“TUHAAAAAN!!!! Kalau sampai pendadaran besok, gua nggak lulus lagi. Gua mau merit sama siapa aja yang ngajak gua nikah duluan!!!!”Sebuah teriakan terdengar dari salah satu kamar, rumah besar bercat putih yang terletak di komplek perumahan elit kota Jakarta. seiring berhentinya teriakan itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di atas langit. Awan hitam mendadak menyelimuti kota Jakarta.“Dindaaaaaa!!!” Suara gedoran dan teriakan di depan pintu kamar Dinda terdengar tak kalah keras.“Apaaa?!”“Jangan ngomong yang nggak-nggak! Kalau beneran gimana? Sapa yang mau nikah sama lu! Anak bau kencur sok-sokan minta nikah!”“Apaan sih, Kak! Yang nikahkan Dinda, kenapa kakak yang sewot?”Perang mulut tak berujung antara dua bersaudara, kembali mewarnai suasana Jumat siang di rumah Broto Handjoyo, seorang saudagar kain dan pemilik peternakan sapi yang berjumlah ratusan ekor.****Hari ini adalah kali kedua Dinda, gadis cantik berusia 22 tahun, maju sidang skipsi. Sayangnya, sama dengan sidang pert
Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pun
Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Jadwal sidang skripsi diundur tiga bulan. Itu artinya, ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia melihat rivalnya sudah be
Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan, bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan. Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.“Iya, Om. Saya Arya. Putra Pak Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.“Oh. Ya-ya-ya.” Broto tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. K
Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. “Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …” Dinda tidak
Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat. Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali. "Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?' Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita. "Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali. "Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?" "Ne
Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini. Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya. "Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?" Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh." Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?" "Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?" "Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen. Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak." Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha memba
Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita. "Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda. "Nggak. Nggak ada apa-apa." "Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?" "Nggaklah." "Terus?" "Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang." Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing lu yang dulu, mati kutu." Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua." "Tenang. Lu kan sekarang udah punya bodyguard." "Bodyguard pala lu!" "Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu." "Tau dari mana?" "Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh." "Mau minta berapa mangkok bakso nih?" M
Indra menghentikan mobilnya sesaat ketika seorang wanita cantik keluar dari mobil sedan berwarna putih. Mobil itu yang baru saja berhenti di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Ia tertegun sejenak. Ada rasa deg-deg-an yang perlahan merambat dalam hatinya. Hatinya mulai berdesir. Raut wajah wanita sangat mirip dengan sosok yang terus terbayang dalam ingatannya."Dinda? Itu beneran Dinda?" Indra mematikan mesinnya. Ia hendak keluar dari mobil. Akan tetapi, ponselnya kembali berdering, mengirim sinyal jika kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang."Iya. Sebentar lagi saya sampai. Persiapkan dulu buku tugasnya. Saya akan langsung ke kelas." Indra buru-buru kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu menginjak gas, membiarkan mobil hitamnya meninggalkan pelataran depan kampus fakultas ekonomi. Indra berharap dapat melupakan sejenak wanita yang begitu mirip dengan gadis yang beberapa tahun ini selalu muncul dalam pikirannya. Ia berjalan dengan langkah kelas menuju ruang bahasa. Kelas s
Pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Sudah hampir satu jam, Mita berada di kamar itu. Bukan tanpa alasan ia berlama-lama di sana. Kecurigaan Dinda beberapa hari lalu berhasil mengganggu pikirannya. Penolakannya terhadap pertanyaan Dinda justru mendatangkan keraguan dalam dirinya.Mita pagi hari tadi menyempatkan diri pergi ke apotek. Ia mulai merasa terganggu. Namun, akal sehatnya masih sama. Tidak mungkin kecurigaan Dinda itu benar. Demi menghilangkan rasa penasaran yang mulai menghinggapi hatinya, Mita membeli testpack. Itulah mengapa ia menolak ajakan Dinda untuk menemani sahabatnya itu ke kampus.Dan kini, Mita terpaku pada benda kecil di tangan kanannya. Kecepatan jantungnya mulai bertambah seiring dengan waktu. Kedua netranya menatap serius ke lapisan being yang berada di tengah. Tangannya diam tak bergerak sedikitpun.Ia menahan napas ketika semburat warna mulai tampak di sana. Perlahan tapi pasti, warna putih di bawah lapisan bening itu mulai berubah. Satu warna perlahan mu
"Apakah kamu memiliki rencana lain untuk mendekati istriku?" tanya Arya penuh selidiki. Wajahnya begitu mengerikan, membuat Denny kehilangan selera makannya."Mas!" tegur Dinda kesal. "Apa-apan, sih? Jangan lupa kalau dia sudah menyelamatkan saya, dari niat buruk Bu Mega waktu itu."Arya merasa tertampar dengan peringatan Dinda. Benar. Seharusnya dia tidak harus bersikap cemburu seperti sekarang ini. Seharusnya dia tidak lagi mempermasalahkan rasa Denny yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan."Maaf."Dinda menggelengkan kepalanya. Ia yakin, ada kejadian yang membuat mood Arya seburuk ini. Akan tetapi, dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu karena masih ada Denny bersama mereka."Tidak apa-apa, Pak Arya. Wajar, kok. Sikap waspada seorang pria yang sangat mencintai wanitanya. Saya bisa memaklumi. Jika saya berada di posisi itu, pasti saya akan melakukan hal yang sama." "Thanks."Mereka mulai menyantap menu yang mereka pesan. Kali ini, Arya dan Dinda tidak seperti biasa. Mereka men
"Ada Bu Arya?" ulang Susi dengan ekspresi bingung yang tidak dapat ia tutupi. Ia tidak memahami bisikan Rini barusan. "Bukannya dia jadi IRT ya?" Rini tidak menjawab melainkan sibuk menata ekspresi wajahnya. Susi mengikuti kemana arah Rini menghadap sekarang, lalu menjadi salah tingkah sendiri.Susi lantas menginjak kaki salah satu rekannya yang masih sibuk mengoceh, hingga obrolan seru itu berhenti tiba-tiba. "Se-Selamat Pagi, Bu Arya," sapa Rini dengan sangat ramah. Siapa yang tidak mengenal sosok Dinda? Mahasiswi pintar yang tertunda kelulusannya karena sikap tidak profesional sang pembimbing, yang tidak lain dan tidak bukan wanita yang baru saja meninggalkan gedung itu."Selamat Pagi." Wajah Dinda yang cantik menjadi semakin cantik karena senyum manisnya. Dinda sengaja datang ke kampus untuk mencari informasi program magister untuk Dani."Ada yang bisa kami bantu, Bu?""Saya sedang mencari informasi program magister manajemen."Keempat pasang telinga yang ada di balik meja infor
"Semua sama. Tidak ada perlakuan yang beda." Kembali Arya menegaskan perihal penundaan rekrutmen tenaga dosen di kampusnya.Indra menggigit sedikit bagian dalam bibirnya. Aura rektor muda di depannya sangat mendikte dirinya. Ia yang baru empat bulan diterima sebagai asisten dosen, harus berulang kali menelan salivanya. "Menjadi asisten dosen di kampus-?" Arya kembali mengangkat wajahnya dari lembaran curriculum vitae milik Indra."Baru lima bulan, Pak.""Dapat informasi darimana?" "Dari teman, Pak. Pak Subagyo adalah teman sharing saya di lembaga pendidikan Bahasa Inggris EFC. Karena beliau sering keluar kota mengikuti training, sehingga beliau membutuhkan seorang asisten dosen. Dan kebetulan, mata kuliah yang diampu Pak Subagyo adalah jurusan saya, saya menyambut baik tawaran itu."Arya mengangguk paham. Mungkin ia perlu membicarakan hal ini dengan Subagyo suatu hari nanti.Kening Arya mendadak berkerut sesaat. Ada hal menarik yang ia temukan. Namun, ia segera menepis pikiran burukn
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kasi
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me