balik selimut tebal yang sejak awal sudah menemani tidur keduanya. Sayangnya, usaha Dinda untuk dapat kembali memejamkan netranya tidak berhasil. Ia menggeliat, lalu mele
"Om Dani! Bian mau yang itu." Brilian menarik-narik tangan Dani agar mendekat ke etalase yang penuh dengan macam-macam puding di rak paling atas. Warna-warni dan hiasan di atas puding, membuat Brilian tidak mengalihkan pandangannya dari etalase itu.Dani menepati janjinya pada dua keponakannya. Ia membawa Fahriza dan Brilian ke gerai kue Maya, membiarkan Fahriza dan Brilian memasuki gerai itu lebih dulu, sedang Dani berjalan di belakang dua bocah kecil itu, sambil tersenyum.Gerai kue Maya mulai ramai dengan pembeli, sehingga agak menyulitkan kedua bocah itu untuk memilih. Dani terpaksa menggandeng tangan Fahriza, agar bisa menyusul Brilian yang sedang fokus di etalase."Fahriza juga mau?"Bocah perempuan dengan alis seperti busur panah, tebal dan hitam itu mengangguk. Ia mulai memilih sedangkan Brilian memilih stroberi dengan lapisan vanila di atasnya."Hanya itu?" tanya Dani begitu melihat hanya satu puding yang dipilih Brilian."Boleh ambil lagi?" Brilian ragu."Bolehlah. Mumpung
Dani ternyata tidak menepati janjinya pada Brilian. Dia menepikan mobilnya tepat di depan gerai Maya, lalu memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dani keluar dari mobil lalu melangkah tegas masuk ke gerai Maya.Suasana gerai yang tidak terlalu ramai membuat Dani bebas bergerak. Ia bebas mengamati seluruh bagian gerai, dan isi apa saja yang ada di rak-rak kue. Ia menemukan kue-kue yang dibeli Dinda kemarin.Ia teringat pada percakapannya semalam dengan Dinda. Lapis legit dan lapis surabaya. Dua kue yang menjadi kesukaan Dinda, yang ingin Dinda pesan di sini, dan dirinya tadi malam telah menawarkan bantuan untuk memesankan kue-kue itu."Semoga menjadi awal yang baik untuk ke depannya," ucapnya dalam hati meneguhkan niatnya mendekati meja kasir yang sedang kosong."Selamat Pagi." Dani menyapa Maya dengan suara datar. Betapa Dani sedang berusaha keras menahan lonjakan kegirangan dalam hatinya.Maya bergegas bangkit dari duduknya. Hal biasa yang ia lakukan jika pelanggan datang ke meja kasir saa
Dani mengunyah sus yang berhasil ia ambil dari tas belanja Dinda. Ia mengunyah sambil berpikir apa yang akan ia katakan setelah tiba di gerai kue Maya, besok. Ya. Dani berencana untuk tetap mendatangi gerai Maya, meski sempat bersitegang dengan sang adik. Bagaimanapun, Dani adalah anak tertua, yang memiliki rasa mengayomi kepada adiknya. Jiwa itu tidak dapat hilang dari dirinya, meski merasa kesal terhadap Dinda. "Permisi. Mau pesan kue lapis, bisa? Dua loyang. Diambil nanti bisa?" Dani bermonolog sendiri. Ia membayangkan jika saat ini sudah berdiri di hadapan Maya.Merasa aneh, Dani mengganti kalimatnya, dan itu terus berulang hingga ia merasa capek sendiri. Pada akhirnya, Dani menyerah. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan dan katakan besok. Yang jelas, ia tetap akan pergi ke gerai Maya esok hari.-0-Brilian dan Fahriza sudah siap dengan seragam dan tas sekolah masing-masing. Dinda sibuk menata bekal untuk dua bocah kecil itu, sedangkan Arya memanaskan mesin mobil. Kehebohan di
Dinda terkekeh sendiri. "Nanti aja deh ceritanya. Biar Om Dani sendiri yang cerita. Sekarang, Tante mau makan ini. Fahriza mau?" Dinda menyodorkan tas belanjanya ke hadapan Fahriza.Bocah perempuan itu mengangguk. Ia asyik memilih mana yang lebih menarik untuk disantap. "Bungkusnya kayak yang dibawa Om Dani," gumam Fahriza mengamati cupcake yang ia pilih."Belinya di tempat yang sama, ya jelas sama, dong. Coba Fahriza makan. Rasanya enak nggak?""Oke."Dinda memilih mengambil kue lapis lalu memberikannya pada Arya. "Tadi mau ambil lapis surabaya, tapi malah yang diambil ini.""Ya besok beli lagi atau pesan. Minta dibuatkan yang ukuran satu loyang penuh," usul Arya. Ia menjadi salah satu penggemar kue lapis surabaya dan lapis legit, sejak mengenal Dinda. Ia suka rasa ringan dan creamy dari mentega pada kue lapis surabaya dan rasa legit pada kue lapis legit. Bisa membuatnya merem melek tidak karuan. Apalagi ditemani kopi pahit. Bisa-bisa Arya tidak konsentrasi bekerja.Keduanya asyik me
"Tante yang mana ini?" Dinda menatap Dani penuh curiga. Ia mencium satu rahasia yang Dani sembunyikan darinya. "Kenapa nggak diajak kemari aja? Biar mama nggak cerewet terus tiap menit tiap detik saban hari?"Dani membisikkan sesuatu pada Brilian, lalu bocah kecil itu terkekeh. "Mama jadi beli lontong, nggak? Bian mau sama Om Dani aja. Makan ini." Brilian mengangkat tas kertas itu ke atas."Kamu suka? Memang sudah pernah beli itu? Mama baru tahu ini, deh." Dinda mengambil tas kertas itu dari tangan Brilian. Ia membaca lalu bergumam sendiri. "Perasaan pernah liat tulisan ini. Tapi dimana, ya?"Dani melangkah masuk membiarkan adiknya sibuk mengingat lambang yang tertera di tas kertas itu. Ia sendiri langsung melangkah ke dapur, membuat minuman segar yang sejak tadi menggodanya.Melihat Dani yang cuek, membuat Dinda merasa sangat aneh. "Kak! Something happened, ya?" tanya Dinda penuh selidik.Dani menolak untuk memberitahu. "Nggak ada. Kenapa sih repot amat?""Ya, nggak gitu lah. Dulu j