Share

Dibuang Mantan, Dinikahi Sultan
Dibuang Mantan, Dinikahi Sultan
Penulis: Mommy Jasmine

Bab 1 Gagal Nikah

"Bang Ridwan ...," lirih Hana dengan melebarkan kedua matanya tatkala melihat foto kekasihnya tengah menyematkan cincin di jari manis wanita lain. Jantungnya seketika berdenyut nyeri, dadanya pun terasa begitu sesak kini.

Baru seminggu yang lalu, bahkan keduanya telah mengikat sebuah janji. Di mana dalam janji itu nanti akan melibatkan dua keluarga mereka.

Asa itu seketika melebur. Hancur berderai dan terserak begitu saja dan seakan tak mungkin lagi dapat ia raih. Bulir bening pun jatuh mengalir deras di kedua pipinya.

***

Hana, wanita berusia 22 tahun itu terpaksa menelan kecewa karena orang yang selama lima tahun ini ia cinta dan cinta ini tidak luntur karena LDR, tega mengingkari janji untuk datang melamarnya.

Ridwan sama sekali tak memberi alasan apapun tentang mengapa dirinya tidak datang. Padahal dirinya sendiri yang menginginkan acara ini digelar secepatnya. Awalnya sudah dijelaskan padanya bahwa Hana belum siap menjadi istri. Namun, berbekal keyakinan dan lamanya keduanya menjalin hubungan membuat Hana yakin bisa melewati semua ini.

Ridwan sudah berjanji pada Hana untuk membawa orang tua serta keluarga inti untuk datang melamar dan membuat sebuah ikatan yang dinamakan pertunangan.

"Udah Bude bilang, 'kan sama kamu, Hana? Ridwan itu nggak cocok sama kamu. Dia dari keluarga berada, sedangkan kalian apa? rumah kalian aja udah reot, mau ambruk gitu. Udahlah! nggak usah mimpi ketinggian!" ujar Obed, antara menasehati dan mencibir anak dari adik kandungnya itu. Dengan entengnya ia berkata-kata sambil membungkusi makanan yang ada.

Ia menganggap makanan ini akan mubazir jika tidak dibawa pulang.

Sementara Hana sudah menghabiskan tabungannya untuk acara ini. Tak dipungkiri, ada keinginan dalam hati untuk mengangkat derajat orang tuanya, agar tidak selalu menjadi bahan gibahan tetangga karena dianggap terlalu miskin.

Obed pun melengos pergi dengan beberapa makanan yang ia bawa dalam plastik kresek.

Hana masih memandangi punggung wanita berbadan gempal itu, semakin jauh dan tak terlihat lagi. Sungguh, saat ini Hana begitu rapuh. Ditambah lagi merasa kasihan melihat ibunya yang masih termenung duduk di kursi makan yang sudah berumur puluhan tahun.

"Buk, Riana nggak bisa lama lama disini. Karena besok Riana udah masuk kerja, maaf ya, Buk," Riana, kakak satu satunya Hana itu memang sudah biasa ingin cepat cepat pergi dari rumah itu. Saat lebaran pun, ia tak pernah datang untuk menginap, melainkan datang untuk bersalaman setelah itu pergi.

Sudah sejak tiga tahun terakhir sikapnya selalu begitu. Bahkan, Riana melarang keluarga untuk datang menemuinya di kost-an dengan dalih dirinya yang selalu sibuk dan saat hari libur pun Riana sanggup mengatakan dirinya lelah dan ingin beristirahat.

"Ya sudah! kalau kamu memang mau balik, hati hati di jalan ya!" ucap Nining yang kali ini tidak sedikitpun melarang anaknya itu pergi. Sebenarnya masih butuh Riana di sampingnya, Ia butuh kekuatan dari anak sulungnya itu untuk berdiri tegak, namun apa mau dikata? Riana memiliki karakter keras kepala dan keputusannya tidak bisa diganggu gugat.

Setelah rumah benar-benar sepi, Hana dan Nining duduk berdua. Hana hati-hati ingin memulai kembali pembicaraannya itu, takut kalau ibunya masih belum baik baik saja.

"Ibuk nggak papa, Hana. Ibu udah biasa di kecewakan seperti ini, Ibu cuma khawatir sama kamu. Kamu nggak kuat dan frustrasi," jelas sang ibu. Pandangannya tertuju pada satu titik di depannya, tatapannya kosong dan mata tua itu sekali-kali berkedip pelan. Menambah kesedihan tersendiri di hati Hana.

"Sudahlah! Ibu pengen istirahat" Nining pun bangkit dan berjalan menuju kamarnya.

Hana memandangi tubuh sang ibu yang berjalan sempoyongan hingga menghilang di balik pintu kamar.

"Huuuf," Hana membuang napas kasar. Ia mengambil handphone untuk melakukan panggilan kepada Ridwan. Biar bagaimanapun Hana masih berharap kisah kasihnya tak berakhir begitu saja. Ia akan menerima apapun alasan yang akan diberikan oleh Ridwan selagi Ridwan masih mau melanjutkan rencana yang sempat tertunda.

Tak mudah bagi seorang Hana melupakan cinta pertamanya itu. Banyak cerita yang sudah tersusun dalam benak Hana dan Ridwan. Selama ini Ridwan tak pernah membohonginya, ia selalu jujur dan selalu menjaga kehormatan Hana selama berpacaran. Ada yang mengganjal pikiran Hana mengapa lelaki yang sudah ia kenal begitu lama tega mengingkari janji? Apa gerangan yang membuat Ridwan tidak datang menepati janji?

Berkali kali ia mencoba menelpon, namun tidak bisa, nomor handphone Hana sudah diblokir.

'Bang, kenapa sih sama kamu? kenapa nggak ngasih kabar? seenggaknya kasih Hana alasan supaya Hana nggak bertanya-tanya kayak gini!' batin Hana dalam hati. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan seiring air mata yang kian mengalir tak ingin berhenti.

Sakit, marah, kecewa melebur menjadi satu di dalam dadanya. Sesak karena harus menerima kenyataan yang begitu menyakitkan. Merasa dibohongi dan dipermainkan perasaannya oleh orang yang ia cintai.

Satu Minggu setelah gagalnya acara pertunangan itu, Hana memilih untuk bekerja di sebuah toko roti. Setiap hari ia harus pergi ke kota untuk bekerja, setiap hari itu juga dirinya harus menumpang pada adik sepupunya yang bekerja di sebuah pabrik makanan, Anita namanya. Meski bertutur adik, Anita usianya jauh lebih tua dibanding Hana, keduanya terpaut usia sepuluh tahun.

Namun saat hari libur, Hana terpaksa berjalan kaki hingga ke jalan besar untuk naik angkot agar bisa sampai di toko roti tempat dirinya bekerja.

Saat jam empat sore, Hana akan berganti shift dengan temannya yang lain. Sekitar jam lima sore Hana baru akan sampai di rumah.

"Ibuk ke mana ya? tumben nggak ada." Hana pun membuka pintu utama rumahnya dengan kunci yang sengaja digantungkan di luar dinding oleh ibunya. Saat melepas penat, Hana duduk di kursi rotan buatan mendiang ayahnya di ruang tamu .

"Assalamualaikum ...," ucap Nining yang baru saja pulang.

"Wa'alaikumussalam. Dari mana, Buk?"

tanya Hana sambil meletakkan handphonenya di sisi kursi.

"Dari rumah Bude Obed. Si Rina nanti malam mau dilamar," jawab Nining sambil menenteng bungkusan makanan menuju dapur.

"Makan dulu, Han!" Nining menginterupsi. Namun tampaknya Hana masih enggan beranjak dari posisinya. Ia masih betah berlama lama duduk, karena seharian dirinya mondar mandir terus akibat customer yang membludak.

Saat malam tiba, Nining tidak bisa menghadiri acara pertunangan keponakannya karena kepalanya terasa pusing, lagi pula pasti sudah banyak orang yang ikut menyaksikan, jadi tidak ada pun dirinya sudah pasti acara tetap berlanjut.

"Buk ..., Ibuk nggak ke rumah Bude Obed?" tanya Hana yang sudah bersiap siap akan pergi kesana bersama ibunya.

"Kamu pergi sendiri aja, Han! Ibu pusing banget."

"Ya sudah, Buk. Hana juga nggak jadi pergi lah. Mau nemani Ibu aja di rumah," ujar Hana yang kemudian masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dengan daster dan kembali ke kamar sang ibu.

"Kok nggak jadi pergi, Han? pergi sana! wakilkan Ibu," pinta sang ibu. Alih-alih menuruti perkataan ibunya, Hana malah dengan tenang mendekati Nining.

"Nggak, Buk. Ibu lebih penting." Hana pun ikut berbaring di samping ibunya.

***

[Han, kamu udah tau siapa tunangan Rina?] Hana membaca pesan masuk di aplikasi hijau miliknya. Lebih tepatnya dari Dina, sepupu sekaligus sahabat Hana satu-satunya yang masih mau berteman dengannya. Ia menautkan kedua alisnya, merasa aneh dengan pertanyaan Dina.

[Siapa?] Balas Hana penasaran. Sebenarnya tidak penting juga bagi Hana mengetahui siapa lelaki tunangan Rina. Lagi pula, meski sepupuan mereka tidak begitu akrab.

Hana mengklik gambar yang dikirim Dina. Matanya membulat kala melihat lelaki dalam foto. Seketika Hana duduk, kemudian keluar dari dalam kamar itu. Entah mengapa keringat jagung mengucur di wajahnya. Sungguh berharap apa yang ia lihat ini adalah mimpi.

Bersambung ...

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status