Share

Piknik Ziarah

Dinikahi Raja jalan tol 3

Bab 3

Piknik Ziarah 

“Ibu nggak pernah ngerumpi, atau keluyuran. Kamu tau sendiri kan, Lin, kegiatan Ibu hanya ke masjid dan ikut pengajian, selebihnya, Ibu lebih banyak di rumah untuk beres-beres,” jawabku menyangkal tuduhan Lina. 

“Lha, iya, itu, Ibu ngerumpinya pas lagi ngaji, ibu ngomongin Lina sama teman-teman ibu.” Lina menatapku jahat. 

“Astaghfirullah, Lin. Di pengajian nggak ada orang ngerumpi!” Ucapku sedikit tinggi. Apa yang ada di pikiran Lina ini, menuduh orang mengaji menjadi ngerumpi. 

“Mana kutau!” Lina berucap sembari berkelebat pergi. 

Kembali, aku hanya dapat mengelus dada dengan kelakuan menantuku. 

**

[Jangan lupa ya, Ibu-ibu, besok kumpul di lapangan pagi jam setengah tujuh. Jangan terlambat]

Begitu pesan admin dari grup pengajian yang aku ikuti. 

Besok adalah hari piknik Ziarah diadakan. Aku melirik tas kain di meja. Semua kebutuhan buat piknik sudah aku siapkan dari tadi siang. Mukena, sandal jepit, air minum, permen dan sebungkus roti sudah aku masukkan tas. 

Tadi pagi, saat belanja ke pasar, aku juga membeli dua bungkus mie kering cap Eko, dua telur, sayuran dan sebungkus bakso. Semuanya 20 ribu saja. Besok setelah sholat Subuh, aku akan membuat mie goreng Jawa, buat bekal. Kan, lebih irit dari pada jajan.

Sudah jam sembilan malam, sebaiknya aku tidur agar besok tidak terlambat. Alhamdulillah, aku sangat bersemangat untuk mengikuti piknik Ziarah ini. Kalau tidak ikut pengajian, aku juga tidak pernah piknik. Sesekali, boleh dong healing, meskipun sudah nenek-nenek, wkwk. 

**

Pagi-pagi, aku sudah sibuk di dapur untuk memasak mie Jawa buat sarapan sekalian buat bekal piknik. 

Aku membuatnya spesial, pake telur, sayuran dan bakso. Setelah matang, aku mengambil tepak wadah makanan berwarna biru lalu menyendok sebagian mie dan memasukkan ke tepak. Cukup segini, aku lalu menutup tepak, tak lupa memasukkan sendok, garpu dan lap tangan kecil. Mie yang masih di wajan, aku pindahkan ke piring lebar dan menaruhnya di meja makan, biar buat sarapan Yuda dan Lina. 

Menengok jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih. Aku harus bergegas. 

Keluar dari kamar, aku sudah berganti baju seragam pengajian dan menenteng tas kain berwarna putih tulang milikku. Tinggal mengambil tepak makan yang tertinggal di dapur, selesai. InshaAllah semua perlengkapan sudah aku bawa. 

“Berangkat sekarang, Bu?” Tanya Yuda yang berjalan kemari. Anakku itu sudah bangun tidur rupanya. Aku menoleh. 

“Iya, Yud, Ibu harus ke lapangan dulu buat berkumpul,” jawabku tertawa kecil. Aku sangat senang hari ini, mau piknik, biarpun aslinya ziarah. 

“Hati-hati, ya, Bu.” Yuda meraih tanganku dan menciumnya. 

“Iya, Yud, makasih.” aku mengangguk. 

“Bu, ambilkan piring dong, aku mau sarapan.” 

Hampir bersamaan, aku dan Yuda menoleh. Lina sudah berdiri di seberang meja makan, dia melihat mie goreng di meja. Oh, ya, aku lupa menyiapkan piringnya tadi. 

“Iya, Lin.” aku menaruh tas kain di lantai dan beranjak untuk mengambilkan piring buat Lina. 

“Nggak usah, Bu, biar aku saja.” Yuda menahan pundakku dari belakang.

“Biar aja diambilin Ibu, Mas!” suara Lina seperti membentak. 

“Ibu itu mau berangkat piknik, Lin. Sudah jam 6, nanti terlambat ke lapangan,” sahut Yuda. 

“Ibu kan, bisa lari ke lapangan, biar cepat. Gitu aja kok repot.” Lina menarik kursi dan duduk di meja makan. 

“Ibu sudah tua, kok disuruh berlari, kamu itu gimana?” Yuda menegur istrinya. 

“Ibu itu belum jompo, Mas, masih kuat lah kalau cuma berlari ke lapangan. Deket ini.” Lina cuek.

Bergegas aku mengambil 2 buat piring dan menaruhnya di meja, dari pada Lina dan Yuda berdebat. Lagi pula, jangan bersitegang dengan Lina yang sedang hamil besar, takutnya dia stres dan berimbas pada janin di perutnya. 

Sampai di lapangan sudah penuh orang. Mataku nyalang mencari teman yang satu bis denganku. Semua sudah diatur panitia. Ada 4 bis yang akan berangkat bareng. 

Itu mereka! Setengah berlari, aku membelah lapangan yang padat dengan manusia. Di sana, dekat dengan bis nomor 2, aku melihat Bu Safiq, Bu Sani dan Bu Asmah, mereka bestie-ku. 

“Wew, Bu Ainun, baru nongol!” Seru Bu Safiq saat melihatku. Bu Asmah dan Bu Sani segera menoleh. Aku tersenyum lebar. 

“Maaf, maaf, kesiangan,” jawabku dengan nafas sedikit ngos-ngosan. 

“Cepat masukin barangnya. Kita sudah carikan tempat duduk,” kata Bu Sani. 

“Deretan keempat dari belakang, ya, Bu.”teriak Bu Asmah. Aku mengangguk. 

Setelah menaruh tas, aku kembali turun dan bergabung dengan teman-teman. Alhamdulillah, temanku pada baik, meskipun aku terlambat tetapi, dicarikan tempat duduk bersama mereka. 

“Ramai banget, ya, Bu?” Tanyaku setelah bergabung. 

“Ya iyalah, namanya juga satu Rw,” jawab Bu Sani. 

Piknik Ziarah kali ini tujuannya adalah ke Menara kudus, Masjid agung Demak dan kalau masih ada waktu, mampir ke Masjid Agung Semarang. Tipis-tipis aja, yang penting emak-emak seperti aku happy. 

Dua buah mobil pribadi kemudian terlihat memasuki area lapangan. Aku, Bu Safiq, Bu Sani dan Bu Asma menatap. Itu yang hitam kan, mobilnya Bu Atika, batinku. 

Benar, tak lama, Bu Atika keluar dari mobil bagus tersebut diikuti oleh Bu Nyai, Bu Farida dan satu orang lagi aku lupa namanya. Dari mobil yang satunya juga muncul Ibu-ibu penggede yang lain. Ibu penggede maksudnya mereka yang duduk sebagai pengurus di cabang yayasan, karena kelompok pengajian yang aku ikuti ini adalah under bow dari sebuah yayasan keagamaan besar. 

“Ayo, salaman sama Bu Nyai!” ajak Bu Asma sambil menarik tanganku. Berempat, kami menghampiri Bu Nyai. Sudah banyak ibu-ibu lain yang berebut salaman dengan Bu Nyai rupanya. 

Aku bersalaman juga. Termasuk dengan Ibu-ibu pengurus yang lain. 

“Eh, Bu Ainun. Ikut piknik juga?” Bu Atika menyapa saat aku mengajaknya bersalaman. 

“Iya, Bu.” aku tersenyum. 

Ya Allah, aku terharu. Bu Atika yang kaya raya dan terpandang mau menyapaku duluan, orang yang bukan siapa-siapa. Benar-benar baik hati dan tidak sombong. 

Bis pun berangkat. 

Dari sisi jendela, aku melihat ke luar. Mobil Bu Atika bersiap meninggalkan lapangan. Rupanya, para Ibu penggede tidak naik bis, mereka mengikuti dari belakang dengan mobil pribadi. 

Tak sengaja, aku melihat suami Bu Atika yang sedang duduk di kursi kemudi. Kebetulan, jendelanya dibuka. Setia banget ya, suaminya Bu Atika, beliau mau menjadi driver untuk mengantar istri dan teman-temannya piknik. 

Aku segera menghadap ke depan. Andai saja, Mas Riswan masih ada, dia juga sangat sayang dan setia padaku. Dan sekarang, sifat itu menurun pada Yuda. Anak lelakiku itu, sangat mencintai istrinya hingga tidak berani membantah sedikitpun. 

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status