Segumpal daging itu bernama hati. Kita tidak pernah tahu apa saja isi di dalamnya. Sebab, tak jarang tampilan banyak yang menipu. Dari luar tampak baik. Namun, isi di dalamnya ....Sungguh berbanding terbalik.*** Untuk yang ke sekian kalinya. Hari baru tiba di Kota kelahiranku. Surabaya. Pagi ini, kota yang terkenal dengan julukan Kota Pahlawan itu, disambut mesra oleh rintik hujan yang cukup padat. Bunyi tetesannya yang terdengar nyaring. Beradu dengan atap seng di belakang rumahku. Aku masih bergelung di bawah selimut yang sama. Bersama Mas Bram, suamiku. Meski sudah pukul tujuh pagi, tapi kami masih diam di atas pembaringan. Udara yang dingin sebab mentari tak kunjung memancarkan sinarnya. Semakin membuat kami berdua malas untuk pergi ke mana-mana. Usai shalat subuh tadi, Mas Bram bilang ingin kembali terpejam. Katanya, ia akan masuk kerja pukul sepuluh siang. Ada rapat internal di perus
Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau menempel sempurna di dindingnya. Tanpa halaman, tanpa pula pagar pembatas jalan. Aku tersenyum miris. Bukan menilai bentuk bangunannya. Melainkan, menilai betapa penghuninya sangat tak tahu diri. "Eh, Mbak Inamah. Mau ke mana?" tanya seseorang yang tak lain adalah Mbak Leli. Kebetulan ia sedang melihatku mengamati rumah Bu Yuyun. Kontrakan yang ditempati Mbak Lastri. "Ini, mau ke rumah Mbak Lastri. Udah lama nggak ketemu," ujarku sambil tersenyum.Melihat Mbak Leli, aku sedikit deg-degan. Teringat dengan mimpi waktu itu. Ya, betapa horornya ia di dalam mimpi. Menyeretku dan menuduh tanpa barang bukti. Meski hal itu hanyalah sebuah mimpi. Rupanya mampu mempengaruhi isi kepalaku. Hingga dalam keadaan sadar pun. Ada sedikit rasa ketakutan. "Oh, Mbak Lastri, ya? Tadi sih ketemu pas lagi belanja sayur," ucap Mbak Leli. "Oh, begitu." Aku tersenyum. "Berarti se
"Hueeeeeek! Huueeeek!" Mbak Lastri terus saja muntah. Mukanya memerah. Hidungnya pun berair. Wajah dan rambut sama-sama kusut. Puas!"Kurang ajar sekali kamu! Hueeeeeeek!" teriaknya sambil terus muntah-muntah. "Keluar dari rumahku! Sekarang!" ia histeris dengan telunjuk jari mengarah pada daun pintu. Mengusirku. Dih! Enak aja! Urusan masih belum selesai."Apa? Mbak bilang aku kurang ajar? Ngaca, dong!" sengitku. "Kalau kamu nggak keterlaluan, aku juga nggak bakalan begini!" Kutarik napas pelan. Tak tega sebenarnya memperlakukan Mbak Lastri seperti itu. Sudut hati menjerit bahwa ini salah. Tapi, aku sudah terlanjur kalap. Emosi melihat sikap dan ucapannya. Ia sama sekali tak mau mengakui kesalahan. Bahkan, tak juga mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aku tersulut. Gemuruh dalam dadaku membuncah. "Salah apa aku sama kamu, Mbak! Hah?! Tega benar
Kuklik cepat foto-foto tersebut. Kupicingkan mata melihat detail pesan chat di dalamnya. Huft! Syukurlah. Kuembus napas lega saat melihat bahwa nomor dan fotoku di blur oleh Mbak Lastri.Jika ia ingin mencemarkan namaku. Kenapa tanggung sekali? Kenapa harus diblur segala? Sebenarnya apa motif ia melakukan ini semua? [Gimana jadinya kalau ada tetangga yang genitin suami kita?]Tulisnya. Dih! Amit-amit. Iseng, kucoba menulis komen di statusnya. Belum juga kutulis. Tapi, begitu melihat komentar yang berjibun. Ku urungkan niatku. [Wah, gila banget. Jangan di blur dong. Ayo viralkan!][Harus digaruk ulat bulu seperti itu][Buang ke tempat sampah! Bumi hanguskan orang seperti itu!]Skip!Banyak sekali komentar netizen. Begitu pedas, serta sangat mudah menghakimi tanpa tahu kebenarannya yang pasti.Belum juga tombol kem
Kita Flashback dulu ya ❤Menembus ruang dan waktu. Tujuh tahun silam. Di sebuah kota yang terkenal dengan pesisir pantainya. Tuban. Seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung. Ia tengah berdiri menghadap ke arah matahari terbenam. Senja sudah merangkak naik, namun ia memilih tetap diam. Menunggu seseorang. Lastri Atmadja. Gadis berusia dua puluh satu tahun. Berparas ayu dengan kulit sawo matang ciri khas gadis pribumi. Badannya ramping. Ia memakai setelan rok berwarna hitam dan atasan baju motif bunga-bunga lily. Sesekali ia melihat ke sekeliling. Sejauh mata melempar pandang. Tak juga ditemuinya batang hidung Bram. Lelaki yang telah membuatnya jatuh hati. Gelisah menunggu. Ia lalu mengecek gawai miliknya. Gawai butut dengan karet gelang yang mengikat. Satu pesan masuk membuat gawai tersebut bergetar. Lastri tersenyum. Rupanya sang kekasih hati membalas pesannya. [Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi tiba.]Lastri mendesah. Rupanya ia harus kembali bersabar untuk menunggu.Bu
"Masih lama, Mas?" tanya Lastri pada Bram ketika di perjalanan."Masih, Dek." Bram menggenggam lembut jemari tangan Lastri. Mereka sedang berada di dalam transportasi umum. Bus. Perjalanan dari Kota Tuban ke Kota Surabaya tak sampai memakan waktu setengah hari. Namun terasa begitu lama bagi Lastri yang tak pernah bepergian jauh. "Tidurlah dulu, nanti kalau sudah tiba aku bangunkan."Disandarkannya kepala Lastri di pundak kanan Bram. Seketika saja gadis itu terpejam. Menyelami dunia mimpi selama di perjalanan. *** Tepat pukul tiga sore. Bus yang ditumpangi Bram dan Lastri tiba di terminal Purabaya Bungurasih. Bram mengusap pelan kepala Lastri, membangunkan. Lastri mengerjap. Diamatinya para penumpang yang menurunkan aneka barang dari bagasi. Bersiap untuk turun. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya terkejut. Saking lelapnya ia sampai tak menyadari pergerakan bus yang berhenti. "Iya."Gegas Lastri dan Bram menyiapkan diri. Mereka lantas ber
"Ada apa ribut-ribut?"Semua menoleh ke arah satu suara. Ani, ibu Bram. Perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu datang menengahi. Suara ribut dari teras rumah membuatnya terusik. "Lho, udah pulang? Kok nggak masuk ke dalam?" tanya Ani. "Bapak ngapain di sini? Ayo masuk," tambahnya. "Bapak mau ke luar ada urusan! Jaga itu anak kamu! Bisa-bisanya ia bawa anak orang ke rumah. Dasar perempuan gampangan. Mana kampungan lagi!" Handoko mendesis. "Bapak!" Bram setengah membentak. Sampai hati Bapaknya menghina Lastri sedemikian buruk. "Apa? Faktanya begitu? Mau --""Sudah! Jangan mendebat! Ayo masuk, Bram! Ajak gadis itu ke dalam," Ani memotong kalimat Handoko. Ia lalu berjalan ke arah Lastri. Meraih jemari gadis itu. Dirasakannya telapak tangan Lastri yang dingin. Gadis itu sudah pasti gugup. "Sudah, jangan didengarkan," ucap Ani lembut, menenangkan. "Terserah kalian saja!" Handoko berlalu. Ia menuju garasi mobil rumah. Mengeluarkan mobil
Masih tersengal dengan deru napas yang memburu. Bram dan Lastri bermandikan peluh keringat. Keduanya sedang bermain-main dengan takdir. Nafsu sesaat mampu menghilangkan akal mereka. Hingga puncaknya, deburan kenikmatan itu menyentuh dinding rahim. Benih tertanam sempurna bukan dengan jalan yang halal. Juga tak pernah diridhoi. *** "Jahat kamu, Mas!" Lastri terisak. Batinnya tergoncang. Ia telah menyadari satu kesalahan besar. Dan itu sudah sangat fatal. "Maaf, Dek. Mas lakuin ini biar kita bisa bersama." "Bersama apanya? Aku ... aku sudah tidak lagi perawan. Huhuhu." Lastri tersedu. Bayangan kelam tergambar di kedua matanya. Usia dua puluh satu tahun belum menikah saja, sudah menjadi aib bagi orang tuanya. Apalagi jika ia sampai hamil. "Tenang, Sayang. Aku akan segera melamar. Aku akan berterus terang pada Bapak. Beliau pasti setuju. Aku harus bertanggung jawab." Bram mendekap Lastri erat. Ia pun menyadari bahwa apa yang ia perbuat telah sanga