“Kau milikku sekarang!” Ucap lelaki bermata biru langit itu. “Dan sekarang kau harus melayaniku sesuai dengan perjanjian kita!” Laura harus menelan pil pahit setelah Dave, kekasihnya menipu dan mempermalukan keluarganya di hari pernikahan mereka. Brian mengambil alih posisi Dave dan menikahi Laura tanpa banyak bicara. Ia menyelamatkan Laura dengan sebuah perjanjian kontrak. Harus menjadi istri Brian selama 3 tahun. Siapa sangka ternyata Brian adalah ketua mafia yang menguasai hampir separuh dari benua Eropa. Apa motivasi Brian memaksa Laura untuk menjadi istrinya dan apakah Laura akhirnya jatuh hati pada Brian?
Lihat lebih banyakLaura sudah menunggu selama satu jam.
Ia duduk di dalam kafe kecil dengan lilin ulang tahun yang menyisakan setengah dari panjangnya saja di atas slice kue red velvet pesanan Laura. Gadis cantik itu gelisah, berusaha menghubungi Dave tapi ponselnya mati. Penampilan all out-nya malam ini, rasanya bakal sia-sia. Padahal Laura sampai harus pulang awal untuk menyiapkan acara makan malam spesialnya malam ini. Laura melihat jam tangan untuk kesekian kali. Dave terlambat. Lagi. Kali ini... ada rasa aneh yang bergelanyar di hatinya. Entah kenapa, insting Laura berkata Dave tidak akan datang. Tepat ketika dia hendak meraih ponsel untuk menelepon, sepasang pria dan wanita melewati tempat duduknya. Seseorang yang sangat dia kenal berjalan mesra dengan seorang perempuan di pelukannya. Laura membeku. Napasnya seakan hilang dari dadanya. Itu Dave, dan wanita dalam pelukannya itu … Bella, teman sekantor Dave. Hati Laura mencelos menyaksikan kemesraan keduanya. Dave yang setengah mabuk terlihat mencumbu Bella tanpa malu. Aroma parfum mahal tercium saat keduanya berjalan didepan meja Laura. Itu aroma yang sangat dikenalnya, spesial diberikan pada Dave saat anniversary pertama mereka. Branded dan limited edition! Laura bahkan harus merogoh kocek sangat dalam untuk memesan sebotol parfum keluaran produk ternama Paris itu. Laura menahan diri tak ingin membuat keributan. Meski hatinya sakit sekali saat perempuan dengan heels tinggi, rambut pirang bergelombang, dan bibir merah menyala itu melumat bibir kekasihnya dengan penuh nafsu. Di hadapannya. “Jalang sialan ..,” ucapnya menahan geram. Mereka duduk tepat di meja seberang, dan tertawa lepas dengan tatapan bergairah tanpa menyadari kehadiran Laura. Dave tidak melihatnya. Atau … pura-pura tidak melihat. Laura tak tahan lagi, ia memutuskan untuk mendekat. “Dave?” suaranya kecil, hampir terselip di antara deru musik dan gelas kopi. “Apa yang kau lakukan?’ Pria brengsek itu akhirnya menoleh. Sekilas. Lalu menghela napas. “Laura.” Cuma itu. Tanpa senyum. Tanpa penjelasan. “Aku … menunggumu, apa kau lupa janji kita hari ini?” Laura beralih menatap Bella yang segera menjauh dan bersikap canggung di sampingnya. “Bella, apa yang kau lakukan dengan tunanganku?” Airmata Laura nyaris menetes. Bella tersenyum kikuk, “Ah Laura, aku pikir kau … pergi keluar kota.” “Keluar kota? Aku? Untuk apa?” Laura tak bisa lagi menahan diri. “Jadi … kalau aku keluar kota inikah yang kau lakukan Dave?” Dave berdiri mendekati Laura, berusaha meraih tangannya. “Dengar Laura, ini salah paham. Aku pikir kau … kau itu ..,” “Apa … aku kenapa? Kau tega melakukannya bahkan di hari anniversary kita?!” “Dengar, Laura ini … tidak seperti yang kau kira. Ini hanya makan malam biasa.” Kilah Dave berusaha membela diri. “Kau pria terbrengsek yang pernah aku kenal Dave,” suara Laura gemetar, bulir bening itu akhirnya tak terbendung lagi. “Kita putus!” “Laura, please! Jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini?!’ Dave meraih cepat tangan tangannya dan mendekapnya dalam pelukan. Tapi panas dan sesak di hati Laura butuh lebih dari sekedar pelukan untuk bisa meredamnya. “Minggu depan kita menikah, kau tidak bisa melakukan ini padaku?!” Laura melepas paksa pelukan Dave. “Tidak bisa katamu, coba saja! Pernikahan itu tidak akan pernah berlangsung!” Laura membuang cincin berliannya dan tepat jatuh ke dalam gelas wine Bella. Ia keluar dari ruangan yang begitu sesak baginya dengan derai air mata. Mengindahkan Dave yang berteriak di belakang sana. “Oke, fine! Leave it! Kau terlalu banyak drama. Dan jujur aja, aku bosan dengan kenaifan mu!” Kata-kata itu menampar keras Laura. Ia tak berbalik ataupun menoleh. Saat ini ia hanya ingin menjauh dan pergi dari Dave. Langit mulai menangis mengiringi Laura yang melangkah gontai tanpa tujuan. Di hari ulang tahunnya, Laura harus menelan pil pahit. “Seharusnya aku mendengar kata-kata mereka … seharusnya aku tahu jika Dave hanya menginginkan uang dan warisan ayah. Seharusnya aku … aaaaaaargh!” Laura berhenti, mendongak ke atas dan meluapkan kekesalannya. Yah, semua sudah terlambat untuk disadari tapi belum terlambat untuk mundur. Puas melampiaskan kekesalannya, ia kembali berjalan ditengah lebatnya hujan. Mobil-mobil melintas cepat. Sorot lampu menusuk mata. Dan suara-suara klakson yang memekakkan telinga. Laura tak peduli tubuhnya mulai.menggigil, lututnya lemas, dan ia mulai kehilangan kendali atas dirinya. Seketika Laura ambruk di tengah trotoar. Tapi seseorang menangkapnya sebelum Laura benar-benar jatuh. Bukan orang asing. Tapi bukan juga orang yang dikenalnya. Lelaki itu memakai setelan hitam. Wajahnya tajam dan dingin. Matanya kelam, tapi menyala samar tertimpa sorot lampu jalan yang temaram. Laura tidak sempat bertanya siapa dia karena dunianya berubah gelap dalam hitungan detik. Suara dering ponsel membangunkan kesadaran Laura. Ia membuka mata perlahan. Untuk sesaat, Laura tidak menyadari keadaan sekitar. Lalu samar terdengar suara seorang lelaki yang tengan berbicara dengan seseorang. Saat itulah, Laura sadar bahwa dirinya berada di kamar mewah yang asing. Kasur empuk. Dinding putih bersih. Tirai beludru biru tua. Dan bau... kayu manis dan tembakau halus. “Astaga, dimana ini?!”"Cukup!! Hentikan!” Laura berteriak dan itu cukup untuk menghentikan suara-suara yang berisik. Hening menggantung panjang. Pernikahan Laura, hancur. Di depan semua orang. Laura memejamkan mata. Ia membuka veil-nya perlahan, lalu menarik cincin di jari manisnya dan meletakkannya di altar. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan altar. Tak peduli dengan teriakan Dave yang memohon. Laura tidak ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia pergi begitu saja. Tak ingin menanggapi atau bicara. Hatinya sudah sakit, sangat sakit. “Dave Carter!” suara lantang dengan amarah terdengar menggema. Seorang wanita muda muncul dengan gaun mahal, bermake up tebal, berjalan lurus ke altar. Tatapannya begitu tajam, Laura menghentikan langkahnya, ia mengernyit. “Sarah?” Laura mengenalnya, itu pemilik butik ternama di Paris sekaligus teman kuliahnya. Sarah berjalan melewati Laura dengan tatapan sinis seolah tidak mengenalnya sama sekali. Semua mata kembali menoleh. Dave membulatkan mat
‘Andai ada keajaiban..,’ “Sebelum kita melanjutkan,” suara pendeta terdengar, “bila ada di antara kalian yang merasa bahwa pernikahan ini tidak seharusnya terjadi … kalian bisa menyampaikannya sekarang … atau tidak untuk selamanya.” Suasana hening sejenak. Satu detik … dua detik … tiga, dan … Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari sisi lain taman. “Hentikan pernikahan ini!” Semua kepala menoleh. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan berpakaian rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam, melangkah dengan penuh keyakinan diiringi enam pengawal pribadi. Cahaya dari lampu membingkai kedatangannya dalam siluet dramatis. Sorot tajamnya… langsung mengarah ke altar. Ke arah Dave dan Laura. “Maaf, Bapa.” katanya, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Tapi pernikahan ini… tidak bisa dilanjutkan.” Suasana membeku. Semua mata tertuju pada pria yang baru saja menerobos masuk. Brian datang bak dewa penyelamat Laura. Ia mengenakan jas hitam elegan, rambutnya begitu rapi an tentu
Di ruangan lain keluarga Hartwell begitu heboh mempersiapkan pesta termegah abad ini. Tenda putih gading telah berdiri di halaman belakang yang luas, dengan lampu-lampu kristal menggantung bak bintang berguguran. Para desainer interior, perencana pernikahan kelas dunia, dan juru masak berbintang Michelin lalu-lalang seperti semut pekerja, semuanya bekerja di bawah tekanan satu kalimat. Harus sempurna! Ayah Laura–Richard Hartwell–berdiri di balkon lantai dua, menatap ke arah taman yang sedang dihias dengan bunga calla lily dan mawar putih. Wajahnya berseri penuh bangga. "Akhirnya putriku menikah juga. Dengan pria yang sukses, mapan, dan punya masa depan cerah," gumamnya, menepuk-nepuk bahu wedding planner yang berdiri di sampingnya. Di dalam rumah, ibu tiri Laura–Maria Delacroix–sibuk memilih gaun-gaun dari koleksi couture bersama adik tiri Laura yang baru berusia 23 tahun, Megan. Keduanya tak henti-henti mengomentari potongan gaun, tekstur bahan, dan palet warna yang paling "I
"Entah, mungkin … setelah seluruh gadis kaya di dunia ini sudah habis?”Sienna berdecak sinis mendengar jawaban konyol Hugo Bannet, “kalian benar-benar kehilangan akal. Apa kalian tidak mempertimbangkan akibatnya? Para gadis itu dipermainkan layaknya boneka. Itu menyedihkan.”“Dipermainkan, benarkah? Heem, Laura atau … dirimu sendiri yang merasa begitu?” tanya Hugo mengejutkan hingga Sienna Hayes menoleh cepat ke arahnya.“Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau rasakan nona Hayes.” Hugo berkata, sedikit mendekatkan wajahnya pada pewaris pengusaha minyak terbesar di Texas itu.“Kau menyukai Dave Carter bukan? Jika aku boleh menyarankan nona Hayes … jangan bawa cinta dalam klub ini jika kau tak ingin … kalah dengan taruhan.” ketua klub itu berbisik sangat dekat di telinga Sienna.Hugo Bannet dengan lancangnya mendaratkan kecupan di leher jenjang Sienna, memberi gigitan kecil menggoda yang memaksa gadis cantik itu mengerang.“Jangan memaksa, Bannet! Kau tidak tahu akibatnya.”“Coba saja
Langit di kota Paris menguning di balik jendela tinggi Hôtel Costes, memantulkan kilau emas di permukaan gelas sampanye yang dipegang Dave Carter dengan malas. Aroma musk maskulin dan aftershave mahal memenuhi ruangan bercampur tawa ringan dari para pria muda dengan setelan terbaik karya desainer eksklusif. Dave menyandarkan tubuh ke sofa beludru. Ia menoleh ketika Hugo Bannet—putra pewaris maskapai penerbangan ternama di Eropa—melemparkan selembar kartu undangan ke arahnya. "Rupanya kau sudah siap jadi suami, Carter?" goda Hugo, sambil menggigit rokoknya dengan gaya angkuh. "Laura Hartwell—putri dari konglomerat Richard Hartwell. Luar biasa, kau memenangkan poin tertinggi tahun ini.” "Aku sudah katakan padamu bukan? Aku akan memenangkan taruhan ini.” jawab Dave dengan senyum sinis. "Cincin sudah di jari, undangan sudah dikirim. Hanya tinggal naik ke altar, dan … dapatkan jackpotnya.” Ucapnya lagi sambil menatap angkuh pantulan wajahnya di gelas. “Kau luar biasa sekali t
"Kita harus bicara, Laura.” ucapan dingin Maria seolah memberi kode darurat padanya.Laura ingin menolak, tapi Maria sudah memegang tangannya dengan sentuhan yang terlihat lembut—tapi mencengkeram seperti cakar burung.Sesaat kemudian, Laura sudah terdorong ke dalam kamar tidurnya sendiri. Pintu ditutup. Dikunci dari dalam oleh Maria sendiri."Aku sudah cukup bersabar, Laura," suara Maria mendadak berubah rendah."Bukannya aku tidak sayang padamu. Tapi kau harus tahu, hidup ini bukan tentang cinta konyol atau pemberontakan gadis manja seperti kau. Ini tentang ... kemampuan bertahan.""Apa maksudmu?" Laura melawan tatapan intimidasi Maria."Kau harus menikahi Dave, jika tidak perusahaan kita kehilangan tender properti di Seine. Dana operasional bulan depan sangat minim. Saham bisa anjlok, dan perusahaan kita bakal tutup. Kau ingin semua pegawai dipecat hanya karena kau ingin 'bebas'?""Tapi, aku tidak bisa menikah dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga komitmennya, Bu?!” Laura teta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen