Devan mengabaikan sapaan karyawan dan tetap dalam mode cool.
Dia segera masuk ke dalam ruang CEO diikuti oleh asistennya.
"Sombong banget sih CEO kita," ujar salah satu karyawan.
"Emangnya lo berharap beliau gimana? Ramah terus balas sapaan lo dengan senyum gitu? Jangan mimpi woe, kita bisa kerja di sini aja masih bagus. Saran gue mendingan lo jangan terlalu sering pakai baju minim gitu deh, soalnya dengar-dengar Pak Devan nggak suka lihat karyawan perempuan pakai baju begituan," saran salah satu karyawan mengingatkan.
"Yaelah … kalau ngiri, ya ngiri aja! Nggak usah sok nasihatin." Karyawan genit itu melengos meninggalkan beberapa karyawan lain tengah berbisik membicarakannya.
Dengan percaya diri, karyawan genit itu kembali melangkah masuk ke ruangan Devan dengan berjalan melenggak lenggok. Dia mengenakan pakaian yang membuat asetnya tercetak jelas. Karyawan genit itu bahkan sengaja membuka salah satu kancing bajunya yang terlihat sempit itu hingga membuat dadanya menyembul.
Tok tok tok!
"Permisi, Tuan. Saya ingin menyetorkan laporan keuangan tahun ini," ujarnya seraya menyerahkan dokumen.
Dia sengaja merendahkan tubuhnya agar buah dadanya lebih terlihat dan berharap Devan akan tergoda. Tapi dugaannya salah besar.
"Apa kau bagian keuangan?" tanya Devan tanpa melihat ke arah karyawan itu.
"Benar, Tuan!" ucap karyawan itu dengan manja.
"Segera ambil pesangonmu di bagian HRD setelah itu jangan pernah kembali lagi ke perusahaan ini."
Deg!
Karyawan genit itu terkejut. Dia tidak mengerti kenapa Devan memecatnya.
"Maaf, Tuan. Apa kesalahan saya sampai Tuan Devan memecat saya?"
"Perusahaan ini hanya mempekerjakan karyawan yang berkompeten, bukan mempekerjakan wanita malam yang hanya bisa memamerkan lekuk tubuh demi untuk mendongkrak karier!" sarkas Devan dingin. "Segera keluar dari ruangan ini sebelum kesabaran saya habis!"
Akhirnya, karyawan genit itu berlalu dari ruangan Devan dengan penuh sesal. Setelahnya, pria itu melanjutkan aktivitasnya mengecek laporan.
Tok tok tok!
Devan menghentikan aktivitasnya kembali ketika seseorang masuk ke dalam ruangannya. Dia ingin marah, tetapi diurungkannya kala melihat seorang lelaki paruh baya yang ditunggunya–berjalan melangkah ke arahnya.
"Selamat pagi, Tuan Devan!" sapa lelaki itu dengan ramah.
"Selamat pagi juga, Tuan Wira. Akhirnya Anda datang juga," jawab Devan tak kalah ramah. "Silahkan duduk dulu."
Setelah mempersilahkan Wira duduk, Devan langsung mengutarakan maksud dan tujuannya mengundang Wira datang ke perusahaan.
"Saya dengar perusahaan Anda mengalami kebangkrutan, Tuan. Setelah saya melihat kiprah Anda di dunia bisnis, saya tertarik untuk menanam saham di perusahaan Anda dan menjadi investor tetap Anda untuk menyelamatkan perusahaan dari ambang kebangkrutan!" terang Devan panjang lebar.
Wira berbinar mendengar keinginan Devan. Dia bagaikan menemukan oase di padang pasir.
"Benarkah itu, Tuan? Kalau Anda benar-benar ingin menanam saham di perusahaan saya maka saya sangat berterima kasih pada Anda, Tuan!" ucap Wira bahagia.
"Tapi itu semua tidak gratis," ucap Devan tersenyum miring.
"Apa maksud Anda, Tuan Devan?" tanya Wira tidak mengerti.
"Sebagai gantinya, Anda harus menikahkan saya dengan Putri Anda yang bernama Alindra!"
Wira tersentak dengan permintaan Devan yang menurutnya tidak masuk akal. Apa lagi putrinya akan segera dilamar oleh keluarga Baskoro.
"Maaf Tuan, bukannya saya hendak menolak permintaan Tuan Devan, tapi di sini saya ingin Anda mengerti jika putri saya sebentar lagi akan di nikahi oleh kekasihnya. Tidak lama lagi mereka akan melangsungkan pertunangan, Tuan!" jelas Wira pada Devan.
"Apa Anda yakin mereka akan tetap setuju jika putra mereka melanjutkan hubungan dengan putrimu setelah mengetahui kalau perusahaan perusahaanmu bangkrut?" tanya Devan lagi.Dengan mantap, Wira mengangguk. Dia masih percaya diri kalau keluarga Baskoro akan tetap menerima putrinya walau keluarga mereka bangkrut. Devan segera memanggil Niko dan memutarkan rekaman percakapan."Dengarkan baik-baik rekaman ini, Tuan!" pinta Devan.Wira segera mendengarkan rekaman percakapan yang sudah mulai diputar Niko. Matanya membulat kala dia mengingat suara yang ada di dalam rekaman itu adalah suara yang sangat dia kenal."Mas Drajat?" gumamnya. Dia terus memperhatikan setiap rekaman suara yang terus bergulir.[ Drajat, saya dengar perusahaan Wira sudah mulai bangkrut. Apa kamu yakin masih tetap ingin berbesanan dengan orang yang sudah miskin seperti Wira? ][ Cihh siapa juga yang ingin berbesanan dengan orang miskin seperti dia. Dulu aku memang menyetujui hubungan Rendra dengan anak Wira karena keluarga mereka konglomerat. Aku bahkan dengan sadar dan sengaja menyuruh Rendra mendekatinya agar kami bisa mendapat keuntungan dari situ. Tapi dasar Wira nya saja yang terlalu mudah percaya dengan orang lain hingga dengan mudah dia bisa ditipu hingga modalnya habis. ][ Bagaimana kalau kita jodohkan saja kedua anak kita? Aku yakin jika Farah dan Rendra menikah maka bisnis kita akan semakin berkembang. ][ Boleh juga idemu, aku akan memberi tahukan ini pada istri dan anakku dulu. Kami akan mencari waktu yang tepat untuk mendepak Alin dari sisi Rendra sebelum mereka melangsungkan pertunangan.]Tutttt!
Rekaman itu pun berhenti.
Devan dan Niko bisa melihat dengan jelas perubahan raut wajah Wira. Rahangnya mengeras menahan amarah.
"Aku tidak mengira Drajat akan mengkhianatiku dari belakang. Pantas saja sikapnya berubah setelah mengetahui aku bangkrut. Kurang ajar kau Drajat!" gumam Wira mengepalkan tangannya.
"Bagaimana? Apa Anda masih akan tetap bersikukuh meneruskan rencana Anda menikahkan putri Anda dengan keluarga parasit itu, atau Anda terima saja tawaran saya ini? Ingat, kesempatan tidak datang dua kali," ujar Devan merayu.
Wira menghembuskan nafasnya kasar sebelum menjawab pertanyaan Devan.
“Tapi kenapa harus putri saya yang Tuan pilih? Sedangkan perempuan yang lebih matang dari putri saya masih banyak. Apalagi jarak usia kalian juga terpaut sangat jauh,” tanya Wira mengungkapkan ganjalan di hatinya.
Devan menyunggingkan senyum menanggapi keingintahuan lawan bicaranya ini.
“Aku tertarik dengan putrimu, dan aku tidak mempermasalahkan usia sekalipun kami lebih pantas disebut paman dan keponakan. Saya harap Anda bisa segera memberi saya keputusan secepatnya karena saat ini hanya saya yang bisa menyelamatkan perusahaan Anda, Tuan Wira!” ucap Devan penuh penekanan.
"Maaf Tuan, tapi saya tidak bisa memutuskan hal besar ini sendirian. Yang akan menjalani rumah tangga bukanlah saya, tetapi putri saya. Saya tidak ingin putri saya menjalani rumah tangga yang tidak bahagia hanya karena ambisi saya untuk bisa menyelamatkan perusahaan saya dari kebangkrutan," jawab Wira dengan bijaksana.
Diam-diam Devan cukup salut dengan sikap Wira yang tidak memaksakan kehendaknya hanya demi harta dan kuasa.
"Baiklah, silakan bicarakan dengan putri Anda terlebih dahulu tentang masalah ini," jawab Devan dingin, “tapi, saya yakin dia akan setuju.”
Sedangkan di tempat lain, kini Alin sedang duduk bersama dengan ibunya di ruang tamu.
Mami Rita tampak penasaran dengan acara di rumah calon besannya kemarin."Lin, tadi malam bagaimana caranya? Banyak yang datang atau enggak?" tanyanya."Cuma keluarga besar aja kok Mi yang datang."Alin lalu menghembuskan nafasnya dengan panjang. Hanya saja, Rita bisa melihat dengan jelas kesedihan di mata sang anak. Dia berpikir pasti Alin sedang menyembunyikan sesuatu darinya."Nak, kamu kenapa kok kelihatan sedih begitu?" tanya Rita.
Sejenak, Alin menoleh ke arah maminya.
'Apa sebaiknya aku ceritakan saja kejadian tadi malam, ya? Mau ditutupi pun akhirnya mereka pasti juga akan mengetahuinya,' batinnya.
"Nak, kok kamu hanya diam saja?" tanya mami Rita sambil menepuk pundak putrinya yang sedari tadi hanya terbengong.
Alin yang terkejut langsung refleks melakukan gerakan pencak silat karena dia sempat menjadi atlet pencak silat.
"Mami bikin kaget Alin aja sih," ucap Alin mengelus dadanya.
"Habisnya kamu tuh diajak bicara malah bengong sendiri," jawab Mami Rita menggelengkan kepala.
Alin berusaha menguatkan hatinya agar terlihat baik-baik saja di depan ibunya.
"Mi, maafkan Alin ya Ma. Mungkin ini akan menyakiti Mami dan Papi, tapi mungkin ini jawaban dari Tuhan dan yang terbaik buat keluarga kita."
"Kamu ngomong apa sih, Nak? Coba ngomong yang jelas jangan berbelit," tegas mami Rita penasaran.
"Rendra sudah memutuskan hubungan kami, Ma!"
“Apa?!”
Tak berselang lama, polisi dan Reno datang meringkus Rendra dan juga sepupunya. Mereka juga mengamankan preman-preman itu ke kantor polisi. Sedangkan Devan dan Alin segera pergi dari tempat itu.Sepanjang perjalanan, Devan tak tahan dengan rasa ingin tahunya. Dia segera bertanya pada sang istri mengenai keadaan sang istri saat ini."Sayang, sejak kapan ingatanmu kembali?" tanya Devan."Sejak saat putra kita menghilang, Mas. Tapi saat itu aku memutuskan untuk diam dulu sambil mengamati keadaan. Aku bergerak dalam diam dan aku sengaja mengecoh orang-orang agar mereka mengira aku masih hilang ingatan," jawab Alin."Untuk apa?" tanya Devan."Untuk mengetahui siapa saja yang hendak memanfaatkan keadaanku untuk mencari keuntungan." "Apapun itu, aku bahagia karena kamu sudah mengingat semuanya Sayang. Aku bisa lebih fokus untuk mencari keberadaan putra kita sekarang," jawab Devan dengan lega.Alin tersenyum tenang, "Mas jangan khawatir. Aku sudah tahu di mana keberadaan putra kita."Devan m
Tanpa pikir panjang, Devan langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Alin. Dia masuk ke salah satu bilik tersebut. Akan tetapi, bilik tersebut ternyata dijaga oleh beberapa preman. Devan memancing preman tersebut untuk menjauh dari depan pintu dan berkelahi di luar.Tidak sulit mengalahkan para preman itu karena Devan sangat jago ilmu bela diri. Dalam sekejap, para preman itu langsung tumbang tak sadarkan diri. "Apa hanya segitu saja kemampuan kalian? Cih payah sekali kalian ini. Badan saja besar, tapi kemampuan nol. Ayo bangun dan serang saya. Hitung-hitung pemanasan," ejek Devan.Saat salah satu preman hendak bangun dan kembali menyerang, dalam satu pukulan saja preman tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak. Devan segera masuk ke dalam setelah memastikan seluruh preman bayaran itu tumbang. Di depan pintu, dia mengendap-endap masuk dan mendengarkan percakapan dua orang yang sedang berada di ruangan tempat Alin di sekap."Ren, menurutmu, apakah Tuan Devan akan benar-benar datan
Setelah menempuh perjalanan laut selama lima hari, akhirnya akhirnya mereka sampai di kota A di pulau seberang. Mereka sengaja membawa bayi itu jauh dari pulau asalnya agar tidak mudah terlacak. Mereka langsung membawa bayi itu ke panti asuhan setempat. Mereka disambut baik oleh pemilik panti."Mari silakan masuk Bapak, Ibu."Setelah mereka dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman, pemilik panti langsung bertanya maksud dan tujuan keduanya datang."Kalau boleh saya tahu, ada tujuan apakah Bapak dan Ibu datang ke sini?" "Kami ingin menitipkan bayi ini di sini, Bu," jawab Wina.Pemilik panti tersebut heran dengan sikap pasangan di depannya ini. Tega-teganya mereka hendak menitipkan bayi mungil tak berdosa itu di panti asuhan."Maaf Bapak, Ibu, tapi kenapa? Bukankah itu darah daging kalian? Apa kalian benar-benar tega meninggalkan mereka di sini?" tanya wanita setengah baya tersebut. "Bayi ini bukan anak kami, Bu. Kami menemukannya secara tidak sengaja di depan rumah kami. Jadi kami me
Rendra hanya menyunggingkan senyumnya saat ibu Alin menuduhnya sebagai pelaku penculikan putra Alin. Dia terlihat santai saja dengan tuduhan yang terlontar dari mulut ibu Alin. Sedangkan Alin hanya diam saja tanpa menanggapi lelaki itu. "Atas dasar apa Anda menuduh saya dalang dibalik penculikan cucu Anda Tante? Lihatlah, Alin saja tidak banyak bicara. Kenapa Anda malah terlihat sensi sekali Tante?" tanya Rendra dengan santai."Karena Lindra adalah cucuku!" jawab ibu Alin dengan penuh emosi."Lin, kenapa dari tadi kamu diam saja? Apa kamu tidak merasa kehilangan bayimu? Atau kamu malah senang jika bayimu tidak ditemukan?" tanya Rendra pada Alin."Sebenarnya Anda ini siapa? Saya perhatikan sejak tadi Anda selalu membicarakan hal yang berbau provokasi," jawab Alin dengan tenang."Lin, aku Rendra, Lin. Orang yang pernah ada di hatimu. Tidak mungkin kamu lupa denganku, kan?" "Apa maksudnya kalau kamu pernah ada di hatiku? Dan sebenarnya, apa tujuanmu datang ke sini? Aku sungguh tidak me
Wina tampak berpikir sejenak dengan gagasan yang disampaikan lelaki itu."Baiklah, kita harus bergerak cepat malam ini juga," kata Wina."Apa? Malam ini? Apa kau sudah gila? Tidak mungkin kita jalan malam ini. Apa kamu nggak kelelahan dengan pertempuran kita tadi? Apa kamu nggak mau mengulanginya lagi?" tanya lelaki itu—menaik turunkan alisnya."Kita tidak punya banyak waktu, Tuan Tama yang terhormat. Kalau kita menunda-nunda, mereka pasti akan menemukan dan menangkap kita," ucap Wina penuh penekanan."Sepertinya kau sangat takut sekali dengan si Devan itu ya?" tanya lelaki itu."Bagaimana aku tidak takut? Aku pernah menjalin hubungan dengannya, sudah pasti aku tahu bagaimana watak Devan. Kau sendiri saudaranya tapi malah tidak memahami bagaimana karakter saudaramu sendiri," ujar Wina meremehkan."Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupan Devan karena aku jarang bertemu dengannya. Aku juga sangat jarang berinteraksi dengannya selama ini karena aku sering berada di luar negeri. Wa
"Sialan, siapa kau? Berani-beraninya mengancam ku!" sentak lelaki itu."Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup kau dengarkan saja perintahku. Jangan pernah mengusik keluarga Alin atau kau akan menyesal."Setelah mengatakan itu, penelepon itu memutuskan panggilan secara sepihak. "Siapa yang menelepon?" tanya wanita itu."Nomor tidak jelas. Berani-beraninya dia mengancam ku agar tidak mengganggu Devan dan Alin.""Kurang ajar, sepertinya mereka mengutus mata-mata untuk mengawasi kita," jawab wanita itu."Aku tidak yakin, tapi sepertinya orang itu bukan suruhan Devan. Lelaki itu tidak mungkin bisa mengendus gerak gerik kita. Kita harus berhati-hati, jangan melakukan hal yang bisa membuat mereka curiga dan kedok kita terbongkar," kata orang itu.***Sedangkan di sisi lain, Rendra dan sepupunya saat ini sedang mencari informasi tentang Alin."Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi?" tanya sepupu Rendra."Alin sudah melahirkan, tapi sekarang penjagaan semakin diperketat. Sangat suli
Hari demi hari mereka lalui dengan sukacita. Devan juga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Dia yang berpikir semua sudah aman mulai lengah dari penjagaan. Lelaki itu tidak menyadari jika bahaya sedang mengintai keluarga kecil mereka. Hari ini, dia harus berangkat ke Surabaya karena salah satu klien berpengaruh meminta mengadakan pertemuan dengan Devan secara langsung di Surabaya."Tidak apa-apa Mas, berangkatlah. Aku bisa menjaga diri dan anak kita," kata Alin meyakinkan Devan."Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Mas sudah mengabari Mami agar ke sini menemanimu," kata Devan.Lelaki itu mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sebelum meninggalkannya pergi ke Surabaya."Jagoan Daddy baik-baik di rumah sama Mommy ya. Jangan nakal dan jangan rewel, kasihan Mommy. Daddy tinggal sebentar ke Surabaya," ucap Devan pada bayi mungil itu.Dengan berat hati, Devan meninggalkan mereka. Bertepatan dengan itu, hari ini baby sitter yang di rekomendasikan oleh salah satu saudara Devan d
Devan langsung menuju ruang perawatan bayi untuk memastikan keadaan sang anak. Setelahnya, lelaki itu langsung memanggil seluruh suster, dokter dan pihak keamanan yang bertugas menjaga sang anak. Sang kakak pun tidak mengira jika mereka lalai. “Apa saja pekerjaan kalian? Menjaga bayi saja kalian tidak becus. Untung saja anakku tidak hilang,” kata Devan marah. “Ampuni kami, Tuan, kami lalai menjaga bayi Tuan. Tadi ada seseorang yang menyamar sebagai suster hendak masuk ke ruangan Tuan kecil. Kami kira, dia memang benar-benar suster yang hendak memeriksa Tuan kecil. Tapi ternyata dia hendak membawa kabur Tuan kecil. Andai kami tahu dari awal, kami pasti tidak akan membiarkannya membawa Tuan kecil, Tuan. Ampuni kami,” ucap penjaga dengan gemetar. Devan mengangguk, “ya sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, dan aku ingin kalian perketat keamanan di sini. Aku tidak mau hal seperti ini terulang kembali,” kata Devan.Setelah mengatakan hal itu, Devan langsung pergi meninggalkan mereka
Sang sepupu sangat menyayangkan sikap Rendra yang cenderung lembek. Wanita itu sangat dendam dengan Alin dan juga sang suami karena gara-gara mereka kini dia kehilangan pekerjaannya."Ndra, kamu itu laki-laki jangan lembek seperti ini. Apa kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu? Apa kamu nggak mikirin mereka juga?" Rendra tampak terdiam dan menimbang-nimbang. Sedangkan sang sepupu terus saja meracuni pikiran Rendra agar mau bekerja sama dengannya."Apa kamu tidak sakit hati melihat kebahagiaan Alin di sana, sedangkan kamu di sini menderita? Lihatlah, mereka tertawa di atas kesedihan dan penderitaanmu. Pikirkan itu baik-baik," ujar sang sepupu sebelum berlalu pergi."Tunggu, apa ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan kita jika kita kembali membuat ulah dan mengusik keluarga mereka? Kau tentu belum lupa kan bagaimana manusia-manusia itu menyingkirkan mu dari perusahaan? Bagi mereka, melenyapkan orang seperti kita bukanlah hal yang sulit dilakukan. Apalagi kita tidak puny