"Silahkan buka mata anda!"Perlahan Asma membuka kedua netranya. Pantulan dirinya pada cermin membuat Asma berdecak kagum. Paras cantik berbalut kerudung berwarna milo tampak pada kaca yang berada di depan Asma."Apakah ini aku?" ucap Asma mengusap lembut wajahnya. Kini kulitnya selembut kapas. Asma tidak percaya jika dirinya bisa secantik saat ini. Wanita yang berdiri di belakang Asma tersenyum kecil."Ternyata aku cantik sekali," tutur Asma senang. Sekarang dirinya sudah pantas disebut sebagai Nyonya Wisnu pemilik perkebunan keluarga Sangir. Bukan lagi gadis sederhana dari pelosok desa."Sudah selesai Mbak! Apakah masih ada yang anda inginkan?" tanya wanita yang berada di belakang punggung Asma seraya menyungingkan senyuman hangat."Tidak, tidak, ini sudah sangat sempurna sekali," ucap Asma sesekali memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan di depan cermin. Netra wanita itu dipenuhi binar."Pasti Abang akan terkejut melihat aku yang cantik seperti ini." Asma tidak sabar ingin segera mem
Wisnu mendadak diam. Kerongkongannya tercekat. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari jika wanita yang berdiri di depannya telah melepas dasi yang melingkar pada lehernya dan sekarang Asma sedang menatapnya penuh curiga."Bang, kok diam?" celetuk Asma menyadarkan Wisnu."Di pakaikan ...!" Belum sempat Wisnu menyelesaikan kalimatnya, Asma menarik dasi dari leher Wisnu."Sudahlah, tidak usah pakai dasi saja!" ucap Asma berjalan masuk ke dalam kamar melewati Wisnu. Saat itulah Wisnu baru tersadar jika dasi yang melingkar pada lehernya sudah berpindah."Lagi pula cuma bertemu dengan Abah," cerocos Asma yang masih sempat Wisnu dengar di luar pintu."Oh, ya sudah!" sahut Wisnu membenarkan sedikit kemeja yang ia kenakan setelah terdiam beberapa saat.______"Assalamualaikum ...!""Assalamualaikum ...!" Beberapa kali Asma mengucap salam di depan pintu rumah Umi, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam rumah. Bahkan celotehan Akbar yang biasanya akan menyambut kedatangannya kini juga tidak te
"Sudah, tidak apa-apa, ini hanya luka kecil saja." Tolak Abah tak kala Rani akan meminta lelaki itu untuk dirawat di rumah sakit."Sudahlah Abah, Abah menurut saja," sahut Rani dengan nada lesu. Kesedihan tergambar dari wajah Rani."Tapi apa sudah jauh lebih baik, Ran!" sahut Abah. Dokter memang meminta Abah untuk dirawat saja di rumah sakit hingga beberapa hari ke depan. Karena luka pada kaki Abah cukup serius. Tapi lelaki itu bersikukuh untuk pulang dan menjalani rawat jalan saja. Sebenarnya Rani tahu apa yang menjadi alasan lelaki itu, semua tidak lebih karena ketidak mampuan ekonomi Abah."Iya, Ran, biar Abah dirawat di rumah saja." Wanita yang duduk di samping Abah menimpali ucapan Rani.Lelaki berseragam putih yang duduk pada bangku di depan Abah dan Umi menatap pada Umi dan Abah serta Rani saling bergantian."Tapi, Umi, kata dokter kan Abah harus dirawat dulu. Setidaknya sampai luka di kaki Abah itu lebih baik," desak Rani. Abah dan Umi bungkam. Pasangan suami istri itu sesaa
Asma terdiam sejenak, menatap pada Wisnu yang berdiri di belakang punggungnya."Abah tidak perlu memikirkan hal itu yang terpenting adalah kesembuhan Abah," sahut Wisnu dengan nada lembut khas lelaki itu. Ia menjatuhkan tatapan lekat pada Abah."Abang!" seru Asma menaikkan kedua alisnya. Wisnu menggenggam tangan Asma meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja."Terimakasih Wisnu, maafkan Abah jika selama ini sudah bersikap buruk kepadamu," tutur Abah seraya menyeka sudut matanya yang basah. Penyesalan tergambar dari wajah Abah.Setelah menjenguk Abah Asma dan Wisnu segera kembali pulang ke rumah Abah untuk menjemput putra semata wayang mereka yang ia titipkan kepada Ibu Fatimah, ibu dari Ustaz Azhar."Terimakasih Bu, maaf sudah merepotkan," ucap Asma sebelum meninggal rumah Ustaz Azhar untuk mengambil putranya."Tidak apa-apa Asma," balas wanita yang tidak lagi muda itu melemparkan senyuman hangat pada Asma dan juga Wisnu. "Akbar tidak nakal kok," imbuhnya tersenyum kecil."Bagaiman
Lelaki pemilik lesung pipi itu kembali menghilang. Sudah hampir seminggu sejak kepergiannya, lelaki bernama Wisnu itu tidak kembali ke rumah. Asma tidak tau harus bertanya kepada siapa. Ia sudah berusaha untuk menemui Hamzah, lelaki yang ia kenal di perkebunan teh keluarga Sangir. Lelaki yang menjemput Wisnu malam itu. Tapi kata para karyawan yang bekerja di perkebunan itu. Hamzah hanya datang seminggu sekali untuk mengecek perkebunan. Selebihnya lelaki yang memiliki otot kekar itu tidak pernah datang."Asma!" Wanita berkerudung coklat yang berdiri di depan pintu gerbang perkebunan terkejut saat seseorang memanggil namanya. Ia menoleh pada pria berbaju Koko yang memberhentikan motornya tidak jauh dari tempat Asma berada."Ustaz Azhar!" ucap Asma dengan wajah terkejut."Kamu sedang apa Asma di sini?" tanya lelaki itu melajukan motornya mendekati Asma."Aku ....!" Asma terlihat gugup. Senyuman paksa terukir pada lengkungan bibirnya, menegaskan jika ia baik-baik saja. Namun wajah sedih
Hari berganti Hari, tapi lelaki itu juga tidak juga kunjung kembali. Bahkan ia meninggalkan Asma sudah cukup lama, tanpa kabar tak sama seperti dulu. Lelaki bernama Hamzah itu juga tidak kunjung datang menemui Asma, untuk sekedar mengatakan jika Wisnu kini sedang berada di suatu tempat atau memberikan uang sama seperti dulu."Kemana kamu Bang?" lirih Asma semakin cemas. Netranya menatap pada langit juga yang kebetulan tidak mendung. Asma membuang nafas berat, menenggelamkan wajahnya pada kesedihan. Bukan karena Wisnu yang tidak meninggalkan uang untuknya saat ia pergi, melainkan karena Wisnu yang tidak kunjung kembali. Membaut Asma semakin dilanda kegelisahan dan kerinduan yang teramat dalam."Asma!" Suara panggilan itu mengalihkan tatapan Asma pada seorang wanita yang muncul dari anak tangga jalan setapak menuju rumahnya yang terletak di lereng perbukitan."Umi!" ucap Asma sedikit terkejut melihat kehadiran wanita yang tidak lagi muda itu. Ia segera bangkit dan menghampiri Umi."Ad
Asma mengangguk lembut seraya menyunggingkan senyuman kepada Umi. Sejenak wanita itu menjatuhkan pelukan pada tubuhnya. "Terimakasih Asma, terimakasih!" ucap Umi terdengar sangat terharu. Asma mengusap punggung wanita bertubuh subur yang memeluknya. Benaknya mengembara jauh, memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pernikahan Rani. ______Suasana pondok memang tidak pernah berubah. Letaknya yang berada di daerah pegunungan dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan perkebunan teh yang luas milik perusahaan keluarga Sangir terlihat jelas dari pondok pesantren tempat Asma dulu mengajar. Tapi sayangnya, setelah menikah Wisnu, lelaki itu meminta Asma untuk berdiam di rumah dan melayani semua kebutuhannya, layaknya seorang istri. Ia tidak mengizinkan Asma untuk mengajar di pondok lagi."Hah ...!" Asma membuang nafas berat. Sebelum ia melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang pondok pesantren. Riuh ramai suara anak-anak yang sedang mengaji terdengar h
Senyuman terbit dari kedua sudut bibir Rani saat melihat Asma menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Umi. Seperti apa yang ada di dalam benaknya, wanita lugu itu tidak akan pernah bisa melihat kesedihan pada wanita yang tidak lagi muda yang duduk di hadapannya."Yes, akhirnya aku bisa juga menikmati harta suami Mbak Asma. Dengan begini kan uang tabunganku akan utuh. Aku bisa memakainya untuk pergi bulan madu bersama Mas Bagas," ucap Rani senang, seraya memeluk buku tabungan yang berada di tangannya. Rani menarik pelan tubuhnya masuk ke dalam kamar. Sebelum Asma ataupun Umi melihat kehadirannya yang sedari tadi mengintip dari balik celah pintu. Rani berjalan menuju ke arah ranjang dan menyimpan buku tabungan miliknya ke dalam laci nakas yang berada di samping ujung ranjang.____Janur kuning melengkung di depan rumah Abah. Pesta pernikahan mewah yang Rani inginkan akhirnya terwujud juga. Dekorasi yang megah dan pakaian pengantin yang sangat bagus sekali. Semua Rani sewa dengan harga