Sayangnya, Tama sudah melihat itu. Dia membaca dengan jelas nama yang tertera di layar ponsel Dipta yang berkedip, menandakan Dipta memang sedang menghubungi Astuti. Namun, Dipta langsung menyahut ponselnya dari karpet dan kembali mengantonginya. Wajah pria itu terlihat gugup.“Astuti? Siapa cewek bernama Astuti ini, Bang?” tanya Tama, menjaga suaranya tetap netral.Dipta menghela napas pendek. Benar-benar tidak menyangka dengan kunjungan dadakan adik- iparnya. “Bukan siapa-siapa, Pangeran.”Tama mengulas senyum miring. Apa Dipta pikir Tama tidak tahu apa-apa soal Astuti? Namun, Tama memutuskan untuk ikut dalam alur permainan Dipta. Bagi Tama, Dipta terlihat seperti penjahat yang sedang menyembunyikan bangkainya. Dan Tama bisa mencium aroma mencurigakan itu.“Masa sih bukan siapa-siapa, Bang? Kayaknya penting banget? Bang Dipta kelihatan bingung waktu si Astuti ini nggak ngangkat telponnya,” ujar Tama, berusaha memojokkan Dipta.Akan tetapi, Dipta malah bereaksi dengan tenang. Kegugup
PANGERAN 8Tama terdiam di kursi kemudi, memperhatikan Prita yang menempel dengan manja pada pacar barunya. Sejenak Tama teringat pada kisah mereka yang sudah lalu. Dulu masih ada cinta di antara mereka sebelum Prita menjadi pramugari. Prita adalah wanita lugu yang selalu tersenyum bahkan pada lelucon garing Tama.Namun, manusia memang memiliki seribu topeng di balik wajah mereka. Tama merasa menghabiskan seluruh masa mudanya untuk membahagiakan Prita. Lalu setelah kegunaannya habis, Prita mencampakkannya dengan lari ke pelukan pria lain.Tama menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan sesak di hatinya. Sisa-sisa cinta itu masih ada, tetapi tidak sekuat dulu. Luka yang diberi Prita terlalu dalam sehingga Tama merasakan pahit-manis yang membingungkan.“Ternyata kamu cuma manfaatin aku sebagai mesin uang kamu,” ujar Tama lirih. Ia memutuskan untuk mengikuti Prita, mencari tahu pria macam mana yang kali ini berkencan dengan wanita itu.Tama turun dari mobil. Ia menjaga jarak seaman
Astuti membeku merasakan bibir Tama menimpanya. Sejenak dia tidak bisa bergerak maupun berpikir. Tama juga tampak tidak berniat melepas tautan bibirnya dan malah mendorong kepalanya semakin mendekat. Astuti mengerjap cepat ketika tubuh Tama menekannya di kursi mobil. Begitu mendapatkan kekuatannya, Astuti segera mendorong Tama menjauh dan mendaratkan sebuah tamparan keras ke pipinya.Plak!“Apa-apaan kamu, Mas!? Bisa-bisanya kamu ngelakuin hal serendah ini sama saya!?” seru Astuti dengan napas memburu. Telapak tangannya terasa panas dan nyeri setelah menampar Tama. Ia melihat Tama membelalak dengan kepala tertoleh ke samping. Pria itu tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja didapatkannya.Tama meraih kerah blus yang Astuti kenakan dan menariknya mendekat. “Kamu berani menampar saya!? Nyali kamu besar juga, hm!?”“Itu karena Mas Tama cium saya tanpa izin!” bentak Astuti sembari menendang-nendang paha Tama agar menjauhinya. “Lepaskan saya! Saya bisa pergi ke rumah sakit sendiri!
PANGERAN 6:Ara menyusul Dipta ke kamar mereka. Ketika dia berdiri pintu, Dipta terlihat sedang mengganti pakaian dengan wajah masam. Ara tidak mengerti apa hal yang sedang suaminya pikirkan. Bukti-bukti yang terkumpul sudah jelas jika Dipta memiliki wanita lain di belakangnya, tapi Ara masih belum berani untuk membahas masalah ini dengan pria itu.“Mas Dipta,” panggil Ara sembari menghampiri Dipta.Dipta menoleh, melihat istrinya entah kenapa membuat dirinya lebih lelah. “Ada apa, Ara?”“Kamu nggak butuh apa-apa? Dibutain kopi atau teh?”“Aku nggak butuh apapun,” jawab Dipta singat.Ara mendesah. “Gimana kalau makan siang? Kamu baru pulang ‘kan, Mas. Aku bisa masakin sesuatu yang cepet biar kamu nggak nunggu lama.”“Nggak perlu. Aku udah makan di jalan tadi. Aku cuma ingin istirahat aja sekarang.”Ara memperhatikan suaminya berjalan gontai menuju kasur. Tubuh pria itu langsung merosot di pinggir kasur sebelum berbaring memunggunginya. Ara menggigit bibir bawahnya, menahan diri supaya
Selama beberapa saat, Astuti membiarkan ponselnya terus berdering. Ia tidak ingin berbicara dengan Dipta saat ini. Apalagi fakta bahwa pria itu telah menyembunyikan sesuatu sepenting itu darinya membuat Astuti merasa dibohongi. Astuti mengatur ponselnya dalam mode hening agar nada deringnya tidak mengganggu istirahat sang ibu. Namum, semakin lama dia mengabaikan Dipta, semakin gelisah juga hatinya. Astuti ingin bertanya mengenai kebenaran pernikahan Dipta, tetapi Astuti langsung teringat pada ancaman Tama yang langsung membuatnya merinding.Asuti benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.“Mbak Tuti, hpnya kedip-kedip tuh. Kayaknya ada telepon deh,” celutuk adik Astuti tiba-tiba, menyadari ponsel kakaknya terus-menerus menyala di karpet.Astuti terkesiap. Adiknya yang sedang memijat kaki ibunya menyadari panggilan Dipta. Astuti segera membalik ponselnya dan meneguk ludah. “Iya, ada telepon, tapi nggak penting kok.”“Tuti, kalau kamu ada yang nelpon mending diangkat, Nak,”
“A-apa!?”Napas Astuti tercekat mendengar bisikan Tama di telinganya. Matanya membola sempurna, sama sekali tak menyangka jika Tama akan mengatakan sesuatu yang tak sopan. Astuti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tama mungkin sudah membantunya, tetapi pria itu tidak berhak meminta hal sehina itu darinya.“Maksud kamu apa, Mas?” sergah Astuti cepat. Ia harus memelankan suaranya atau percakapan mereka akan terdengar oleh orang lain yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit. “Kamu pikir saya wanita murahan yang akan menuruti semua permintaan kamu hanya demi uang?”“Ya, kamu memang wanita murahan, kan? Bagaimana lagi saya menyebutnya?” Tama menarik pergelangan tangan Astuti semakin dekat. “Jangan sok lugu kamu, Astuti. Kamu kira saya nggak tahu wanita macam apa kamu ini, hah?”Astuti benar-benar tidak memahami ucapan Tama. Pertama, pria itu membantunya dan bahkan terkesan memaksanya menerima uang itu. Astuti akhirnya setuju setelah pertimbangan yang singkat, berpikir Tama benar-benar pem