Dinikahi Raja jalan tol 2
Bab 2“Ibu, belanja, ini uangnya. Lina pingin makan cumi.” Padahal, aku baru saja membereskan piring bekas sarapan Yuda dan Lina. Menantuku itu sudah berjalan ke arahku dengan perut besarnya. Lina menaruh uang sebesar Lima puluh ribu rupiah di meja makan. Aku melihat uang tersebut. “Kenapa melotot, Bu?” Tanya Lina seketika. Bola mataku berpindah padanya. “Oh, apa karena nggak ada upah?” Mata Lina melebar. “Bukannya Ibu sudah dikasih uang sama Mas Yuda kemarin sore, seratus ribu? Itu buat sebulan ya, Bu!” Lina menghardik keras. “Uang itu buat sangu piknik Ziarah, Lin,” kataku pelan. “Mau pakai piknik, kek, mau pake jajan, kek. Terserah! Pokoknya itu jatah buat sebulan. Kalau sehari sudah habis, ya sudah, Ibu diam,” ujar Lina garang. Aku mengangguk dengan bibir tersenyum. “Iya, Lin …” Lina berbalik badan dan kembali masuk ke kamar. Seperti biasa, aku hanya dapat menghela nafas untuk meredakan sesak di dada. Lina adalah istri pilihan Yuda sendiri, aku tidak pernah menjodohkan jodohkan anakku dengan siapapun meski ada beberapa teman pengajian yang berminat berbesanan denganku. Yuda yang pintar dan memiliki pekerjaan mapan tentu saja menarik perhatian Emak-emak untuk dijadikan sebagai Menantu. Awalnya, sebelum menikah, Lina ini baik dan sopan tetapi makin ke sini makin berubah terutama semenjak hamil. Lina jadi sering marah-marah padaku. Sebagai orang tua, aku memaklumi mungkin bawaan orok tetapi kok semakin menjadi. Yuda sangat memanjakan Lina, aku tau itu. Iri? Tidak lah, masa iri dengan menantu sendiri, hehe. Yuda masih baik sama aku meskipun sembunyi-sembunyi dari istrinya. Bagaimanapun, aku ini ibunya. Cumi Itu mahal. Limapuluh ribu nggak dapat satu kilo, pikirku sambil menutup pagar rumah. Berjalan keluar dari mulut gang, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja ke pasar. Tidak sampai satu kilometer kok jauhnya kalau naik angkot bayar dua ribu saja. Sekalian berolahraga. Belum ada separuh jalan, aku meminggirkan langkah karena ada sebuah mobil yang berjalan pelan di sampingku, mungkin mau parkir, aku melirik. “Bu Ainun, mau ke mana?”Kepalaku bergerak menoleh pada seraut wajah perempuan berhijab yang tersenyum ramah di balik jendela mobil yang terbuka lebar. Langkahku terhenti, itu Bu Atika, teman mengaji. “Eh, Bu Atika.” aku membalas senyumnya. “Ini, mau ke pasar,” kataku lagi. “Oh, bareng, yuk, saya lewat pasar juga, kok.” Dengan isyarat tangan, Bu Atika menyuruhku membuka pintu belakang mobil. “Nggak usah, Bu, sudah dekat ini.” aku yang sungkan, menolak halus. Terlihat, Suami Bu Atika yang menyetir menengok padaku. “Ayo, cepat masuk, gapapa,” ujar Bu Atika memaksa, bahkan dia membukakan pintu mobilnya. Terpaksa, akupun menurut dan memasuki mobil mewah Bu Atika. Duduk di jok empuk, bersih dan wangi mobil Bu Atika, aku merasa malu. Berusaha menyembunyikan kakiku yang hanya beralaskan sandal jepit. Bajuku bersih tetapi sudah pudar warnanya, rasanya aku tak pantas naik mobil ini. Yuda memang punya mobil meskipun tak sebagus ini, itupun, aku jarang sekali naik karena hampir tidak pernah diajak jalan-jalan. “Bu Atika, dari mana sepagi ini?” Tanyaku. Kalau dilihat dari penampilannya yang sporty sih, kelihatannya pasangan Bu Atika dan suaminya habis berolahraga pagi. Bu Atika memakai setelan training muslimah serta sepatu olahraga. Suami Bu Atika–yang aku belum tau namanya– juga mengenakan baju senada yaitu bernuansa sporty. “Dari cari sarapan pagi, Bu,” jawab Bu Atika tertawa renyah. Suaminya menoleh Bu Atika dengan tersenyum. Aku dapat menangkap pandangan kasih yang dalam dari suaminya. Senang melihatnya ….“Wah, sarapan apa, Bu?” Tanyaku menanggapi. “Itu, lho, Bu, bubur ayam yang di simpang tiga,” jawab Bu Atika dengan kembali menghadap ke depan. “Oh, itu …” aku berusaha mengingat, “enak Itu, Bu. Dulu, waktu masih ada Suami saya, sering kami makan di sana,” kataku mengangguk. Memang, dulu aku pernah sarapan bubur ayam simpang tiga yang terkenal lezat bersama Almarhum Mas Riswan. Tapi, itu sudah dulu banget. “Oh … emang sekarang suaminya ke mana, Bu?” Tanya Bu Atika. “Sudah meninggal, Bu,” jawabku dengan mengulas senyum, “sudah lama, kok.” aku mengangguk. Sedih, jadi ingat Mas Riswan … pinginnya sih, menghabiskan hari tua bersama, tapi, takdir berkata lain. “Oh, maaf …” Bu Atika menengok ke belakang dan melihat wajahku sekilas. Setelahnya, pembicaraan terjeda, Bu Atika dan suaminya terdiam. “Saya berhenti di depan toko emas itu saja, Bu,” kataku menunjuk ke depan. “Iya,” sahut Bu Atika. Sang Suami lalu memperlambat laju mobil dan berhenti tepat di depan ruko yang ada toko emas-nya. “Makasih, ya, Bu, Pak,” ucapku sebelum turun. “Sama-sama,” jawab Bu Atika. Mobil pun berlalu, aku segera memasuki pasar untuk berbelanja. “Lama banget, sih, Bu?!” Datang-datang, Lina sudah menyemprot di depan pintu. Aku melangkah memasuki rumah sambil beristighfar di dalam hati. Sabar . “Ibu jalan kaki, Lin,” sahutku sembari melangkah ke dapur. Menaruh belanjaan, aku segera menyalakan kran wastafel dan mencuci tangan. “Bukannya Ibu bisa naik angkot, uangnya kan, sisa?” Lina seperti tak terima dengan alasanku. “Cumi itu mahal, Lin, limapuluh ribu, nggak dapat sekilo, nanti kalau dapat sedikit, kamu marah.” aku berkata sambil sibuk mempersiapkan alat masak. Pertama mau mencuci cumi dulu, Lina kelihatannya sudah lapar makanya marah-marah. “Alah, alasan saja, padahal, Ibu ingin membuatku malu, kan?” Ujar Lina sinis. “Apa maksudmu, Lina?” Aku menatap menantuku. “Iya, kan, Ibu jalan kaki dari pasar biar dilihat orang-orang, dilihat tetangga. Terus Ibu bilang-bilang, kalau aku yang nyuruh jalan kaki, iya, kan?” Ujar Lina dengan dagu terangkat. Aku menatap Lina agak lama kemudian menggeleng, “Ibu tidak seperti itu,Lina.” Tega sekali menuduh orang tua begitu ….BersambungDibuang Anak Dinikahi Pengusaha Jalan Tol bab 85Secangkir kopi bikin syok Sore harinya, saat adzan Maghrib berkumandang, aku melihat Bu Sofi sedang sibuk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa hidangan enak dan es kolak. Langkahku perlahan. Mata ini tanpa sadar menatap Bu Sofi yang seperti rakus menyantap makanan. Dia sedang berbuka puasa. “Tumben, Bu, makan saat adzan Maghrib seperti orang puasa saja,” ujarku berpura-pura. “Ah, iya memang saya puasa hari ini,” sahutnya menoleh. “Puasa apa hari Rabu, perasaan puasa sunah Arafah sudah lewat,” ujarku lagi. “Emang napa Bu Ainun? Kayanya ngga suka ya, lihat saya puasa, berbuat baik, ngumpulin pahala?” Bu Sofi membalas sewot. Aku tersenyum saja. Ngumpulin pahala gimana orang niatnya saja sudah busuk. “Oh, gitu? Bagus dong kalau Bu Sofi sekarang sudah rajin berpuasa. Tapi, lebih baik lagi kalau puasanya Senin Kamis, Bu, InshaAllah berkah,” jawabku menyungging senyum. Bu Sofi melirik tajam. Biar saja, aku segera kembali ke ka
Saat Anakku Kaya 84Bab 84Apakah suamiku terkena pelet? Rutinitas pagiku agak lain hari ini. Mas Johan sudah keluar dari jam setengah enam pagi tadi. Suamiku ke Counter club, mau main golf bersama teman teman sehobby. Meskipun demikian, aku tetap ke dapur untuk membuatkan kopi. Kemarin, aku sudah berpesan pada Mbak Woro untuk tidak beraktivitas pagi dulu di dapur. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku menjebak Bu Sofi. Orang jahat mesti diberi pelajaran. Aku tidak merasa berdosa jika mempermalukan Bu Sofi. Itu akibat ulahnya sendiri. Mas Johan pergi tanpa diketahui Bu Sofi, Lina maupun Yuda. Suamiku nggak ngopi di rumah sebab di country club ada cafetaria. Pernah juga aku diajak ke sana. Wuih, fasilitasnya kelas atas, mewah dan mahal. Keren memang country club tempat suamiku menjadi member. Selesai mengaduk kopi dalam cangkir, aku meninggalkan dapur begitu saja. Sampai kamar segera memantau CCTV. Rasanya menggebu untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya. Mbak Woro muncul be
Saat Anakku Kaya 83Bab 83Menjebak Bu Sofi Huh, huh, huh!Nafasku rasanya bekejaran usai mendengar sendiri rencana busuk Bu Sofi. Benar-benar perempuan j4h4n4m dia itu. Tubuhku bergetar dan tanganku juga gemetaran. Seumur umur, aku tak pernah tau ada orang sejahat ini. “Duduk dulu, Bu,” kata Pak Margono menunjuk sofa. Aku mengangguk. Pak Margono memasuki rumah, aku masih terdiam dengan dada yang berdebar. Ya Allah … segitunya Bu Sofi. Aku sudah menolongnya, memberinya tumpangan di rumah mewah, meminjamkan mobilku untuknya bepergian, memberinya makanan gratis, menyekolahkan Nungki juga, tetapi apa balasannya? Dia malah mengincar suamiku! Astaghfirullahaladziim. Menarik nafas dengan mata terpejam, aku mengurut dada sendiri. Apakah ini yang disebut air susu dibalas air tuba? “Minum air putih dulu, Bu.” Pak Margono datang dengan segelas air di tangannya. Bagai kerbau dicucuk, akupun menurut dan segera meneguk air tersebut. Ya Allah, aku benar-benar syok. Pak Margono kemudian terl
Saat Anakku Kaya 78Bab 78Segala cara POV Bu Sofi Semakin lama tinggal di sini semakin membuatku gusar saja. Bagaimana tidak? Rumah ini begitu besar seperti istana. Dipenuhi dengan barang dan perabot antik yang nilainya bisa diduga fantastis. Garasi mobilnya juga isinya nggak kaleng-kaleng. Dan yang membuat hatiku hangus karena terbakar api cemburu adalah, pemilik semua ini adalah Bu Ainun! Perempuan dekil yang dulu miskin, gembel dan aku hinakan. Tidak habis pikir kenapa nasib baik berpaling padanya. Perempuan kampung itu berhasil memikat hati seorang konglomerat dan sialnya, mereka menikah! Aku tidak terima. Bu Ainun tidak boleh melebihi aku. Meskipun usiaku dengan Bu Ainun hampir sebaya tetapi, penampilan kami jauh berbeda. Bumi dan langit jauhnya. Lihatlah aku. Di usiaku yang menginjak 55 tahun, aku masih cantik. Kulitku masih putih dan kesat, tidak kendor. Wajahku terlihat glowing dan licin seperti porselen. Body ku tinggi dan proporsional. Berbeda dengan Bu Ainun yang kun
Saat Anakku Kaya 81Bab 81Pasang CCTV untuk memantau “Mas, aku minta tolong untuk dipasangkan CCTV di area dapur,” kataku pada Mas Johan malam hari saat hanya berdua saja di kamar. “CCTV buat apa, dek? Bukannya sudah ada di dapur?” Mas Johan memalingkan wajah. Matanya memicing menatapku. “Maksudnya yang benar-benar menyorot area dapur, Mas. Jadi dapat mencakup semuanya misal area memasak, kompornya, wastafel, rak piring dan sebagainya,” ucapku lagi. “Maksudnya biar aku dapat melihatmu bila sedang memasak, gitu, dek?” Mas Johan menggaruk kepalanya dengan mimik wajahnya yang lucu. “Bukan!* aku menoleh dan menggeleng cepat. Ngapain juga aku pingin disyuting saat masak. “Terus?” “Pokoknya pasangin aja, Mas?” pintaku dengan bibir manyun. Suamiku malah tertawa. Sebenarnya, sudah ada CCTV di area ruang makan. Cakupannya juga sampai ke dapur tetapi hanya sebagian saja karena angle nya yang susah. CCTV itu memang dikhususkan untuk memantau suasana ruang makan dan pintu belakang. Semen
Saat Anakku Kaya 80Bab 80Target Pelet “Lumayan, lah, Mas … nggak jelek-jelek amat,” ujar Lina seusai melihat ruko yang disewa Yuda untuk usaha jasa cleaning service. “Iya, Lin, nggak terlalu sempit jugae,” timpalku mengangguk. Setuju dengan pendapat Lina. “Lantai tiga ini, nanti rencananya buat para karyawan yang mau menginap. Aku mengizinkan dengan gratis.” Senyum Yuda mengembang. “Betul, Mas, sambil menyelam minum air. Rukonya aman dan mereka dapat tempat tinggal cuma-cuma. Sama-sama untung,” ujar Lina. Hari ini, aku, Lina dan Bu Sofi diajak oleh Yuda melihat ruko yang sudah dia sewa. Letaknya di daerah atas kota Semarang. Menurut Yuda, harganya lebih miring dari pada yang ada di pusat kota. Yuda memang sengaja mencari yang murah demi menekan pengeluaran modal. Masuk akal sih, menurutku. “Apaan, ruko sempit, sumpek begini, siapa yang mau tinggal di sini? Yang ada meleleh seperti lilin.” Bu Sofi mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya seolah merasa kepanasan. “Nanti dib
Saat Anakku Kaya 75Bab 75POV Bu Sofi Hati yang busuk Jadi, kamu mau buka usaha jasa cleaning service, Yuda?”“Iya, Om,” sahut Yuda mengangguk. “Apa alasannya?” Terlihat Pak Johan mengangkat sedikit dagunya agar dapat menatap lurus Yuda. “Saya pernah berkecimpung di bidang itu sebelumnya, Om. Sedikit banyak saya tau seluk beluk pemasaran dan manajemennya. Bahkan, untuk urusan marketing juga sudah saya amati. InshaAllah, saya yakin dapat berkembang dengan pilihan usaha ini.” ujar Yuda terdengar optimis. Aku sengaja berdiri di belakang bupet kayu besar tak jauh dari ruang tengah tempat Pak Johan, Yuda dan Bu Ainun bercakap-cakap. Rupanya, mereka sedang membicarakan rencana bisnis Yuda. Dasar b0d0h, Yuda itu. Ngapain membuka bisnis cleaning service yang ecek-ecek. Lebih baik uang segitu dipakai untuk investasi. Jaman sekarang kan, mainnya trading. Serahkan pada ahlinya, tinggal ongkang-ongkang dapat kabar baik dan cuan mengalir. Dari pada bisnis bersih-bersih, nggak elit banget,
Saat Anakku Kaya 75Bab 75POV Bu Sofi Hati yang busuk Jadi, kamu mau buka usaha jasa cleaning service, Yuda?”“Iya, Om,” sahut Yuda mengangguk. “Apa alasannya?” Terlihat Pak Johan mengangkat sedikit dagunya agar dapat menatap lurus Yuda. “Saya pernah berkecimpung di bidang itu sebelumnya, Om. Sedikit banyak saya tau seluk beluk pemasaran dan manajemennya. Bahkan, untuk urusan marketing juga sudah saya amati. InshaAllah, saya yakin dapat berkembang dengan pilihan usaha ini.” ujar Yuda terdengar optimis. Aku sengaja berdiri di belakang bupet kayu besar tak jauh dari ruang tengah tempat Pak Johan, Yuda dan Bu Ainun bercakap-cakap. Rupanya, mereka sedang membicarakan rencana bisnis Yuda. Dasar b0d0h, Yuda itu. Ngapain membuka bisnis cleaning service yang ecek-ecek. Lebih baik uang segitu dipakai untuk investasi. Jaman sekarang kan, mainnya trading. Serahkan pada ahlinya, tinggal ongkang-ongkang dapat kabar baik dan cuan mengalir. Dari pada bisnis bersih-bersih, nggak elit banget,
Saat Anakku Kaya 77bab 77Sok Akrab Bu Sofi melengos dan tidak menggubris pertanyaan ku. Rasain, sudah numpang masih sombong dan malah mengolokku. “Lina, jangan lupa nanti malam ya,” kataku pada Lina. “Zidan mau ikut Uti ke depan?” Tanyaku pada Zidan. “Mimik,” katanya. “Minta mimik? Haus ya, sayang? Uuhh, kaciaan.” aku tertawa. Lina segera mengambil Zidan dariku,”biar Lina buatkan susu dulu, Bu.” Aku mengangguk dan segera berlalu dari kamar Lina. Sempat kulihat wajah Bu Sofi yang ditekuk menahan marah. Hahaha.**Semuanya sudah berkumpul di meja makan untuk makan malam. Ada Mas Johan, aku, Lina, Yuda dan Bu Sofi. “Nungki mana?” Tanyaku saat tak melihat gadis abege putri bungsunya Bu Sofi. “Sudah makan katanya, Bu,” sahut Lina. “Lho, makan di mana?” Keningku mengerut melihat Lina. “Katanya tadi pulang sekolah pada nyeblak sama teman-temannya.” “Oh, begitu ….” Aku menganggukkan kepala dan mengambil piring Mas Johan untuk aku isi nasi. Karena tempat nasinya agak jauh, aku ja