Dominic dan Laura saling menjabat tangan singkat setelah Brian memperkenalkan keduanya.“Nyonya Marchetti, suatu kehormatan bertemu dengan Anda.” Dominic mencium singkat punggung tangan Laura.Brian berdehem keras, membuat Laura canggung, dan segera menarik tangannya. Ia mengumpat dalam hati jika sampai tindakan Dominic vesper membuatnya tak bisa turun dari ranjang.“Kau keberatan, Brian? Setidaknya aku bersikap gentle dengan mencium istrimu tepat didepan mata.” Dominic menyindir halus dengan senyuman konyol yang menyebalkan bagi Brian.Brian menaikkan alisnya sebelah, berusaha bersikap normal sambil merapikan pakain Laura yang sedikit terbuka.Tatapan mata Dominic langsung tertuju pada jejak kemerahan yang menghiasi leher Laura, ia terkekeh.“Gosh, aku rasa seseorang habis mengamuk semalam?” Laura kikuk, ia mengalihkan mata ke arah luar dan terkejut melihat sekelompok pria yang berkumpul di taman.“Mereka … orang mu Tuan Vesper?”Dominic menoleh lalu mengangguk, “Ya. Suamimu ini mem
“B-Brian?” Laura terkejut, kaget dengan perlakuan kasar Brian apalagi cengkraman kuat di lengan mulai menyakitinya.Alih-alih menjawab, bibir Brian kembali mendarat di leher Laura, disusul gigitan kecil yang nyaris menyakitkan. Nafasnya berat, seolah tak memberi ruang pada Laura untuk berpikir.“Kenapa kau begitu ramah padanya, hm?” bisik Brian serak di telinganya. “Apa kau lupa siapa yang sekarang ada di sisimu?”Laura terengah, mencoba menahan tubuh Brian yang membombardir dengan kecupan panas dan cengkeraman yang tak memberinya kesempatan mengelak.“Tidak … bukan seperti itu … kau salah mengerti,” Laura berusaha menjelaskan, tapi suara Brian menginterupsi, penuh kecemburuan.“Jangan bohong, Laura.” Rahangnya menegang, ciumannya kembali menuntut, lebih kasar, seakan hendak menghapus jejak siapapun selain dirinya. “Aku tidak suka melihatmu tersenyum pada pria lain … apalagi dia.”Brian tidak memberi Laura kesempatan untuk bernapas. Tubuhnya menekan dengan kasar, desahannya terden
Laura mendorong pintu ruang pemulihan, berusaha mengalihkan dirinya. Untungnya panggilan penting dari seseorang membuat Rafael Ortega menjauh darinya. Laura menghela nafas, lega karena tekanan hari ini berkurang satu. Di ruang pemulihan yang remang, hanya terdengar desau pelan mesin ventilator pasien. Laura berdiri di sisi ranjang, mencatat kondisi, mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi ia tidak bisa menghapus jejak di kepalanya yang terus memutar momen di lorong bersama Rafael. Tatapan mata Rafael Ortega, caranya menggoda, dan nostalgia kuliah tadi—semua berputar ulang di benaknya. Ia menggigit bibir, merapikan jas putihnya sebelum meninggalkan ruangan. Laura kembali memeriksa ponselnya, tak ada pesan atau panggilan dari Brian. “Huft, memangnya apa yang aku harapkan? Dia mungkin sibuk, atau …,” Jantungnya berdegup lebih cepat saat bayangan wajah Brian muncul dengan sorot mata tajamnya. Laura meraih ponselnya. Ia mengetik pesan dengan cepat. [Brian, kau masih terjaga? Aku ingin
Lounge khusus dokter terasa sunyi. Laura duduk di sofa dengan segelas air mineral dingin. Ia masih terasa lelah setelah operasi maraton seharian.Pintu berderit, Dokter Rafael masuk. Tubuhnya masih dibalut scrub biru, dengan rambut sedikit berantakan. Senyumnya muncul begitu melihat Laura yang kebetulan menatapnya.“Aku sudah menduga kau ada disini,” ucapnya sambil duduk di samping Laura, jaraknya cukup dekat hingga lengan keduanya bersentuhan. “Kau terlihat lelah sekali, berapa operasi hari ini?” Laura menoleh cepat, sedikit terkejut, lalu menghela napas. “Ehm, hanya tiga tapi durasinya cukup panjang.”Rafael tertawa kecil, nada suaranya hangat. “Wah, sepertinya aku harus merasa beruntung karena kau masih punya sedikit energi untuk sekedar menjawab pertanyaan basa basiku?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tak lepas dari wajah Laura.Laura sedikit menjauhkan tubuh, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.“Energiku cukup untuk sekedar menjawab pertanyaanmu.”“Kau selalu me
"Ini gila,” gumamnya lirih dengan nada frustasi. “Kau yakin ini akan berhasil, Dom?”“Ini layak dicoba, Brian dan aku tahu ini tidak mudah bagimu. Mengingat kau … sangat mencintai Laura,” Dominic tidak membantah. “Tapi hanya dengan taruhan sebesar itu kita bisa menangkap musuh sebesar Khalid. Pertanyaannya sekarang, Brian … apakah kau rela mengorbankan sedikit ketenangan mu dan Laura?”Brian menutup matanya sejenak, mencoba meredam badai yang mengamuk di dada. Ketika ia membuka mata, sorot mata tajamnya menandakan keputusan sudah dibuat.“Kalau menurutmu, itu satu-satunya jalan,” suaranya berat. “Maka aku sendiri yang akan memastikan Laura tetap selamat, bahkan ketika Ortega mencoba mendekatinya. Aku tidak akan membiarkan Laura terluka meski hanya goresan kecil.”Dominic menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Itu jawaban seorang pria yang sudah siap menghadapi perang, Brian. Mari kita mulai permainan.”*********Laura baru saja menyelesaikan operasi yang dijadwalkan siang tadi. Ia
Suasana ruang kerja Brian terasa sunyi, hanya terdengar detik jam dinding dan sesekali bunyi kertas yang diseret angin dari ventilasi. Pintu diketuk pelan sebelum Lucas masuk dengan wajah serius. “Tuan, laporan terbaru dari informan kita,” ucap Lucas, meletakkan sebuah map di meja. Brian mengangkat alis, matanya menajam ketika mendengar nama yang tertera di dalam informasi. “Rafael Ortega?” Lucas mengangguk. “Benar. Dokter Rafael disinyalir memiliki hubungan dengan kelompok Khalid setelah menjalani misi kemanusain di Ukraina.” “Sumber terpercaya kita juga mengatakan jika Khalid mendanai beberapa riset Dokter Ortega. Tapi yang lebih mengejutkan lagi Dave Carter sempat menemuinya beberapa waktu lalu.” Lucas menjelaskan garis besar hasil penyelidikan timnya. Brian menyimak sambil membaca dan melihat beberapa bukti yang berhasil di dapatkan Lucas. Brian membalik halaman demi halaman, meneliti foto-foto hasil pengintaian. “Dave…” suaranya menggeram rendah. “Apa hubungannya dengan O