"Tapi apa, Bang?" Asma mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan penuh penasaran pada Wisnu yang bungkam dengan wajah berpikir."Kita harus tinggal di Jakarta, As!" Wisnu menjeda ucapannya. Ia tahu wanita itu pasti tidak akan menyetujui apa yang baru saja Wisnu katakan kepadanya."Itu tidak mungkin, Bang!" ucap Asma cepat.Dari wajahnya terlihat jika wanita itu tidak sejalan dengan apa yang Wisnu katakan. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan Umi, Bang. Apalagi sekarang Abah sudah tidak ada," ucap Asma dengan nada lesu, menjatuhkan tatapan serius kepada Wisnu yang berdiri tidak jauh darinya.Asma berjalan ke arah sudut beranda rumah. Membuang tatapannya pada pemandangan lampu-lampu rumah yang memadati lereng bukit. Hampir menyerupai bintang-bintang."Aku tidak mungkin meninggalkan Umi Bang. Apalagi sekarang Abah sudah pergi, dan abang tahu sendiri kan, Rani, pernikahannya gagal." Asma menoleh ke arah Wisnu yang menatap kepadanya. Kekacauan tergambar jelas dari wajah Asma. "Bahkan sampai ha
Asma berlari tergopoh-gopoh menuju rumah yang berada di belakang Umi. Matahari memang sudah naik tinggi, tapi ia yakin jika Ustaz Azhar masih ada di rumah. Karena di setiap hari Jumat lelaki itu akan datang ke pondok pesantren di saat sore hari."Ustaz, ustaz Azhar!" teriak Asma di depan pintu rumah Ustaz Azhar dengan nada memburu, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengetuk pintu rumah Ustaz Azhar dengan keras."Asma, ada apa?" ucap wanita yang muncul dari balik pintu rumah. Ia terkejut melihat kedatangan Asma."Bu, di mana Ustaz ...!" Belum sempat Asma menyelesaikan kalimatnya lelaki yang mengenakan celana panjang longgar dan kaos ketat berwarna hitam muncul dari dalam kamar. "Ustaz, ustaz harus membantu saya!" seru Asma dengan nada memburu pada lelaki yang baru muncul itu."Ada apa, As?" Ustaz Azhar segera berjalan menghampiri Asma, memasang wajah panik."Rani, Ustaz, Rani!" cetus Asma memburu.Kerongkongan Asma seperti tercekik, ia tidak bisa menceritakan hal yang terja
"Apa?" Lelaki bertubuh tegap itu tercekat seketika. Kedua netranya membola penuh menatap pada Tuan Hamzah."Nyonya Nada meminta Tuan Wisnu untuk segera kembali ke Jakarta," imbuh Tuan Hamzah. Sekilas ia melirik pada Asma yang berada di samping Wisnu.Wajah' Wisnu semakin kacau. Ia menatap pada Asma yang diam mematung. Ia yakin wanita yang sudah menemaninya hampir beberapa tahun belakangan itu pasti mengerti dengan keadaan yang Wisnu alami. Setalah tau jika Ayah' mertuanya sedang di rawat di rumah sakit."Pergilah, bawa Asma bersama kamu. Biar Umi dan Ustaz Azhar yang menjaga Rani di sini," sela Umi seketika mengalihkan tatapan Asma pada wanita yang terduduk pada bangku tunggu di luar ruangan ICU."Tapi Umi!" Wanita berwajah lugu itu tampak tidak tega jika harus meninggalkan Umi sendirian di rumah sakit. Apalagi di saat keadaan Rani sedang tidak baik-baik saja. Namun di satu sisi ia juga tidak mungkin membiarkan Wisnu melewati masa sulitnya sendiri."Umi tidak apa-apa, As, nanti kalau
Suara mengaji terdengar sayup-sayup masuk ke dalam indra pendengaran Rani. Menyadarkannya dari ketidaksadaran yang ia pikir itu adalah adalah sebuah kematian dan dia telah berhasil mengakhiri hidupnya.Perlahan gadis yang terbaring di atas ranjang pasien itupun membuka kedua matanya. Menatap pada langit-langit kamar. Sejenak kemudian menatap pada wanita yang sedang mengaji di sampingnya."Umi!" batin Rani menghela nafas panjang. Ia pikir percobaan butuh diri yang ia lakukan telah berhasil dan saat ini dirinya sudah mati."Alhamdulillah, Rani!" Umi segera menyudahi membaca kitab suci Alquran yang berada di tangannya saat ia melihat Rani telah tersadar. "Kamu sudah sadar, Nak?" ucap Umi penuh haru. Namun yang ada justru gadis itu terisak semakin menjadi."Umi ... Hu ... Hu ...!" tangis Rani pecah."Ran, kenapa kamu, Nak? Apa yang sakit?" Wajah Umi berubah panik melihat Rani menangis kembali. Air mata berlinang membanjiri pipi gadis itu."Kenapa aku tidak mati, Umi," tangis Rani. "Aku ti
"Selamat' datang di rumah kami," ucap wanita yang menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan yang berdiri di depan Asma dan Wisnu. Senyuman lebar tersungging dari kedua sudut bibir wanita itu.Asma menarik paksa senyuman pada kedua sudut bibirnya. Sementara Wisnu yang berdiri di sampingnya terdiam untuk sesaat."Kenalkan namanya adalah Nada," ucap Wisnu. Ia menatap pada Asma dan wanita berparas cantik dengan rambut sebahu yang berdiri di ambang pintu secara bergantian."Asma!" balas Asma menyambut uluran tangan gadis itu dengan senyuman hangat."Senang sekali bisa bertemu dengan anda," ucap Nada. Asma membalas ucapan itu dengan senyuman kecil. Di dalam hati, Asma berdecak kagum pada kecantikan wanita bernama Nada yang tinggal di rumah Tuan Sangir."Apakah dia juga saudara kamu?" tanya Asma mengacungkan sedikit jari telunjuknya ke arah wanita cantik yang berdiri di depannya.Wisnu terlihat gugup, "Iya, dia adalah keponakanku," jawab Wisnu cepat. Menatap penuh keyakinan pada Asma."Oh .
"Apa?" celetuk Wisnu terlihat gugup. Ia membenarkan posisinya."Iya, siapa wanita yang Ayah Sangir maksud?" Asma mengulangi pertanyaannya. Netranya menatap penasaran pada lelaki yang berbaring di sampingnya."Ehm ...!" Sepersekian detik Wisnu hanya terdiam dengan wajah berpikir. Ia nampak gugup dengan wajah bingung."Apakah maksud Ayah Sangir itu adalah Mbak Nada?" tebak Asma. "Bukankah yang ada di rumah ini hanya Mbak Nada dan Abang?" Wanita lugu itu menaikan kedua alisnya."I-iya, As, sepertinya maksud Ayah memang Nada," ucap Wisnu cepat. "Nada memang sudah Ayah anggap seperti anak kandungnya sendiri," jelas Wisnu dengan wajah lega."Oh," Asma membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O. Sejenak ia membuang tatapannya ke arah lain, lalu menjatuhkan tatapan akhir pada Wisnu kembali."Memangnya sebenarnya Mbak Nada itu saudara Abang atau bukan sih?" celetuk Asma dengan wajah penuh tanya."Iyalah, saudara Abang. Dia adalah keponakan Abang jauh. Orang tuanya tinggal di Belanda. Semen
Wanita berambut sebahu itu seketika menoleh pada Asma. "Suami?" ucapnya dengan nada terbata. Ia tampak sangat terkejut sekali."Iya Suami." Asma mengulangi kalimatnya seraya menaikan kedua alisnya. Wanita itu menatap heran pada Nada."Punya As, Nada punya suami," celetuk Wisnu yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Seketika Asma dan wanita berambut sebahu itupun menoleh ke arah Wisnu."Mas!" lirih Nada, bibir mungilnya tiba-tiba memanggilan lelaki itu."Abang!" ucap Asma.Seketika Asma dan Nada saling bersitatap untuk sesaat. Wajah Nada mendadak tegang, tapi tidak dengan Asma. Wanita yang usianya jauh di bawah Nada itu justru melemparkan senyuman hangat pada Nada. Ia merasa lucu saat memanggil Wisnu bersamaan dengan panggilan yang berbeda."Maaf, aku hanya terkejut saja melihat Mas Wisnu ada di sana," sela Nada memaksakan senyuman.Asma melebarkan senyumnya. "Sama, aku juga terkejut," ucapnya sekilas menatap pada Wisnu dan Nada secara bergantian. Wisnu tersenyum hangat, melangkahkan
"Nyonya Asma, apa yang sedang anda lakukan?" celetuk Bik Tum mengangetkan Asma. Seketika gerakan tangan yang hendak mengetuk pintu itupun terhenti. Begitu juga dengan tangisan yang berasal dari dalam kamar yang seketika itu juga terhenti."Bik Tum," celetuk Asma terkejut, ia mengalihkan tatapannya kepada Bik Tum yang berjalan ke arahnya."Apa yang sedang Nyonya Asma lakukan di sini?" tanya Bibik."Tadi aku mendengar suara orang menangis dari dalam kamar ini, Bik," jelas Asma."Menangis?" Bibik menaikkan kedua alis. "Bagaimana mungkin?" Bibik mengeryitkan dahi. "Itu kan gudang Nyonya, Jadi tidak mungkin ada orang menangis di dalam ruangan itu," jelas Bik Tum.Asma tercekat. Ia yakin sekali dengan Indra pendengarnya. Jika beberapa saat yang lalu ada seseorang yang menangis di dalam kamar itu dan suara tangisannya hampir mirip sekali dengan suara Nada."Tapi aku tidak bohong, Bik," tegas Asma dengan wajah penuh keyakinan. "Suaranya hampir mirip sekali dengan suara Mbak Nada," jelas Asma.