Plak!
Sebuah tamparan yang begitu menyakitkan di dapatkan Irana dari ibunya sendiri. Tamparan itu begitu keras hingga membuat pipinya begitu perih."Dasar anak durhaka! Anak tidak tau diuntung! Bosan aku mengingatkanmu Irana!" seru bu Nina dengan amarah yang bergejolak dihatinya.Irana hanya bisa terdiam, ia tidak berani mengatakan apapun. Air mata yang sudah diujung matanya ia tahan agar tidak jatuh di hadapan ibunya.Irana memegang pipinya beberapa detik kemudian ia mencoba bangkit untuk berdiri setelah sebelumnya ia tersungkur akibat tamparan dari ibunya."Irana hanya ingin bahagia dengan cara Irana sendiri Bu. Tolong jangan halangi aku untuk hidup bahagia bersama Rio." Dingin dan tanpa ekspresi Irana mengatakan hal itu kepada ibunya sendiri.Bu Nina tentu merasa kesal, anak semata wayangna kini sudah melanggar prinsip yang sudah ia ajarkan sejak kecil."Apakah kebahagianmu adalah mengandung sebelum menikah Irana Putri Nabella?! Apa kebahagiaanmu hanya sebatas menikah dengan pujaanmu hah? Katakan bagaimana bisa kamu melanggar prinsipmu sendiri Irana? Kenapa kamu tega dengan Ibumu? Apakah kamu akan bahagia jika berhasil menyeret Ibu dan Ayahmu ke dalam nerakanya Allah?!" bu Nina sengaja menekankan kata di akhirnya untuk membuat anaknya sadar, dan dengan isak tangis bu Nina berteriak melontarkan berbagai pertanyaan kepada anaknya.Napas Irana menggebu gebu, ia tidak suka saat ibunya membawa nama Tuhan seperti itu."Stop menyebut nama Tuhan Bu! Semua manusia pasti mempunyai dosanya masing-masing bukan?! Tidak ada yang suci Bu, bahkan Ibu pun pasti mempunyai dosa!" seru Irana dengan menatap mata ibunya yang sudah berair."Irana cape Bu! Sudah sepantasnya Irana menikah, umur Irana juga sudah semakin bertambah! Irana lelah jika Ibu terus memaksa mencari calon pasangan yang terbaik untuk Irana."Bu Nina memegang dadanya dengan tatapan sendu."Irana cinta ke Rio Bu! Irana cinta! Bahkan asal Ibu tau Irana melakukan itu dengan Rio atas dasar suka sama suka. Bukan Rio yang maksa!" Irana berkata dengan nada tinggi. Ia membuat bu Nina seketika menatapnya tajam.Bu Nina menunjuk arah pintu keluar, dia dengan napas yang menggebu gebu menatap anak semata wayangnya.Air matanya sudah jatuh, bu Nina bahkan menangis saat menatap anaknya yang dengan bangga memamerkan dosanya."Pergi Irana! Pergi! kamu adalah anak yang berdosa! Tapi asal kamu ingat Irana apa yang kamu lakukan dengan Rio itu bukan cinta melainkan hawa nafsu semata! Mulai detik ini kamu bukan anakku lagi, Irana Putri Nabella!"Dengan amarah yang kian bergejolak dan ada sedikit perih dihatinya saat ia mendengar ucapan ibunya Irana pun memutuskan berjalan ke arah kamarnya.Di dalam kamar, Irana memasukan semua pakainnya ke dalam koper. Di usia kandungannya yang baru tiga bulan itu Irana bertekad untuk hidup bersama ayah dari anaknya yaitu lelaki bernama Rio.Dia sudah yakin bahwa Rio akan bertanggung jawab meski lelaki itu belum mengetahui kehamilannya. Irana yakin Rio akan mencintainya dengan tulus apalagi di dalam rahimnya sudah ada darah dagingnya sendiri.Irana sudah mengemas semua barangnya, ia sudah siap untuk menjemput pilihan hidupnya.Dengan berjalan cepat Irana keluar dari rumah milik ibunya yang sudah berumur itu.Sedangkan bu Nina hanya bisa menatap anaknya sambil duduk dikursi yang ada, ia memandang Irana dengan hati yang begitu sakit. Ibu mana yang tega melihat putrinya ternyata lebih memilih seorang laki-laki yang jelas-jelas sudah merusak anaknya?Bu Nina tetaplah mempunyai perasaan yang lembut, ia berjalan ke arah pintu keluar dan berdiri memandang Irana yang sedang memasukan barang-barangnya ke dalam mobil entah milik siapa.Tidak berselang lama setelah Irana selesai memasukan barang-barang miliknya dengan bantuan seorang lelaki, lelaki itu melirik bu Nina dan tersenyum getir.Bu Nina yang melihat wajah lelaki itu seketika semakin marah, ia menatap lelaki itu dan sungguh bu Nina ingin mencaci lelaki yang sudah membuat anaknya hamil di luar nikah."Bagus Sayangku, pilihanmu untuk hidup bersamaku sudah tepat. Aku akan menikahimu dan menjadikanmu ratu di rumahku," kata Rio dengan sengaja mengeraskan suaranya. Rio pun mencium kening Irana dengan mesra tepat saat bu Nina masih memandang ke arahnya.****Cinta itu dapat membakar orang yang merasakannya. Seperti itulah yang dirasakan Irana. Dia sampai bisa berbuat nekat meninggalkan ibunya dan dengan bangga melakukan hubungan terlarang bersama kekasihnya.Di dalam mobil milik Rio, Irana memejamkan matanya. Ia merasa tubuhnya begitu lemas ditambah kepalanya terasa sangat sakit. Mobil itu pun perlahan-lahan melaju meninggalkan halaman rumah bu Nina.Irana terdiam, ia tidak membuka suaranya sama sekali. Begitupun dengan Rio, dia tidak mengatakan satu patah kata pun.Sepuluh menit sudah berlalu, mobil pun sudah semakin jauh meninggalkan daerah tempat tinggal Irana dan ibunya."Sementara ini kita akan tinggal di apartemenku saja ya Sayang," bisik Rio tepat di telinga Irana."Hmm," balas Irana dengan lemas.Rio tersenyum kecut seraya memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Dia memfokuskan dirinya mengemudikan mobil tanpa tau ada dua nyawa selain dirinya yang ia bawa di dalam mobilnya.Irana merasakan perutnya mual, ia tidak suka dengan bau pewangi mobil yang dipakai Rio. Entah mengapa ia tidak menyukainya padahal pewangi itu adalah pilihannya sendiri dari sejak ia kenal Rio."Hoekk! Hoek!" Setelah mati-matian Irana menahannya, akhirnya ia tidak mampu menahan rasa mualnya.Rio mendengarnya dan langsung melirik Irana yang sedang memunggunginya. Irana memposisikan tubuhnya menghadap jendela dengan menutup mulutnya."Sayang! Hey ada apa?" tanya Rio dengan gelisah.Irana menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia semakin merapatkan tangannya untuk menutup mulutnya."Sayang apa kau sakit?" Rio bertanya dengan lembut. Ia mengusap kepala Irana dengan penuh cinta.Irana yang mendapat perlakuan seperti itu membuat hatinya meleleh. Ia dengan spontan memeluk Rio dengan erat."Rio, bolehkan nanti kita makan bubur? Sungguh aku ingin makan bubur ayam."Rio menyambut pelukan Irana dengan bahagia namun ia mengerutkan keningnya saat mendengar permintaan Irana yang baginya cukup aneh."Hah apa?" tanya Rio karena ia menyangka dirinya salah mendengar.Irana memukul dada bidang Rio dengan tangannya, masih dalam posisi memeluk Rio membuatnya cukup mudah melakukan hal itu."Aku pengen makan bubur sayang!" seru Irana dengan nada yang terdengar kesal.Rio semakin heran, namun meskipun ia tidak paham dengan keinginan Irana yang terbalik dari biasanya itu, Rio tetap memberi kesempatan kepada Irana untuk memeluknya.Irana bukan tipikal orang yang suka bubur, dan apa ini? Kekasihnya justru meminta makan bubur ayam kepadanya."Sayang kamu seperti yang ngidam saja, keinginanmu sungguh aneh! Hahaha," seru Rio dengan tertawa begitu renyah.Deg!"Ngidam?" batin Irana dengan begitu terkejut. Irana bahkan melepaskan pelukannya ke tubuh Rio dan membiarkan kekasihnya itu mengemudi mobil dengan benar.Dirinya menyadari satu hal, apa yang dikatakan Rio adalah suatu kebenaran."Apa aku ngidam?" batinnya lagi. Kini tangannya meraba perut yang masih datar itu dengan nanar."Aku harap kamu masih ingat dengan ucapanku Sayang. Aku tidak mau punya anak saat ini, aku harap kamu mendengarnya dengan baik atau kamu akan menerima akibatnya." Tiba-tiba Rio mengatakan hal itu dengan tatapan yang tajam.Irana menelan ludahnya sendiri, ia bahkan membiarkan Rio menyentuh pahanya yang terekspos jelas. "Ri-rio apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Irana dengan suara yang sedikit menahan tangis. Ia sebenarnya tidak suka saat Rio menyentuhnya dengan bebas dimanapun yang ia sukai. "Sebentar lagi Sayang, mungkin lima menit lagi."Irana membuang napasnya dengan kasar lalu ia menyenderkan tubuhnya dengan santai ke kursi tempatnya duduk. "Aku lelah, entahlah sungguh aku ingin segera tidur," ucapnya dengan lemas. "Kamu tidak seperti biasanya hari ini, apa kamu sakit Irana?" Di dasari kecurigaan yang begitu tajam membuat Rio begitu penasaran dengan keadaan Irana saat ini. Rio memutar arah laju mobilnya dan tentunya Irana menyadari hal itu. "Rio mengapa kita putar balik? Bukankah kamu bilang sebentar lagi kita akan sampai di apartemenmu?"Rio dengan lugas menjawab "Kita ke rumah sakit dulu, aku takut kesehatanmu terganggu."Irana begitu resah, ia tidak mungkin harus jujur sekarang perihal k
Sontak dengan cepat Rio memeluk Irana. Darah yang mengalir dengan luka yang ada di kening, leher dan pergelangan tangannya membuat Rio cemas. "Shit! Apa yang kamu lakukan Irana!" bentak Rio. Irana sudah tidak sadarkan diri, dan tentunya hal itu membuat Rio semakin khawatir."Dasar gadis bodoh!" umpat Rio dibalik kecemasannya yang luar biasa. Rio tanpa berlama-lama langsung mengangkat tubuh Irana yang terkurai lemas di lantai kamar mandi. Buru-buru Rio membawa Irana ke dalam mobilnya. "Ya Tuhan, Irana ada apa dengan dirimu?" tanya Rio kepada gadis di sampingnya. Dia mengelus rambut Irana dengan tangan yang bergetar karena khawatir. Di rumah sakit. Pihak rumah sakit menangani Irana dengan cepat. Apalagi mereka mengetahui bahwa Rio adalah salah satu pemegang saham rumah sakit ini. Rio duduk di depan ruangan UGD dengan cemas. Ia merapatkan kedua tangannya menanti kabar Irana. Pemeriksaan pun sudah dilakukan, Irana sudah ditangani dengan baik dan Rio sudah di berikan izin untuk men
Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi. Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya. "Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya. Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk. Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana. "Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah. Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana. "Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran. Irana melirik dokter itu.
Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi. Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang. "Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya. Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin. Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak. Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana. Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Ta
Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah."Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci. Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas. Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya. "Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio. "Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu. Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu I
Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng