Astuti sadar mencegah Tama pun tidak ada gunanya. Pria itu pasti akan menghalalkan segala cara untuk meyakinkan adik dan ibunya. Astuti menatap Tama seperti orang yang memiliki dendam kesumat. Tangannya sudah gatal untuk menyeret Tama keluar dari ruang rawat, tapi apalah daya Tama malah bersikap sok akrab dengan ibunya.“Tujuan dia apa sih sebenernya pura-pura baik begitu? Aslinya aja suka ngancem. Dasar cowok gak jelas,” batin Astuti geram.Astuti terus memperhatikan Tama dan mendengar pria itu berkata pada ibunya, “Kalau butuh sesuatu, Bu, jangan sungkan bilang sama saya. Soalnya saya benar-benar serius sama Astuti.”Adik Astuti yang sudah terlanjur kagum dengan perhatian Tama bertanya dengan penasaran, “Tapi, kenapa Bang Tama baru muncul? Aku baru tahu loh kalau Mbak Astuti punya pacar. Kalau waktu itu nggak lihat Bang Tama keemuan sama Mbak Astuti di koridor RS, mungkin aku nggak bakalan tahu.”Tama melirik Astuti yang terdiam seribu bahasa. Biasanya wanita itu akan langsung meny
Astuti langsung mengalihkan pandang ketika Dipta menatapnya dengan tajam. Gawat, seharusnya Astuti memberitahu ibu dan adiknya untuk tidak membahas hal ini di depan Dipta. Tapi, jika Astuti berkata demikian, mereka justru akan bertanya kenapa Dipta tidak boleh tahu. Posisi Astuti saat ini benar-benar serba salah. Melangkah sedikit saja, maka sikapnya akan terlihat mencurigakan. Pada akhirnya, Astuti membiarkan ibunya bercerita mengenai Dipta mengenai ‘pacar jadi-jadiannya’ kemarin. Membayangkan Tama sebagai pacarnya saja sudah membuatnya merinding.“Tenang dulu, Tuti. Nanti jelasin dulu ke Mas Dipta kalau udah di luar,” batin Astuti, menenangkan dirinya sendiri.Setelah Dipta berpamitan pulang, Astuti menawarkan diri untuk mengantarnya ke depan. Astuti tahu jika Dipta memiliki banyak pertanyaan padanya. Oleh sebab itu, Astuti tidak bisa diam saja.Begitu mereka agak jauh dari kamar rawat ibu Astuti, Dipta berhenti melangkah dan berbalik. “Tadi ibu dan adik kamu mengatakan soal pacar,
Dipta menatap Ara dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada kesedihan yang tiba-tiba hinggap di wajah wanita itu. Entah mengapa, makan malam yang tenang dan damai menjadi kelam karena perkataan Ara. Mereka memang sudah lama tidak membahas masalah anak. Bagi Dipta, hidup mereka masih baik-baik saja meski belum memiliki momongan.Namun, malam ini Ara kembali meminta maaf tentang kondisi rumah tangga mereka. Dipta menghela napas panjang, meletakkan alat makannya, dan menyeka noda minyak di sudut mulutnya dengan tisu.“Kita belum rejeki aja, Ra,” ujar Dipta kalem. “Anak ‘kan pemberian yang di atas. Kita juga nggak bisa apa-apa ‘kan kalau Allah nggak berkehendak.”“Iya, aku tahu, Mas. Tapi, meski kita udah usaha selama bertahun-tahun sampai ikut program, semuanya nggak ada yang berhasil,” ucap Ara dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum setetes air mata jatuh ke pipinya. “Aku minta maaf karena nggak bisa kasih kamu anak. Aku tahu kamu pengen banget jadi ayah, aku juga pengen
“Apaan sih, Mas? Jangan ngaco deh!”Astuti melepaskan tangan Tama dari bahunya dengan kasar. Astuti sudah terbiasa dengan ancaman Tama dan jika dia semakin takut menghadapi pria ini, maka Tama akan semakin memaksanya melakukan hal yang tidak ia inginkan. Astuti menghela napas teringat foto tadi. Ia berkata dengan enggan, “Lagian ngapain sih kamu pake buntutin saya ke kampus segala? Untung Mas Tama nggak dicurigai sama staf fakultas. Kalau ketahuan gimana, coba?”Tama mendecak pelan. Setelah berkali-kali diancam, tampaknya Astuti sudah kebal dengan perkataannya. Tama menyugar surainya ke belakang dengan kesal, “Seandainya kamu nggak jadi pelakor, ngapain juga saya buntutin kamu, hah?”“Tadi itu Mas Dipta cuma bantuin aku biar nggak jatuh,” ujar Astuti, melempar pandangan ke luar jendela. “Selain itu, Mas Tama nggak tahu apa-apa. Karena sebenarnya Mas Dipta itu—“Menyadari dirinya akan mengungkapkan sesuatu yang ia janji akan rahasiakan, Astuti segera mengatupkan mulutnya rapat-rapat. D
“Dia ngapain ke sini sih? Apa dia nguntit aku?” batin Astuti gelisah.Astuti berniat kabur saja daripada berurusan dengan Tama lagi, tetapi jendela mobil Tama terbuka dan pria itu tampak melambaikan tangan padanya. Jantung Astuti seolah berhenti berdetak. Bisa-bisanya pria itu datang ke kampusnya dan menjemputnya secara terang-terangan? Di depan teman-temannya pula!“Tuti, itu tuh udah ditunggu!” ujar Farah sambil mengguncang lengan Astuti.Astuti tetap membeku di tempatnya, membuat teman-temannya kebingungan. “Kenapa kayak kaget gitu sih? Kayak nggak kenal aja,” timpal Risa. “Udah jelas-jelas loh dia nyariin kamu tuh.”“Hooh, tadi aja aku udah mau keluar gerbang, tapi Mas-Mas itu manggil aku. Tanya, ‘Kenal Astuti nggak?’. Pas aku bilang kenal, dia minta tolong aku buat panggilin kamu,” Farah menjelaskan dengan alis bergerak-gerak heran. “Siapanya kamu sih? Gaya bener dijemput sama mobil.”Sejenak Astuti mengalihkan pandangannya dari Tama. Pertanyaan Farah membuatnya tidak bisa menja
Tama merasa geram dengan sikap Dipta. Sekeras apapun Astuti menyangkal hubungannya dengan Dipta, nyatanya mereka memang lebih spesial dari sekadar dosen dan mahasiswa. Sekarang karena Tama sudah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, Tama sudah sangat yakin untuk memberi Astuti pelajaran lebih.“Kamu boleh mengelak soal hubungan kalian, Dipta, Astuti, tapi dengan bukti ini kalian nggak bisa lari lagi,” gumam Tama jengkel. Ia segera merogoh ponsel dari saku celananya, memilih ikon kamera, dan segera memotret kejadian tersebut. Tama mengambil beberapa foto sekaligus untuk dijadikan bukti. Sekarang, Tama tinggal melihat bagaimana kelanjutan mereka sambil tetap bersembunyi di sini.Sementara itu, Astuti secara otomatis berpegangan pada dada Dipta. Wajah mereka sudah tinggal sejengkal dan Astuti bahkan bisa merasakan hangat napas Dipta menerpanya. Namun, Astuti sadar dengan posisi yang sangat mudah disalahpahami itu. Ia pun mendorong Dipta menjauh dengan kasar dan mundur beberapa langka