"Eh? Apa-apaan ini?! Siapa kalian?!"
Bukan hanya Yudha dan Kamilia saja yang bingung. Bahkan, Marla menggapai tangan suaminya dengan penuh tanda tanya. Mengapa orang-orang bersetelan itu memanggil Arjuna dengan sebutan 'Tuan'? Marla memicingkan mata, menyadari jika orang-orang itu merupakan para saksi yang datang ke akad nikahnya kemarin. Dia ingin bertanya kepada Arjuna mengenai apa yang sedang terjadi. Meski sekelebatan, akad nikah yang berlangsung di KUA itu masih teringat jelas di kepala Marla. Akan tetapi, saat menoleh dia sempat memergoki Arjuna menggeleng ke arah empat pria bersetelan itu. Empat pria tersebut melempar pandang untuk beberapa saat, tetapi pada akhirnya mundur selangkah. "Nah! Saya mau tanya, apa maksud kalian tadi, hah?! Kenapa kalian malah mengelilingi saya dan suami saya seperti kami ini seorang kriminal?!" Kamilia masih meneruskan ocehannya, sedangkan diam-diam Yudha mengamati tautan tangan Arjuna dan Marla yang begitu erat. Terdapat setitik kekesalan yang bersarang dalam hatinya. Secara perlahan, salah satu pria bersetelan itu maju selangkah dan menunduk meminta maaf. "Maafkan kami, Tuan dan Nyonya. Kami hanya ingin memastikan bahwa tidak ada keributan di toko ini. Jika ingin berbelanja, silakan berbelanja dengan tenang." "Cih!" Kamilia memandang rendah pria tersebut. "Dasar! Toko macam apa ini? Pelayanannya tidak ramah sekali. Bagaimana kalau kita pergi saja, Yudha? Aku malas memilih pakaian di sini, soalnya kedapatan harus melihat wajah mereka berdua." Yudha tak mengucapkan apa pun, tetapi pria itu sangat ingin pergi dari sana karena alasan lain. "Oh iya," Kamilia berbalik sekali lagi sebelum keluar dari toko tersebut. "Jangan lupa datang ke resepsi pernikahan kami ya, Marla? Ah, tapi kamu harus memantaskan diri. Asal kamu tahu, tamu-tamu yang akan datang ke resepsi pernikahan kami itu dari kalangan atas semua." Kamilia melipat tangan di depan dada, memindai penampilan Arjuna dan Marla lalu tertawa kecil. "Penampilan kalian menyedihkan sekali. Sebenarnya kalian tidak pantas untuk menjadi tamu di resepsi pernikahan kami. Tapi, karena kamu pernah mengabdi untuk keluarga Anugerah, kami berbaik hati mengundangmu untuk datang." "Sudahlah, Kamilia," Yudha menarik tangan Kamilia, "ayo! Nanti kita harus mengantarkan undangan ke kediaman besar Wirajaya. Pastinya, seluruh keluarga besar mereka akan bersedia untuk datang dan memeriahkan pernikahan kita." Mendengar nama tersebut, Arjuna mengernyit. "Wirajaya?" "Baik, Sayang. Aku tidak sabar untuk berkunjung ke rumah mereka setelah ini. Jadi, sampai jumpa para pecundang~" Selepas keduanya benar-benar berlalu, Marla mendapati empat pria bersetelan itu menunduk sekilas sebelum pamit. Tanpa memberikan penjelasan tentang kedatangan mereka yang secara mendadak, seolah-olah memang tak dipersilakan membuka mulut. 'Tadi aku tidak salah mendengar kan? Bagaimana bisa mereka mengetahui namaku?' Marla merasakan genggaman Arjuna yang masih dieratkan pada tangan kanannya. Wanita itu terpaku, sehingga melupakan pertanyaan yang melintas dalam kepalanya tadi. "Mas?" Tersadar karena panggilan dari sang istri, Arjuna menoleh. Pria itu mengulum senyum. "Maaf, sepertinya aku salah pilih toko." "Ha? Tidak kok ...." Marla menggigit bibir bawahnya. Tertangkap secuil rasa bersalah dalam sepasang bola mata Arjuna yang membuat hati Marla menghangat. 'Apakah Mas Arjuna merasa bersalah karena membawaku ke toko ini dan berakhir dikata-katai oleh Mas Yudha dan Kamilia lagi?' "Kalau begitu, bagaimana kalau kamu memilih beberapa pakaian? Ah, satu lagi, karena kita diundang ke resepsi pernikahan mereka, lebih baik sekalian saja kamu membeli pakaian baru." Marla terperangah. Mereka berada di toko pakaian yang cukup mahal. Memilih kaus biasa saja sudah membuat Marla ketar-ketir. Akan tetapi, suaminya yang seorang montir itu malah menyuruhnya untuk sekalian membeli pakaian untuk dipakai saat menghadiri resepsi pernikahan Yudha dan Kamilia? 'Mas Arjuna sedang kerasukan sesuatu? Memangnya dia punya uang untuk membelinya?' Seakan-akan mampu mendengar isi hati Marla, Arjuna mengusap puncak kepala sang istri dengan penuh kelembutan. "Beli saja yang kamu mau, Marla. Tidak perlu bingung perkara bagaimana pembayarannya, suamimu ini akan membayarnya, hm?" Bagai dihipnotis, Marla mengangguk kikuk lantas ditemani oleh salah satu pramuniaga yang berada di sana. Melihat harga yang tertera pada tiap pakaian, membuat Marla menahan napas. "Bagaimana ini? Mas Arjuna pasti menyuruhku untuk membeli pakaian di sini karena tidak mau kalah dari Mas Yudha tadi. Astaga, kenapa kami harus bertemu di saat seperti ini sih?" Pada akhirnya, Marla memilih salah satu gaun terusan selutut yang terlihat cantik tapi tetap sopan. Bagaimanapun, dia sudah telanjur diundang untuk datang, dan Arjuna menyanggupi. Ketika dia mencari keberadaan Arjuna untuk memberitahukan pakaian yang dibeli, rupanya suaminya itu sedang bertelepon dengan seseorang. "Sudah datang? Mereka berdua?" Marla berhenti lima langkah di belakang pria itu. "Apanya yang datang? Apakah setelah ini Mas Arjuna masih harus bekerja?" "Ya, jangan lupa kabari saya!" Sambungan panggilan terputus, lantas Marla baru memberanikan diri mendekat. "Mas? Aku sudah pilih satu." Alis kanan pria itu meninggi. "Satu saja? Kenapa tidak pilih lagi?" Marla cepat-cepat menggeleng. Yang ada, dia malah terlihat seperti istri tidak tahu diri yang berusaha membuat suaminya merasa dirampok. Arjuna mengajaknya membeli pakaian hanya untuk membuktikan bahwa pria itu sanggup memberikan kenyamanan sebagai seorang suami. "Tidak, Mas. Ini saja dulu. Besok-besok, aku mau coba beli di toko lain." Kilahnya. Arjuna mengangguk, kemudian melangkah bebarengan untuk membayar pakaian yang Marla pilih ke kasir. Saat itu, Marla mendapatkan panggilan masuk dari Bu Maryam. "Mas, aku mau jawab telepon dari Bu Maryam dulu," pamitnya seraya melangkah keluar. Akan tetapi, sebelum keluar dari toko tersebut, Marla menyadari jika suaminya tak kunjung membayar pakaiannya. Malahan, pria itu menatap para pramuniaga yang ada di sana dengan tatapan yang tak dapat diartikan. 'Ada apa ini? Jangan bilang kalau Mas Arjuna memang menginginkanku untuk keluar supaya dia bisa membayarnya dengan metode dicicil—astaga! Apa benar? Apa Mas Arjuna sanggup membayar cicilannya?' •••••Pasangan Purnama tengah bercakap dengan rekan bisnis lain. Melihat kesempatan tersebut, Mariana meneruskan langkah ke arah Marla yang berdiri agak menepi. Selagi hidangan belum disajikan, sebenarnya Marla ingin sekali pergi keluar ruang naratama untuk mencari angin segar—sekaligus melarikan diri. Namun, sepertinya dia tidak akan bisa lolos dengan mudah. "Ternyata benar dugaanku. Kita akan bertemu di sini lagi, Nona Marla. Kamu terlihat cantik sekali," puji Mariana setengah hati dengan tatapan merendahkan. Tidak perlu diragukan, Marla bisa mengenalinya. Mariana seperti mengejek penampilan Marla yang tidak dalam balutan gaun mewah nan mahal seperti yang Mariana kenakan. "Kamu juga cantik sekali, Mariana. Jujur saja, aku menyukai gaya rambutmu malam ini." Balasnya. Alis kanan Mariana meninggi. "Benarkah? Yah, aku mengaturnya di salon sejak dua jam yang lalu, sekaligus melakukan perawatan rutin. Kalau seluruh tubuhku tidak dijaga dengan baik, apalah gunanya uang yang telah Ayah dan B
Marla telah mendapati sang suami menanti di meja makan, melahap makanan seraya memindai tablet yang terpampang pada sisi kanan piring pria itu.Entah kapan Arjuna pulang ke rumah, saking pudarnya kehangatan dalam hubungan mereka, Marla tidak tahu kapan suaminya pulang. Tidak seperti dulu, saat dia menunggu kepulangan Arjuna dengan hati berdebar, sekarang rasanya berbeda.Mau ditunggu, rasanya seakan-akan suaminya itu sengaja memperlambat diri pulang ke rumah. Alhasil, Marla jadi kelelahan sendiri hanya untuk menunggu kepulangan sang suami.Menarik napas perlahan, Marla memantapkan diri sebelum mengambil tempat di meja makan. Wanita itu berupaya untuk tak mencuri lirikan ke arah sang suami.Jujur saja, semalam tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Bahkan, dia mendapati diri terjaga di tengah malam setelah bermimpi buruk.Tidak bisa dimungkiri, mimpi buruk itu datang lantaran dipicu oleh foto yang didapatkannya. Arjuna dan Julie. Sebetulnya apa yang mereka sembunyikan darinya?Apakah bena
Arjuna melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pria itu mendesah lelah, menyandarkan diri pada punggung kursi kerjanya.Seharian ini dia sudah dibuat kesal lantaran Yudha datang tanpa pemberitahuan ke rumahnya hanya untuk membujuk Marla lagi.Kening pria itu berkerut, tidak memahami mengapa sekarang Yudha ingin sekali kembali mengambil Marla, setelah dulu memperlakukan wanita itu semena-mena."Tuan, saya mendapat laporan dari mata-mata, semuanya berjalan sesuai rencana."Arjuna hanya mengangguk sekilas saat mendengar ucapan Julie. Seharusnya dia merasa puas atas segala sesuatu yang berjalan sesuai rencana. Namun, mengingat belakangan ini dia harus menjaga jarak dengan Marla meski sebentar, membuat suasana hatinya memburuk."Lalu, apakah sudah ada kabar dari si pengancam?" tanyanya dengan tangan mengepal erat.Mendengar pertanyaan tersebut, sepasang alis Julie bertaut serius. Bukan hanya Arjuna, tetapi Julie turut waspada akan si pengancam yang selama ini sedang meng
Marla tengah melayani salah satu pembeli saat dia mendapatkan pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. [Hai, Marla? Apa kamu tidak penasaran dengan seseorang yang sudah menjebakmu sehingga tidur dengan Arjuna malam itu? Ya, malam terakhir di mana kamu bermalam di kediaman Anugerah, seseorang menjebak kalian berdua.] Kening wanita itu berkerut, memindai kata-kata yang tersusun tepat di layar ponselnya. Kemudian, ditiliknya nomor asing yang tidak pernah diketahui sebelumnya itu. "Siapa pun yang mengirim ini, sepertinya dia mengetahui banyak hal tentangku yang tidak aku ketahui sama sekali." Marla menahan pergerakan ibu jarinya yang hendak melayangkan pesan balasan. Untuk sesaat, dia berdiam diri dengan mata berkedip gelisah. Haruskah dia menanggapi pesan tersebut? Bagaimana kalau semua itu hanya berupa tipuan belaka? Jangan-jangan pesan tersebut berasal dari Yudha? Mengingat pagi tadi, mantan suaminya itu telah menimbulkan keributan kecil di rumahnya. "Tapi ... Yudha tidak m
"Cepat bawa orang itu keluar dari sini!"Marla belum genap mencerna perkataan Yudha, ketika Arjuna datang dengan dua pengawal yang datang bersamanya. Sepertinya, suaminya itu sudah berada di perjalanan ke suatu tempat, terlihat dari setelan Arjuna yang cukup rapi seperti hari-hari biasanya.Yudha berdecak kesal, tak mengira jika Arjuna akan datang lebih cepat dari perkiraannya. Lantaran dia enggan diseret secara paksa, Yudha mengangkat kedua tangan tanda menyerah."Baiklah, baiklah, aku akan pergi dengan sendirinya, puas?"Meski Yudha berkata demikian, tatapan pria itu membuat Arjuna kesal bukan main. Sebelum Yudha memutar langkah, dia sempat bertatapan dengan Marla.Segaris kebingungan masih mendominasi wajah wanita itu. Marla ingin bertanya, tetapi yang ada malah memperlihatkan jika dirinya mudah terpancing oleh omongan Yudha.Tidak. Bisa saja Yudha sedang bermain-main dengannya. Bisa saja mantan suaminya itu ingin mengetahui seberapa bodoh Marla agar bisa ditipu untuk yang kesekian
Malam itu, Marla pulang lebih larut dari biasanya. Dia sudah mempersiapkan alasan bila Arjuna bertanya mengenai keterlambatannya, atas eksistensinya saat membantu Bu Sani di festival. Lantaran sudah telanjur tahu, Marla akan berterus terang saja soal rencananya yang ingin membangun cabang baru, tetapi atas namanya. Dia ingin memperlihatkan passion yang satu-satunya dimiliki. Akan tetapi, rumah dalam keadaan sepi, sunyi, senyap. Begitu meniliki garasi, mobil suaminya juga belum datang.Mengembuskan napas perlahan, Marla merebahkan diri di sofa. Berhenti sejenak selagi memutar kejadian hari ini.Tentu saja, kilas yang berisikan Arjuna dan Julie di festival tadi menjadi hantu nomor satu dalam pikirannya.Semakin lama, seolah-olah Marla tengah diejek oleh dunia, bahwa tempatnya memang bukan berada di samping Arjuna. Dia tidak ada apa-apanya dibanding Julie."Astaga, lagi-lagi pikiran semacam ini ...."Marla mendesah lelah, memijit pelipis dengan insekuritas yang kembali membayangi tiap