Mata Tama bergetar melihat sosok wanita di ponsel Ara. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu ia berbicara dengan wanita itu, tetapi sekarang Tama mendapati kenyataan jika wanita itu adalah simpanan iparnya. Tama menatap Ara yang masih terguncang dengan perselingkuhan Dipta. Tama menurunkan tangan Ara dan meremas lembut pundaknya.“Mbak minum dulu, ya. Emosi Mbak Ara belum stabil. Duduk di sini. Aku ambilin air,” ucap Tama. Ara mengangguk pasrah. Ia membiarkan Tama membimbingnya duduk di kursi terdekat. Kepalanya tertunduk pada lantai dan semakin lama Ara memandangi foto itu, semakin hancur pula hatinya. Suaminya dekat dengan perempuan lain, yang notabennya mahasiswa di kampus tempatnya bekerja. Mereka terlihat sangat dekat dalam momen yang ditangkap foto itu.Tama kembali sekitar lima menit kemudian dari dapur. Pria itu membawa segelas air sebelum duduk di samping Ara.“Minum pelan-pelan, Mbak. Hati-hati tersedak.”Tama membantu Ara minum dari bibir gelas secara perlahan. Setelah meng
Astuti dan semua yang ada di sana kaget. Tapi Tama justru menyeringai tipis melihat Prita dan ibunya membelalak seperti itu. Masalahnya, ibu Prita menawarkan Tama untuk menikahi Astuti bukan dengan cara yang tulus. Justru ia sedang mengejek Tama. Astuti adalah anak pembantunya, itu artinya level Tama hanya sampai di situ. Ia lebih pantas menikahi wanita yang selevel pembantu seperti Astuti ketimbang Prita yang sudah menjadi pramugari. Sementara itu, Tama sendiri langsung menghampiri Astuti yang terdiam membeku dengan raut bingung. Ia tidak tahu harus bereaksi apa bahkan ketika Tama mendekatinya dan mengulas senyum tipis kepadanya. “Astuti ‘kan? Ibu kamu sakit dan butuh uang? Mau saya bantu?”Astuti mendongak dan beradu tatap dengan Tama. “A-ah… Saya… itu…”Ibu Prita mengurut pelipisnya sendiri yang mendadak pening. “Udah sana kalian pergi ajalah dari sini. Rumah saya bukan tempat untuk memadu kasih kaum-kaum kelas bawah kayak kalian. Hus!”Astuti menunduk dalam-dalam. Mendengar ucap
"Cuman 50 juta? Yang bener aja kamu, anak saya ini seorang pramugari lho, bukan tukang jualan seblak!""Nih, ambil mahar kamu! Saya nggak terima uang recehan begitu. Kalau kamu mau nikahin anak saya, minimal kasih 1M lah. Tapi kalau dilihat-lihat dari pangkat kamu yang cuma pratu, aduh-aduh... saya yakin seribu persen, 100 juta aja kamu gak akan sanggup. Belum lagi nanti kalau sudah menikah, mau dikasih makan apa anak saya? Nasi sama garam?"Ucapan pedas itu terlontar dari wanita paruh baya yang begitu sombong menolak lamaran Tama, seorang tentara yang sedang melamar kekasihnya, Prita. Ia ditolak mentah-mentah hanya karena menyerahkan uang sebesar 50 juta untuk mahar pernikahannya dengan sang kekasih.Tama menatap kekasihnya yang justru malah memalingkan wajah."Prita, kamu nggak mau terima mahar dariku?" tanyanya.Gadis itu menatap jengkel ke arah Tama."Kan aku udah bilang, kamu jangan datang ke rumahku kalau cuma bawa 50 juta Mas. Ya orang tuaku gak bakal setuju lah!""Aku hanya ma
Ketika kandungan Selina mencapai empat bulan, keluarga Hanif mengadakan upacara syukuran di rumah mereka. Beberapa orang di luar batalyon diundang, seperti Bu Silvi hingga Galih serta Nilam. Acara itu memang diadakan sangat sederhana karena tenaga untuk mempersiapkannya sangat terbatas. Hanif tidak ingin ibu dan istrinya yang tengah hamil muda kelelahan, sehingga dialah yang sebagian besar mengatur acara. Selina sendiri menyarankan supaya mereka memakai jasa katering untuk konsumsi para tamu undangan. Acara diadakan pada malam hari selepas maghrib. Semua tamu undangan mengaji di rumah Hanif untuk mendoakan janin Selina. Sementara Hanif dan Bu Ira menyambut tamu di depan, Selina beristirahat di kamar karena merasa tak enak badan. Nilam dan Galih menghadiri acara tersebut tanpa anak-anak. Galih bergabung dengan tamu undangan yang lain, sedangkan Nilam menemani Selina di kamarnya. "Masih mual-mual, Sel? Biasanya kalau udah masuk trimester kedua, morning sicknessnya agak mendingan loh
Selina menatap Hanif dengan gugup. “Apa harus sekarang, Mas?”Pertanyaan Selina sontak membuat Hanif cemberut. “Kapan lagi, Sel? Saya sudah menunggu lama untuk hari. Apalagi...” Hanif menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Selina. “Istri saya lagi cantik begini. Sayang ‘kan kalau nggak dimanjain.”Wajah Selina berubah menjadi merah jambu. Wanita itu menggeleng cepat. “Aku belum siap, Mas. Jangan sekarang, ya?”“Belum siap atau gugup aja, hm?” Jemari Hanif mulai mengangkat pakaian Selina, meraba punggung yang terbuka dengan seduktif. “Saya yakin sebenarnya ada yang kamu takutkan. Tolong, beritahu saya apa hal yang membuat kamu ragu.”Tubuh Selina menggeliat tak nyaman di pangkuan Hanif. Sentuhan pria itu bagaikan bara api panas yang membakar kulitnya. “Aku... aku takut sakit,” Selina mengaku dengan malu-malu. “Aku pernah denger cerita dari temenku di kantor redaksi. Dia... baru menikah dan honeymoon. Katanya yang pertama itu sakit.”“Sakit?”Hanif tidak bisa menahan ta
Selina tidak mungkin mengusir Hanif. Apalagi pria itu sudah siap membawa guling dan selimut sendiri. Selina melirik kasurnya yang sebenarnya cukup diisi untuk dua orang. Tapi, membayangkan tidur seranjang dengan pria lain... maksudnya, suaminya, Selina pasti tidak akan bisa tidur.“Sel? Saya boleh nggak masuk?” tanya Hanif, sontak membuyarkan Selina.Selina mengangguk cepat dan membuka pintu lebih lebar. “Si-silakan masuk, Mas.”Hanif tersenyum. “Terima kasih, ya.”Keduanya pun berbaring berdampingan di ranjang yang sama. Selina sengaja membuat batas di tengah kasur dengan guling dan tidur membelakangi Hanif. Detik demi detik berlalu tanpa suara. Hanif menatap ke arah lemari di seberang ruangan karena punggung mereka saling berhadapan. Jujur saja, Hanif tidak bisa tidur. Dia hanya tidak ingin lepas dari Selina sejak ciuman tadi. Pikiran Hanif dipenuhi oleh adegan manis di ruang tamu. Namun, Hanif berusaha menyingkirkannya dan memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba tidur.“Ugh.”Kelo