Share

9. Spesial dan Istimewa

last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-26 15:12:19

Mita mulai menjalankan mobilnya, kembali menuju fakultasnya, menemani Dinda menyerahkan skripsi kepada Arya. 

"Bawa berapa skripsi, Din?"

"Satu. Emang harus bawa berapa?"

"Biasanya pembimbing gua minta dua, tapi mungkin Pak Arya beda."

"Semoga beliau tidak rewel seperti sebelumnya."

Mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Mita ikut turun tapi tidak ikut Dinda masuk ke ruangan dosen. Ia ada perlu di bagian administrasi.

Tok.Tok. Tok.

Dinda melirik arloji di tangan kanannya sembari berdiri tepat di depan pintu ruangan Arya, menunggu jawaban dari dalam. Angka di arlojinya menunjuk ke angka tujuh. Terlambat lima menit dari yang seharusnya. 

Ceklek.

Pintu perlahan terbuka, menampakkan wajah putih Arya tanpa senyum. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergap Dinda. Mungkin saja dosen di depannya ini sangat disipiln dalam waktu sehingga telat satu menit saja akan menjadi masalah yang berkepanjangan.

"Silakan duduk." Arya tidak menatap ke arah Dinda sedikit pun.

Suara Arya terdengar sangat berbeda dengan tadi pagi. Siang ini suara itu begitu dingin dan tidak bersahabat.

Dinda menurut. Ia menarik pelan kursi di depannya, lalu mendudukkan tubuhnya dengan sangat hati-hati seperti takut jika gerakannya itu, akan menimbulkan suara yang akan semakin merusak suasana sang dosen.

Lima menit berlalu. Dinda masih duduk diam menanti sepatah dua-patah kata dari dosen pembimbingnya yang baru. Sayangnya, hingga menit ke sepuluh, pria berwarjah putih itu tetap diam sambil terus membaca sesuatu di ponsel miliknya.

Suasana hening itu pecah gara-gara ponsel Dinda yang berdering tiba-tiba, membuat Arya mengangkat wajahnya, dan memandang Dinda dengan tatapan menusuk Dinda langsung menegakkan punggung tubuhnya, tangannya bergerak mencari ponsel yang ada di dalam tas ranselnya.

Panggilan dari Mita.

Mengabaikan tatapan tajam Arya, Dinda menekan tombol hijau.

"Ada apa?" Dinda menjawab  panggilan Mita sambil berbisik.

*Lu ada dimana? Masih di ruangan Pak Arya?

Suara Mita begitu nyaring membuat Dinda terpaksa menjauhkan ponsel itu dari telinganya. 

"Lu pulang duluan aja deh. Bye-bye." Dinda cepat-cepat mengakhiri percakapan itu.

*Buruan lu kenalin pak dosen  sama bokap-nyokap lu, Din. Gua tunggu  undangan lu.

Klik. Dinda segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Sudah?" Arya ternyata masih memperhatikan Dinda sejak gadis itu mengambil ponselnya.

Dinda menggangguk cepat seraya tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka jika sang dosen ternyata masih terus menatapnya.

"Ada janji sore ini?" 

Dinda agak terkejut dengan pertanyaan Arya. "Tidak ada, Pak."

"Bagus."

"Bagus?" Dinda tidak mengerti.

"Berarti kita segerakan saja diskusinya."

"Diskusi?"

"Jelaskan semuanya. Mulai dari tahapan kamu menyusun proposal sampai penulisan bab akhir skripsi kamu."

"Sekarang, Pak?"

"Mau kamu kapan? Nanti malam?"

"Oh, tentu tidak, Pak. Masa iya kita diskusi malam-malam di kampus. Mana berani saya, Pak."

"Kan ada saya." 

"Iya, Pak. Memang ada Bapak. Tapi kan Bapak pasti pulang dulu. Pamit sama istri dan anak-anak, baru datang kemari lagi. Nah, saya nungguin Bapak berapa lama sampai Bapak tiba di sini lagi? Mana saya nungguin sendiri lagi."

Suara Dinda mirip dengan seseorang yang sedang berkeluh kesah.

"Saya belum berkeluarga, jadi saya punya banyak waktu untuk meladeni kamu."

Dinda langsung terbatuk. Kata meladeni yang diucapkan sang dosen sangat mengganggu dirinya, dan sangat tidak baik bagi pikiran dan daya khayalnya.

"Hmm, maksud saya, kita bisa mendiskusikan skripsi kamu dengan leluasa." Arya menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Kenapa sih mulutnya selalu saja mengucapkan kata-kata yang menjurus, setiap kali berhadapan dengan gadis ini

"Oh. Bagaimana dengan pacar, Bapak? Tunangan? Saya kan tidak mau jadi kambing congek. Saat saya menjelaskan alasan pemilihan judul, Bapak nanti malah sibuk sendiri dengan pacar atau tunangan bapak itu." 

"Mengapa kamu justru yang menginterogasi saya? Saya kan sudah menjelaskan kalau saya tidak terikat dengan siapa pun?!" Arya akhirnya kesal juga. Niat hati ingin menginterogasi, tapi justru dirinya yang diinterogasi secara tidak langsung oleh mahasiswinya.

Suara Arya yang tiba-tiba meninggi dan terdengar begitu galak, membuat nyali Dinda ciut seketika. "Baik, Pak." Gadis itu kini memilih menunduk. Mana berani dia beradu tatapan dengan sang dosen yang kini terlihat sangat ingin memakannya.

Tok. Tok. Tok.

Terdengar ketukan berulang. 

"Masuk." Tanpa pikir panjang Arya mengijinkan orang yang mengetuk pintu ruangannya untuk masuk.

"Maaf, Pak. Saya mau menyerahkan skripsi saya." Mahasiswa itu melirik ke arah Dinda yang masih duduk sambil menundukkan kepalanya.

"Kamu letakkan saja di meja sana. Akan saya baca besok." 

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak."

Ruangan kembali sunyi. Baik Arya dan Dinda sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Arya kembali sibuk dengan ponselnya, sedang Dinda kini bermain dengan jari jemarinya, menunggu dengan rasa bosan yang mulai datang menghampirinya.

Suara ketukan kembali terdengar. Dan Arya kembali mengijinkan sang tamu untuk masuk dan mengatakan keperluannya. Hal ini berulang sampai tiga kali.

Saat mahasiswa yang datang terakhir kali menyerahkan skripsinya, dan hendak  berpamitan,  Arya kembali memanggil mahasiswa itu. "Tunggu dulu!"

Arya menyandarkan punggungnya ke punggung kursi, sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya.

"Iya, Pak?"

"Katakan pada semua yang baru ditransfer bimbingannya ke saya, skripsinya dikumpulkan ke Pak Rudy di ruang administrasi rektorat. Tidak perlu satu per satu mendatangi ruangan saya seperti ini. Hanya orang tertentu saja yang boleh memasuki ruangan saya saja. Mengerti? "

"Baik, Pak."

Dinda diam menyimak. Mengapa begitu? Mengapa hanya dirinya yang dituntut menjelaskan skripsinya? Dinda melirik-lirik ke arah Arya secara sembunyi-sembunyi. Ingin bertanya tapi ia takut.

"Mengapa? Kamu heran yang lain tidak seperti kamu? Menceritakan detil mulai proposal sampai skripsi?" Arya menangkap lirikan Dinda. Wajah tidak terima Dinda jelas terlihat dan itu membuat Arya merasa gemas.

Dinda tidak berani bergerak dan menjawab. Ia takut mulutnya akan seperti sebelumnya. Berbicara terus tanpa bisa direm. Akan tetapi ia juga penasaran mengapa dirinya mendapat perlakuan berbeda yang sangat tidak mengenakkan seperti ini?

"Mau tahu jawabannya?"

Dinda bergeming. 

"Karena kamu spesial dan istimewa."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 23

    "Kalau ini gimana?" Fahri menyerahkan sebuah amplop putih seukuran foto 4R. Amplop itu tidak dilem, hingga siapa saja bisa membuka dan membaca isi kertas di dalamnya. Mita sontak mematung. Kedua netra berkedip berulang kali. Ia terus saja menatap amplop putih itu baru kemudian menatap Fahri."Did I miss something?" Fahri menatap wajah istrinya tanpa berkedip. Ada rasa aneh yang menyelinap ke dalam hatinya sejak ia menemukan amplop itu di bawah kasur, tepatnya di bawah sisi samping kasur mereka. Nama dokter obgyn yang tertera di pojok kiri amplop membuatnya mulai memimpikan kehadiran kembali sosok mungil di tengah-tengah mereka. Sekuat tenaga ia menahan rasa penasarannya. Ia mengamati Mita secara diam-diam. Mungkinkah amplop itu milik Mita? Hingga kemarin pagi ia memberanikan diri membaca isi kertas dalam amplop itu.Jadwal konsultasi yang tertera di kertas itu semakin membuat Fahri penasaran. Melihat bagaimana Mita selama mereka menikah tidak membuat dirinya yakin seratus persen, ka

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 22

    Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 21

    Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 20

    "Apakah kamu memiliki rencana lain untuk mendekati istriku?" tanya Arya penuh selidiki. Wajahnya begitu mengerikan, membuat Denny kehilangan selera makannya."Mas!" tegur Dinda kesal. "Apa-apan, sih? Jangan lupa kalau dia sudah menyelamatkan saya, dari niat buruk Bu Mega waktu itu."Arya merasa tertampar dengan peringatan Dinda. Benar. Seharusnya dia tidak harus bersikap cemburu seperti sekarang ini. Seharusnya dia tidak lagi mempermasalahkan rasa Denny yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan."Maaf."Dinda menggelengkan kepalanya. Ia yakin, ada kejadian yang membuat mood Arya seburuk ini. Akan tetapi, dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu karena masih ada Denny bersama mereka."Tidak apa-apa, Pak Arya. Wajar, kok. Sikap waspada seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Saya bisa memaklumi. Jika saya berada di posisi itu, pasti saya akan melakukan hal yang sama." "Thanks."Mereka mulai menyantap menu yang mereka pesan. Kali ini, Arya dan Dinda tidak seperti biasa. Mereka men

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 19

    "Ada Bu Arya?" ulang Susi dengan ekspresi bingung yang tidak dapat ia tutupi. Ia tidak memahami bisikan Rini barusan. "Bukannya dia jadi IRT ya?" Rini tidak menjawab melainkan sibuk menata ekspresi wajahnya. Susi mengikuti kemana arah Rini menghadap sekarang, lalu menjadi salah tingkah sendiri.Susi lantas menginjak kaki salah satu rekannya yang masih sibuk mengoceh, hingga obrolan seru itu berhenti tiba-tiba. "Se-Selamat Pagi, Bu Arya," sapa Rini dengan sangat ramah. Siapa yang tidak mengenal sosok Dinda? Mahasiswi pintar yang tertunda kelulusannya karena sikap tidak profesional sang pembimbing, yang tidak lain dan tidak bukan wanita yang baru saja meninggalkan gedung itu."Selamat Pagi." Wajah Dinda yang cantik menjadi semakin cantik karena senyum manisnya. Dinda sengaja datang ke kampus untuk mencari informasi program magister untuk Dani."Ada yang bisa kami bantu, Bu?""Saya sedang mencari informasi program magister manajemen."Keempat pasang telinga yang ada di balik meja infor

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 18

    "Semua sama. Tidak ada perlakuan yang beda." Kembali Arya menegaskan perihal penundaan rekrutmen tenaga dosen di kampusnya.Indra menggigit sedikit bagian dalam bibirnya. Aura rektor muda di depannya sangat mendikte dirinya. Ia yang baru empat bulan diterima sebagai asisten dosen, harus berulang kali menelan salivanya. "Menjadi asisten dosen di kampus-?" Arya kembali mengangkat wajahnya dari lembaran curriculum vitae milik Indra."Baru lima bulan, Pak.""Dapat informasi darimana?" "Dari teman, Pak. Pak Subagyo adalah teman sharing saya di lembaga pendidikan Bahasa Inggris EFC. Karena beliau sering keluar kota mengikuti training, sehingga beliau membutuhkan seorang asisten dosen. Dan kebetulan, mata kuliah yang diampu Pak Subagyo adalah jurusan saya, saya menyambut baik tawaran itu."Arya mengangguk paham. Mungkin ia perlu membicarakan hal ini dengan Subagyo suatu hari nanti.Kening Arya mendadak berkerut sesaat. Ada hal menarik yang ia temukan. Namun, ia segera menepis pikiran burukn

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 17

    "Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kasi

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Extra Part 16

    Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d

  • Dibimbing Jadi Istri Dosen Pembimbing   Ekstra Part 15

    "Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status