Share

Bab 7 - Aku Akan Tidur Di Sini

"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana.

Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi.

Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja.

Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?"

Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil.

Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam.

Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara.

Tapi, 'bencana' baru saja dimulai.

Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya.

“Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan.

“Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar.

“Kenapa?”

“Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.”

Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjalan melewatinya dan menuju ke ranjang.

“Tuan Arley akan tidur di ranjang juga?”

“Kendalikan fantasimu!” jawabnya dengan nada kesal.

Prims melihatnya mengambil bantal dan melemparkannya ke sofa.

“Tuan akan tidur di sofa?”

“Ya.”

Dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa dengan keadaan kaki menjuntai tidak nyaman, tatapan matanya yang kesal membuat Prims tidak bertanya lagi.

Prims lebih memilih untuk menggulung tubuhnya dengan selimut dan berdoa dalam hati, 'Jangan ada godaan di antara kami!'

***

Hari demi hari terlewati, Prims mulai terbiasa hidup di dalam rumah ini.

Terbiasa dengan Arley yang pendiam, atau hanya bicara saat ada perlu.

Prims terbiasa melihatnya duduk membaca buku, atau berdiri di balkon saat Prims melihat bunga di taman.

Saat itu terjadi, Prims akan melambaikan tangan dari bawah, lalu Arley akan pergi seperti tidak menganggapnya ada. Tetapi bibirnya yang terbiasa mengatup itu akan mengatakan, "Masuk, Primrose! Sudah mau hujan."

Atau saat dia mengejutkan Prims dengan kalimatnya yang aneh, "Bunganya tidak tumbuh kalau kamu lihat setiap hari."

"Kenapa?"

"Takut denganmu."

"Apa wajahku semengerikan itu?"

Lalu dia menghilang seperti hantu. Dalam hati Prims akan bertanya, 'Apa dia diam-diam melihatku dari sana?'

Tapi mana mungkin, 'kan?

Bagi Prims, rumah ini adalah rumah yang memberinya rasa nyaman. Tanpa ada hati yang dirundung kebencian, atau iri dengki yang menyulut pertengkaran seperti di keluarga asalnya.

Dan sejauh ini, Prims masih berusaha untuk membuat Arley bicara, percakapan yang terjadi di antara mereka kebanyakan dirinyalah yang memulai.

Atau kadang Arley juga, tapi itu seperlunya. Seperti yang dia sampaikan pagi hari ini sebelum dia pergi bekerja, "Nanti malam kita akan datang ke peluncuran merek parfum baru milik Kings Cosmetics," selorohnya datar.

"Bersiaplah," imbuhnya singkat.

"Kamu mengajakku pergi?"

"Ya."

"B-baik," gagap Prims ternganga dan sukar menemukan kata untuk bertanya atau menolaknya.

***

Sebagai kemunculan pertamanya bersama dengan Arley, di sebuah momen yang tidak memungkinkan dirinya melakukan sebuah kesalahan, Prims bersolek dengan baik.

Dia bubuhkan tint warna pomegranate yang lembut di bibirnya. Memastikan tampilannya sekali lagi di depan cermin sebelum berlari untuk menuruni tangga dan menjumpai Arley yang berdiri menunggunya di bawah.

Mendengar derap kaki Prims membuatnya menoleh dengan enggan.

"Lama sekali kamu—"

Kalimatnya berhenti tepat saat Prims tiba di depannya. Menengadahkan kepalanya pada Arley yang menawan dalam balutan setelan jas hitam yang dia kenakan.

"Apa aku cantik?" tanya Prims menyambung berhentinya tutur pria tinggi menjulang ini, memutar tubuhnya, memamerkan gaun warna blue ice yang dia pilih.

Arley tak serta merta membuka suara, lisannya terkatup. Tapi sorot matanya menelisik sebagai sebuah pujian.

"Tidak buruk," jawabnya datar.

Meski wajahnya menghindari Prims, tapi matanya sukar berpaling.

‘Ekspresi yang aneh,’ batin Prims mengejek wajahnya yang seperti dibekukan formalin.

Dengan diantar sopir, memerlukan beberapa lama untuk mereka sampai di tempat launching produk parfum baru.

"Wah, cantik sekali." Prims tak henti mengedarkan pandangannya ke setiap sudut tempat yang tak dia temui cacat-celahnya.

Prims terkejut saat dia hampir lepas dan hilang di kerumunan sampai Arley meraih tangannya, menahannya untuk tetap di sisinya.

Dia tak bicara saat menuntun tangan Prims agar melingkar di lengannya sebelum mereka berjalan memasuki ruangan dengan dijemput oleh tim.

Satu tindakan yang membuat Prims termangu sebab lewat posisi ini, sejatinya Arley ingin mengatakan kepada semua orang bahwa dia tak datang sendirian.

"Arley, selamat buat parfumnya, aku sudah ambil sample tadi. Aku suka," ucap salah seorang pria begitu langkah mereka menapaki karpet magenta yang terbentang di dalam ruangan.

"Thanks, Shawn."

Dari sana, Prims dikenalkan Arley kepada teman-temannya. Jumlahnya sangat banyak sampai Prims tak hafal satu-persatunya.

"Arley," entah panggilan ke berapa yang membuat Arley menoleh pada si pemanggil.

Dari arah meja cocktail, Prims melihat seorang pria dalam jas biru gelap yang mendekat. Tapi bukan itu yang diperhatikan oleh Prims, melainkan wanita yang dia gandeng.

Seperti sebuah perjumpaan yang direncanakan takdir, ke manapun Prims pergi dia akan melihatnya di tempat yang sama dengannya.

Alice, adik tirinya.

Dia terlihat menurunkan kedua alisnya, menekuk dengan kesal saat tatap mereka bertemu.

Dari perkenalan yang mereka lakukan, pria yang bersama Alice itu adalah anak direktur pemasaran.

Prims tak perlu bertanya alasan kenapa Alice di sini.

Pergaulannya luas, dan dia memang suka mendekati pria kaya untuk menarik validasi orang yang melihatnya bahwa wanita anggun sepertinyalah yang pantas bersama pria kalangan atas.

"Kamu sudah datang?" ibunya Arley, Katie, ikut bergabung dengan mereka.

"Sudah," jawab Arley singkat.

Katie memandang Alice yang dikenalkan oleh pria berjas biru itu. Tatapannya penuh rasa kagum dengan manisnya cara bicaranya.

Prims tidak terkejut dengan reaksi Katie karena ibu mertuanya itu pernah mengatakan bahwa dia juga mengenal Alice.

Sedangkan adik tirinya yang mengenakan gaun berwarna merah menyala itu sibuk merangkai diksi sanjungan untuk dirinya sendiri setelah dia mengatakan di mana dia kuliah.

"Oh, sungguh kamu kuliah di sana?" tanya Katie bangga.

"Iya, Tante."

"Berapa umurmu?"

"Tahun ini dua puluh dua."

"Astaga, kamu masih sangat muda!"

"Muda bukan jadi alasan buat malas, aku sedang mencoba belajar bisnis dengan datang ke acara besar seperti ini."

"Kamu luar biasa, Alice."

"Tapi Kak Prims lebih luar biasa karena dia bisa menikahi pemilik Kings Group."

Alice melemparkan tatapan matanya pada Prims yang ada di samping Arley, tertunduk bisu.

Begitu juga dengan Katie, ia pun ikut menatap Prims.

Alice kemudian pergi setelah menyulut kebencian Katie pada Prims semakin besar dengan mengunggulkan dirinya serta pujiannya yang sebenarnya adalah hinaan.

Wanita paruh baya itu terdengar tertawa sebelum dia berujar pada Arley dengan kemarahan yang tertera, "Arley Miller pemilik Kings Group kalah sama anaknya direktur pemasaran?"

"Apa maksud Mama?" tanya Arley balik, dari samping, Prims bisa merasakan tubuhnya berdiri kaku.

"Dia bisa bawa perempuan yang lebih cantik, berkelas, dan lebih pantas dijadikan menantu keluarga kita. Kenapa kamu malah memilih Prims? Kenapa tidak memilih adiknya saja yang lebih cantik, muda, anggun, pendidikannya baik? Tidak seperti istrimu yang hanya barang buangan."

Prims menahan air matanya menerima segala hinaan itu. Karena sama sekali tak ada yang salah.

Seolah tahu hatinya sedang dirajam oleh ucapan Katie, Arley mengamati wajah Prims yang murung. Padahal selama ini, di samping Arley dia hangat dan ceria seperti matahari musim semi.

"Jangan pikirkan!" lirih Arley mensejajarkan bibirnya di samping telinga Prims, "Lidah memang tidak bertulang."

Meski nadanya datar dan terkesan membosankan, Prims tahu jika Arley ingin menghiburnya.

Tapi rasanya itu tak berhasil. Prims terlanjur terkurung dalam penjara tak kasat mata yang mengasingkannya padahal dia berada di tengah keramaian.

Alice benar saat mengatakan bahwa dia akan selamanya menjadi bayangan.

Hatinya sakit, sementara dia tak bisa melakukan apa-apa.

Acara terus berjalan, membuatnya semakin ingin cepat pergi dari sini.

Namun, Prims tahu ini tak akan usai begitu saja. Sebab dia mendengar pembawa acara yang mengatakan bahwa dansa akan dimulai sebentar lagi.

Dalam keinginannya pulang dan di antara hiruk-pikuk sekitar, variabel lain kembali mendekat di tempat Prims duduk bersama Arley.

Katie, dia dengan berbisik di telinga anak lelakinya yang samar didengar oleh Prims, "Berdansalah dengan Alice! Jangan ajak Prims dan membuat malu keluarga kita dengan mengakuinya sebagai istri sekarang ini, Arley!"

Comments (14)
goodnovel comment avatar
Ivat Jesi
Arley kok kamu diam saja pas ibumu bilang begitu 🥹 apa kamu akan menghancurkan ekspektasi saya
goodnovel comment avatar
Sonia Almaqhvira
katiek diem deh. kok udh kek ibu tiri si ngerundung anak mantu .... pliss lah Arley jangan mau d hasut SMA katiek...
goodnovel comment avatar
naura valencia
Katie di kehidupan selanjutnya akan lahir kembali dalam bentuk biji kopi luwak ಠ⁠益⁠ಠ
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status