"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana.
Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi.Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja.Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?"Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil.Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam.Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara.Tapi, 'bencana' baru saja dimulai.Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya.“Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan.“Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar.“Kenapa?”“Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.”Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjalan melewatinya dan menuju ke ranjang.“Tuan Arley akan tidur di ranjang juga?”“Kendalikan fantasimu!” jawabnya dengan nada kesal.Prims melihatnya mengambil bantal dan melemparkannya ke sofa.“Tuan akan tidur di sofa?”“Ya.”Dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan keadaan kaki menjuntai tidak nyaman, tatapan matanya yang kesal membuat Prims tidak bertanya lagi.Prims lebih memilih untuk menggulung tubuhnya dengan selimut dan berdoa dalam hati, 'Jangan ada godaan di antara kami!'***Hari demi hari terlewati, Prims mulai terbiasa hidup di dalam rumah ini.Terbiasa dengan Arley yang pendiam, atau hanya bicara saat ada perlu.Prims terbiasa melihatnya duduk membaca buku, atau berdiri di balkon saat Prims melihat bunga di taman.Saat itu terjadi, Prims akan melambaikan tangan dari bawah, lalu Arley akan pergi seperti tidak menganggapnya ada. Tetapi bibirnya yang terbiasa mengatup itu akan mengatakan, "Masuk, Primrose! Sudah mau hujan."Atau saat dia mengejutkan Prims dengan kalimatnya yang aneh, "Bunganya tidak tumbuh kalau kamu lihat setiap hari.""Kenapa?""Takut denganmu.""Apa wajahku semengerikan itu?"Lalu dia menghilang seperti hantu. Dalam hati Prims akan bertanya, 'Apa dia diam-diam melihatku dari sana?'Tapi mana mungkin, 'kan?Bagi Prims, rumah ini adalah rumah yang memberinya rasa nyaman. Tanpa ada hati yang dirundung kebencian, atau iri dengki yang menyulut pertengkaran seperti di keluarga asalnya.Dan sejauh ini, Prims masih berusaha untuk membuat Arley bicara, percakapan yang terjadi di antara mereka kebanyakan dirinyalah yang memulai.Atau kadang Arley juga, tapi itu seperlunya. Seperti yang dia sampaikan pagi hari ini sebelum dia pergi bekerja, "Nanti malam kita akan datang ke peluncuran merek parfum baru milik Kings Cosmetics," selorohnya datar."Bersiaplah," imbuhnya singkat."Kamu mengajakku pergi?""Ya.""B-baik," gagap Prims ternganga dan sukar menemukan kata untuk bertanya atau menolaknya.***Sebagai kemunculan pertamanya bersama dengan Arley, di sebuah momen yang tidak memungkinkan dirinya melakukan sebuah kesalahan, Prims bersolek dengan baik.Dia bubuhkan tint warna pomegranate yang lembut di bibirnya. Memastikan tampilannya sekali lagi di depan cermin sebelum berlari untuk menuruni tangga dan menjumpai Arley yang berdiri menunggunya di bawah.Mendengar derap kaki Prims membuatnya menoleh dengan enggan."Lama sekali kamu—"Kalimatnya berhenti tepat saat Prims tiba di depannya. Menengadahkan kepalanya pada Arley yang menawan dalam balutan setelan jas hitam yang dia kenakan."Apa aku cantik?" tanya Prims menyambung berhentinya tutur pria tinggi menjulang ini, memutar tubuhnya, memamerkan gaun warna blue ice yang dia pilih.Arley tak serta merta membuka suara, lisannya terkatup. Tapi sorot matanya menelisik sebagai sebuah pujian."Tidak buruk," jawabnya datar.Meski wajahnya menghindari Prims, tapi matanya sukar berpaling.‘Ekspresi yang aneh,’ batin Prims mengejek wajahnya yang seperti dibekukan formalin.Dengan diantar sopir, memerlukan beberapa lama untuk mereka sampai di tempat launching produk parfum baru."Wah, cantik sekali." Prims tak henti mengedarkan pandangannya ke setiap sudut tempat yang tak dia temui cacat-celahnya.Prims terkejut saat dia hampir lepas dan hilang di kerumunan sampai Arley meraih tangannya, menahannya untuk tetap di sisinya.Dia tak bicara saat menuntun tangan Prims agar melingkar di lengannya sebelum mereka berjalan memasuki ruangan dengan dijemput oleh tim.Satu tindakan yang membuat Prims termangu sebab lewat posisi ini, sejatinya Arley ingin mengatakan kepada semua orang bahwa dia tak datang sendirian."Arley, selamat buat parfumnya, aku sudah ambil sample tadi. Aku suka," ucap salah seorang pria begitu langkah mereka menapaki karpet magenta yang terbentang di dalam ruangan."Thanks, Shawn."Dari sana, Prims dikenalkan Arley kepada teman-temannya. Jumlahnya sangat banyak sampai Prims tak hafal satu-persatunya."Arley," entah panggilan ke berapa yang membuat Arley menoleh pada si pemanggil.Dari arah meja cocktail, Prims melihat seorang pria dalam jas biru gelap yang mendekat. Tapi bukan itu yang diperhatikan oleh Prims, melainkan wanita yang dia gandeng.Seperti sebuah perjumpaan yang direncanakan takdir, ke manapun Prims pergi dia akan melihatnya di tempat yang sama dengannya.Alice, adik tirinya.Dia terlihat menurunkan kedua alisnya, menekuk dengan kesal saat tatap mereka bertemu.Dari perkenalan yang mereka lakukan, pria yang bersama Alice itu adalah anak direktur pemasaran.Prims tak perlu bertanya alasan kenapa Alice di sini.Pergaulannya luas, dan dia memang suka mendekati pria kaya untuk menarik validasi orang yang melihatnya bahwa wanita anggun sepertinyalah yang pantas bersama pria kalangan atas."Kamu sudah datang?" ibunya Arley, Katie, ikut bergabung dengan mereka."Sudah," jawab Arley singkat.Katie memandang Alice yang dikenalkan oleh pria berjas biru itu. Tatapannya penuh rasa kagum dengan manisnya cara bicaranya.Prims tidak terkejut dengan reaksi Katie karena ibu mertuanya itu pernah mengatakan bahwa dia juga mengenal Alice.Sedangkan adik tirinya yang mengenakan gaun berwarna merah menyala itu sibuk merangkai diksi sanjungan untuk dirinya sendiri setelah dia mengatakan di mana dia kuliah."Oh, sungguh kamu kuliah di sana?" tanya Katie bangga."Iya, Tante.""Berapa umurmu?""Tahun ini dua puluh dua.""Astaga, kamu masih sangat muda!""Muda bukan jadi alasan buat malas, aku sedang mencoba belajar bisnis dengan datang ke acara besar seperti ini.""Kamu luar biasa, Alice.""Tapi Kak Prims lebih luar biasa karena dia bisa menikahi pemilik Kings Group."Alice melemparkan tatapan matanya pada Prims yang ada di samping Arley, tertunduk bisu.Begitu juga dengan Katie, ia pun ikut menatap Prims.Alice kemudian pergi setelah menyulut kebencian Katie pada Prims semakin besar dengan mengunggulkan dirinya serta pujiannya yang sebenarnya adalah hinaan.Wanita paruh baya itu terdengar tertawa sebelum dia berujar pada Arley dengan kemarahan yang tertera, "Arley Miller pemilik Kings Group kalah sama anaknya direktur pemasaran?""Apa maksud Mama?" tanya Arley balik, dari samping, Prims bisa merasakan tubuhnya berdiri kaku."Dia bisa bawa perempuan yang lebih cantik, berkelas, dan lebih pantas dijadikan menantu keluarga kita. Kenapa kamu malah memilih Prims? Kenapa tidak memilih adiknya saja yang lebih cantik, muda, anggun, pendidikannya baik? Tidak seperti istrimu yang hanya barang buangan."Prims menahan air matanya menerima segala hinaan itu. Karena sama sekali tak ada yang salah.Seolah tahu hatinya sedang dirajam oleh ucapan Katie, Arley mengamati wajah Prims yang murung. Padahal selama ini, di samping Arley dia hangat dan ceria seperti matahari musim semi."Jangan pikirkan!" lirih Arley mensejajarkan bibirnya di samping telinga Prims, "Lidah memang tidak bertulang."Meski nadanya datar dan terkesan membosankan, Prims tahu jika Arley ingin menghiburnya.Tapi rasanya itu tak berhasil. Prims terlanjur terkurung dalam penjara tak kasat mata yang mengasingkannya padahal dia berada di tengah keramaian.Alice benar saat mengatakan bahwa dia akan selamanya menjadi bayangan.Hatinya sakit, sementara dia tak bisa melakukan apa-apa.Acara terus berjalan, membuatnya semakin ingin cepat pergi dari sini.Namun, Prims tahu ini tak akan usai begitu saja. Sebab dia mendengar pembawa acara yang mengatakan bahwa dansa akan dimulai sebentar lagi.Dalam keinginannya pulang dan di antara hiruk-pikuk sekitar, variabel lain kembali mendekat di tempat Prims duduk bersama Arley.Katie, dia dengan berbisik di telinga anak lelakinya yang samar didengar oleh Prims, "Berdansalah dengan Alice! Jangan ajak Prims dan membuat malu keluarga kita dengan mengakuinya sebagai istri sekarang ini, Arley!"Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan. 'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih
Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be
Mendengar nada bicara Prims meninggi, apalagi dengan kata 'menyakiti' yang dia ucapkan dengan sedikit putus asa, membuat Arley akhirnya tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. Arley langsung melepaskan tangan gadis itu dari cengkeramannya.Prims menarik tangannya ke depan dada dan menatap Arley tajam. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih.“Kenapa tiba-tiba menyeretku?” tanya Prims, menatap Arley yang tampak sedang mengatur napas. "Apa yang kamu lakukan dengan pria itu, Primrose?" Arley balik bertanya. Nada suara dan tatapannya sama-sama dingin.Prims tidak suka dengan cara Arley bertanya, seolah-olah Prims telah melakukan sebuah kejahatan dan saat ini tengah dihakimi. “Tidak ada,” sahut Prims kemudian. “Aku hanya mengobrol dengannya.” Prims berusaha agar tak terlihat emosional meski sebenarnya masih kesal karena Arley menyeretnya seperti tadi.“Mengobrol?” Arley mendenguskan tawa sinis. Ia bersedekap dan menatap Prims dengan tatapan yang sulit diartikan.
“B-bukannya aku t-tidak mau di sampingmu, hanya saja ….” Prims menjeda kalimatnya, melepaskan diri dari Arley, mengambil jarak lebih lebar. Ia menyilangkan tangannya di depan bagian tubuh atasnya, secara tak langsung ingin mengatakan pada Arley bahwa sebaiknya mereka tidak terlampau dekat sebab gaun yang dikenakan oleh Prims itu kotor.Arley memperhatikannya, dengan tanpa kata melepas jas yang dia kenakan dan menyerahkannya pada Prims, “Pakai itu untuk menutupi gaunmu,” ucapnya lembut.Menunggu Prims melakukan yang dia minta lebih dulu kemudian mengatakan kalimat untuk terakhir kalinya sebagai penutup malam ini, “Ayo pulang.”Prims tak ingin menimbulkan keributan baru dan memilih untuk mengikutinya saja. Sebab mau menjawab atau menolak pun bibirnya gagap serta sukar membentuk kalimat.Mereka tidak saling bicara sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di rumah.Prims berjalan di belakang Arley yang membiarkannya mengekor langkahnya di belakang. Disambut oleh Jodie, Kepala Pelayan di ru
"Prims? Kamu di sini juga?" sapa Richard dengan mata yang berbinar senang."H-halo," jawab Prims dengan ragu. Menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya.Sekilas pandang saja Prims tahu jika Arley tak suka dengan pertemuan ini. Apalagi dengan bola matanya yang berputar dengan malas dan enggan itu.'Bagaimana kalau Arley mengira aku dan Richard sengaja bertemu di sini?' batin Prims tidak tenang, sedikit banyak menanggung kepanikan."Kamu datang dengan siapa?" tanya dari Richard mengakhiri pemikirannya."I-itu ...." Menatap pada Richard, Prims bingung harus menjawab apa. Dia hanya takut salah berucap.Dan barangkali Arley tak akan suka jika Prims mengatakan dia datang ke sini bersama dengan suaminya, atau Arley tidak ingin membawa status pernikahan mereka ke depan banyak orang.Kebimbangan yang menyergapnya dikejutkan oleh Arley yang lebih dulu mengenalkan dirinya, "Denganku. Arley Miller, suaminya Primrose."Deg!'Dia benar-benar mengatakan suami?' batin Prims tidak percaya.N
“Tidak!” sanggah Arley dengan cepat menyadari kalimat Prims lebih terdengar seperti, ‘Anda sangat mesum, Tuan Arley!’Prims mengangkat salah satu sudut bibirnya mendengar sanggahan pria itu, tawa lirih ejekannya membuat Arley kembali mengelak. “Aku salah memilih film! Bukan film ini yang—” Arley berhenti bicara karena Prims membungkam mulutnya dengan sebelah tangan. “Ssshh ....” desis Prims dengan mata terpejam kesal karena Arley mengundang perhatian semua penonton yang ada di dalam sana dengan suara baritonnya yang menggema sangat keras.“Jangan bicara keras-keras,” lirih Prims hampir putus asa karena mereka menjadi pusat perhatian dari puluhan pasang mata yang sepertinya lebih tertarik dengan keributan mereka daripada film yang belum beranjak dari adegan dewasa di depan sana.Dan memandang tangannya yang tengah membungkam Arley membuat Prims sadar dia dalam masalah, ‘Oh astaga ... apa yang aku lakukan?!’ batinnya panik dan perlahan menarik tangannya dari bibir Arley.Mata pria itu
Prims terdiam, tenggelam dalam betapa membiusnya mata Arley yang menguncinya tepat setelah lengan kekarnya membuat Prims duduk di pangkuannya.Dan Arley memang benar jika rasanya nyaman, lebih nyaman ketimbang berdiri dan menggerutu merutuki sempitnya tempat di mana mereka berada ini.Prims terhening dengan tak melakukan apapun bahkan setelah menit bergulir, sibuk mencerna situasi yang menjeratnya secara tiba-tiba.“Kamu tidak akan mengambil fotonya?” tanya Arley yang membuat Prims sedikit terkejut. Dia menatap Arley yang wajahnya sekarang sedikit lebih rendah darinya.“T-t-tapi ini ....” gugup Prims dengan meremas tangannya yang terasa berkeringat. “Apa?” tanya Arley dengan kedua alisnya yang terangkat.“Apa tidak apa-apa aku duduk di sini seperti ini?” Prims sekilas menyentuh pipinya yang terasa semakin panas. Dia menghindari tatapan Arley yang tak beranjak dari irisnya sama sekali. Sedang pria itu tak berminat memberi Prims jawaban dan lebih memilih untuk mendesaknya, “Cepatlah!”