Rahasia?
Rahasia apa yang mereka bicarakan?
Prims berdiam diri di tempatnya, berpikir akan mencuri dengar karena pembicaraan itu membuatnya penasaran. Namun, keberadaannya diketahui oleh sang pelayan.
"No-Nona?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut dan tidak mengantisipasi keberadaan Prims di sana.
Arley memutar kepala padanya, irisnya yang kelam menerpa Prims dan membuat gadis itu langsung menunduk, merasa tidak enak hati karena tertangkap basah.
"S-selamat malam," sapa Prims lebih dulu.
Prims mencuri pandang pada wanita berpakaian serba hitam itu yang perlahan undur diri dan memberikan ruang pada mereka.
"Malam," jawab Arley singkat, hampir terlihat enggan.
Dalam hati Prims bertanya, 'Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar yang barusan?’
Kebimbangan merundungnya sesaat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bersuara. “Aku mau mengambil minum,” jelasnya, merasa sangat canggung dengan keheningan di antara mereka.
“Ambil dan kembalilah tidur.”
“Baik.”
Pria itu pergi begitu saja, meninggalkan Prims di dapur yang besar dan memantulkan suara langkahnya.
Berniat tidak memusingkan dirinya dengan obrolan tadi, Prims memutuskan untuk mengambil air dingin dalam botol, meneguknya hingga tandas. Sembari berjalan kembali ke kamar, dia berpikir, “Di kamar yang mana Arley tidur?”
Prims mendengar ada pintu yang tertutup dari lantai dua, tepatnya di kamar yang terletak di sebelah kamar utama.
Setelah tahu, dia kesal juga pada dirinya sendiri, “Kenapa aku peduli dia tidur di mana? Hal yang bagus dia memilih tidur di tempat lain.”
***
Esok harinya, Prims langsung beranjak dari kasur bahkan sebelum matahari terbit. Ini adalah pagi pertama ia resmi menjadi istri Arley Miller.
Prims menyiapkan sarapan dengan harapan bisa menyenangkan pria irit bicara itu, sehingga ia tak akan dicap sebagai pemalas yang hanya menumpang tinggal di rumahnya.
“Selamat pagi,” sapa Prims saat melihat Arley memasuki ruang makan. Ia menunjukkan senyumnya semanis mungkin, meski tak yakin Arley akan terkesan.
“Pagi.”
“Aku siapkan sarapan untuk Tuan Arley.”
Arley mengenyitkan dahi. “Ada banyak pelayan di rumah ini, kenapa kamu yang menyiapkan sarapan?”
“Cobalah dulu, mungkin kamu akan suka?”
Ekspresi Arley masih tampak dingin. Dia lantas mengangguk sekilas, lalu duduk dan melahap yang sudah dibuatkan Prims untuknya.
Dari seberang meja, Prims mengamatinya diam-diam. Bagaimana jemarinya yang besar itu menggenggam sendok dan garpunya, atau dia yang benar-benar tidak bicara apa pun selain menikmati sarapannya.
Dalam hati Prims berpikir, 'Dia tahan dengan irit bicara seperti itu? Padahal dia kemarin bisa bicara panjang di depan ayah dan ibunya. Dia bahkan melindungiku. Jadi kenapa dia tidak bicara saja seperti manusia normal?'
Banyak tanya yang berkecamuk dalam benak Prims. Namun, ia berusaha tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Melihat Arley tidak mengajukan protes terhadap masakannya saja sudah syukur.
Usai sarapan, Arley langsung lenyap dari pandangan. Prims tidak tahu ke mana pria itu pergi. Ia juga merasa tidak berhak bertanya meski statusnya adalah seorang istri.
Prims memutuskan untuk berkeliling sebentar dan mengagumi isi rumah. Prims terpana melihat interior bangunan yang berkelas. Beberapa lukisan yang terlihat klasik menghiasi dinding, juga guci dengan gaya Renaisans tertata baik di dalam lemari hias.
"Apa dia suka dengan karya seni?"
Prims berhenti di depan sebuah lukisan yang terpasang di dinding dan sejenak berpikir, "Butuh hal untuk memancingnya bicara. Apa kesukaannya pada karya seni bisa aku gunakan?"
Karena sebenarnya, Prims juga tidak terlalu bodoh soal karya seni, terutama lukisan.
Dia mengangguk yakin sebelum berjalan untuk pergi ke kamarnya. Dia tebak, Arley ada di dalam sana karena Prims tidak menjumpainya di mana pun.
Dia mengetuk pintunya dan mendengar sahutan dari dalam, “Masuk!”
Dugaannya benar bahwa Arley ada di sini. Dia sedang duduk di sofa, di tangannya ada sebuah buku yang sedang dia baca.
Arley menoleh sekilas pada Prims seraya bertanya, “Ada apa?” sebelum kembali ke kesibukannya.
Niat hati ingin memancing Arley bicara, yang justru terjadi adalah Prims malah mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Pikirannya tiba-tiba kosong saat dia berhadapan dengan Arley.
Terpesona pada wajah pria ini yang seperti telah diciptakan saat Tuhan sedang senang. Hidungnya tinggi, alisnya yang lebat, dan garis dagunya yang tegas. Dan Prims menyadarinya di saat yang tidak tepat.
Arley berdeham canggung, merasa salah tingkah karena gadis itu terlalu lama berdiri di hadapannya dengan tak mengatakan apapun.
"Kamu datang untuk mengamatiku?"
Prims terkejut dengan tanyanya dan dengan cepat mengelak, "Tidak."
"Lalu kenapa?"
"Itu—"
"Ada yang ingin kamu bicarakan?"
"Kenapa kamu sangat baik padaku?" Langsung saja, pikir Prims karena dia tak menemukan bahan basa-basi yang tepat.
Melihat Arley menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, menatap Prims yang terintimidasi hanya lewat tatapan mata.
"Maksudku ... bukankah kita sama-sama tahu kalau ayahku punya utang yang besar padamu dan tidak bisa membayarnya?" lanjut Prims dengan menunduk.
"Kamu juga tahu kalau di luar sana gosip sangat jahat dengan menyebutku sebagai perawan tua yang aneh, 'kan? Tapi kenapa kamu malah memilihku menjadi istrimu?"
Kedua bahu Arley jatuh mendengar panjangnya pertanyaan Prims. Dia pasti terusik oleh bibirnya yang cerewet ini.
"Banyak sekali pertanyaanmu, Primrose," jawabnya malas, yang justru semakin membuat Prims ingin tahu.
"Tuan tidak mau menjawabnya? Sedikit saja?"
"Yang jelas aku punya alasan."
"Alasan ap—"
"Kamu tidak perlu tahu."
Prims mendengus mendengar itu. Ternyata memancing Arley tak semudah yang dia pikirkan.
Kedua telinganya tampak memerah saat dia kesal, dan itu bisa dilihat oleh Arley.
"Kalau begitu sekarang aku yang bertanya," ucap Arley ringan, menarik perhatian Prims lagi.
"A-apa, Tuan Arley?"
"Kalau aku mengambil hal yang paling berharga darimu, apa kamu akan baik-baik saja?"
"Hal yang ... paling berharga?" ulang Prims lirih.
Dia memandang Arley. Sepasang mata kelam itu mengarah lurus padanya, dengan salah satu alisnya yang sedikit terangkat, berhasil memacu detak jantung Prims berdebar lebih cepat.
Pipinya menghangat, dan lama kelamaan terasa panas.
Prims bisa merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Kenapa dia memiliki pikiran bahwa Arley akan ....
Oh, tidak! Tidak boleh!
Prims segera menyilangkan kedua tangan menutupi bagian atas tubuhnya dan bertanya dengan terbata-bata.
"M-mengambil hal y-yang paling berharga dariku? A-apa maksudmu?!"
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Arley balik seraya bangun dari duduknya.
Dia menutup buku dan meletakkannya di atas meja sebelum mengayunkan kakinya mendekat pada Prims.
Gadis itu sontak mengambil langkah mundur.
"A-apa yang aku pikirkan apanya? Kamu sendiri yang bilang kalau akan mengambil milikku yang paling berharga. A-aku t-tidak masalah dengan gelar perawan tua. Jadi kamu tidak perlu mengambilnya dariku!"
Sudut bibir Arley sedikit terangkat melihat Prims yang gelagapan.
"Memangnya hal berharga apa yang akan aku ambil darimu?"
Prims masih menyilangkan tangannya saat tubuh tinggi Arley sudah berhenti di tepat hadapannya. Ia sedikit merunduk untuk menyejajarkan pandangan mereka.
Dengan posisi sedekat ini, Prims khawatir Arley bisa mendengar suara jantungnya yang berdebar seperti akan meledak.
Prims terpaku. Ia tidak bisa mengartikan ekspresi apa yang ada di wajah Arley, tapi dia terlihat sedang berusaha sekuat tenaga menahan senyum.
'Tidak, tidak! Aku tidak mau melakukan ‘itu’ dengannya. Aku harus pergi!' batin Prims panik.
Namun, kakinya seperti mengkhianati dirinya sendiri karena tidak mau diajak berpindah.
Sedangkan di depannya, Arley Miller masih menunggu kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibirnya yang banyak tanya.
"Lu-lupakan saja!" ujar Prims, hendak pergi meninggalkan Arley. Namun, dia malah menabrak lengan kekar Arley yang sengaja menghalanginya.
Pijakannya jadi tidak seimbang karena terkejut. Tubuh Prims oleng hingga nyaris jatuh ke belakang. Panik, tangannya terulur mencari pegangan dan berhasil meraih bagian depan kemeja Arley.
Prims refleks menariknya hingga sebagian kancing kemeja pria itu terlepas, dan memamerkan dada bidang dan otot perutnya.
Tidak sampai di situ, tarikan kuat Prims juga mengakibatkan mereka sama-sama kehilangan keseimbangan.
Dan di sinilah mereka sekarang, jatuh di atas ranjang dengan Arley berada di atas Prims.
Wajah mereka terlampau dekat, dengan hidung yang hampir bersentuhan. Prims bisa merasakan hangat napas pria itu menerpa wajahnya.
Posisi yang ambigu itu membuat salah satu sudut bibir Arley terangkat. Suaranya terdengar serak dan dalam ketika berbisik di dekat bibir Prims.
“Jadi ini yang kamu pikirkan?”
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le