Irana menelan ludahnya sendiri, ia bahkan membiarkan Rio menyentuh pahanya yang terekspos jelas.
"Ri-rio apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Irana dengan suara yang sedikit menahan tangis. Ia sebenarnya tidak suka saat Rio menyentuhnya dengan bebas dimanapun yang ia sukai."Sebentar lagi Sayang, mungkin lima menit lagi."Irana membuang napasnya dengan kasar lalu ia menyenderkan tubuhnya dengan santai ke kursi tempatnya duduk."Aku lelah, entahlah sungguh aku ingin segera tidur," ucapnya dengan lemas."Kamu tidak seperti biasanya hari ini, apa kamu sakit Irana?" Di dasari kecurigaan yang begitu tajam membuat Rio begitu penasaran dengan keadaan Irana saat ini.Rio memutar arah laju mobilnya dan tentunya Irana menyadari hal itu."Rio mengapa kita putar balik? Bukankah kamu bilang sebentar lagi kita akan sampai di apartemenmu?"Rio dengan lugas menjawab "Kita ke rumah sakit dulu, aku takut kesehatanmu terganggu."Irana begitu resah, ia tidak mungkin harus jujur sekarang perihal kehamilannya. Dia hanya takut Rio tidak akan menerima anaknya dengan baik seperti yang ia katakan beberapa menit yang lalu."Rio aku tidak apa-apa sungguh. Aku hanya lelah karena masalah ini, lebih baik kita segera ke apartemen Sayang tidak perlu ke rumah sakit."Rio melihat wajah Irana yang begitu cantik, bibir ranum Irana yang terlihat semakin menggoda membuatnya berpikir dua kali untuk memperpanjang perjalanan mereka.Rio mengelus pipi Irana "Benarkah kamu tidak apa-apa Sayang? Aku khawatir dengan kesehatanmu.""Te-tentu aku tidak apa-apa. Aku sehat dan aku hanya butuh istirahat."Rio tersenyum tipis "Baiklah ayo kita ke apartemen," ujarnya dengan melajukan mobilnya sangat kencang menuju tujuannya saat ini.Di apartemen.Tempat ini begitu nyaman, barang- barang tertata rapi dan juga bersih. Baru saja Irana masuk ke apartemen itu ia sudah jatuh cinta dengan apa yang ia lihat."Aku tidak pernah kesini," ujar Irana sedikit menyindir Rio.Menyadari hal itu Rio pun menjawab "Ini apartemen baruku Sayang, aku sengaja membelinya untuk kita berdua. Bagaimana apa kau suka dengan tempatnya?"Irana mengangguk lalu ia memeluk kekasihnya dengan erat."Jangan tinggalkan aku Rio.""Aku tidak akan meninggalkanmu Sayang," lirih Rio membalas ucapan kekasihnya.Irana begitu nyaman. Ia bahkan kini sudah menempati tempat tidurnya untuk beristirahat. Usia kandungannya yang masih muda tentu menjadi sedikit masalah untuk mood dan juga kesehatannya.Irana bahkan tidak membereskan pakainnya. Ia ingin segera beristirahat dan melupakan semua masalahnya sejenak.Rio sudah tidak ada di apartemen, lelaki itu sedang menyelesaikan urusannya. Tentu ada yang Rio selesaikan apalagi ia adalah lelaki yang sibuk merintis bisnis di mana-mana.Irana tertidur dengan lelap, matanya menutup begitu nyaman. Sudah tuntas keinginannya untuk mengistirahatkan diri.Di satu sisi, Rio memasuki sebuah kamar di salah satu hotel. Ia berjalan tergesa gesa dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya."Sayang, kau sangat lama!" suara manja milik Tania menyambut kedatangan Rio saat itu.Rio yang disambut dengan suara Tania yang manja tanpa berlama lama langsung memeluk gadis itu dengan napas yang menggebu gebu."Apa kamu sudah lama menungguku Sayangku?" tanya Rio sambil membelai rambut gadis itu.Tania, seorang gadis yang memiliki tubuh berisi itu tentu membuat Rio menyukainya bahkan dua bulan ini mereka sudah melangsungkan pernikahan secara resmi.Rio tersenyum lalu dia membawa istri sahnya itu ke ranjang untuk menuntaskan kewajibannya sebagai suami.Keresahan menyelimuti hatinya, saat Rio melakukan hal itu di dalam pikirannya wajah Irana justru terbayang. Rio dengan keras menyingkirkan bayang-bayang saat ia melakukan hal yang sama dengan Irana namun ia meyakini satu hal bahwa Irana lebih memuaskannya daripada Tania yang merupakan istri sahnya."Sial! Kenapa aku menginginkan gadis itu sekarang?!" batin Rio dengan terus bermesra dengan Tania.****Irana sudah terbangun, tidur selama tiga jam membuatnya begitu baik. Irana pun memutuskan untuk pergi ke dapur, semenjak dari mobil ia menginginkan bubur.Irana menelusuri ruangan dapur itu, namun ia sama sekali tidak menemukan beras disana. Akhirnya Irana memutuskan untuk keluar untuk membeli beras.Ia pergi mengendarai taksi online yang sudah ia pesan. Irana turun di sebuah toko yang sepertinya menyediakan segala macam kebutuhan.Dibantu sopir taksi online itu Irana memasukan semua beras dan belanjaannya ke dalam mobil.Namun saat ia ingin masuk ke dalam mobil itu ia tanpa sengaja melihat mobil yang sangat ia kenali. Mobil itu berjalan pelan dan entah angin dari mana Irana ingin mengikutinya."Pak ikuti mobil yang ada di depan itu ya!""Baik, nona."Irana mengikuti mobil Rio kemanapun mobil itu melaju, hatinya sedikit curiga kepada ayah dari bayinya itu."Rio aku masih penasaran kenapa kamu tidak mau aku hamil? Sedangkan kamu selalu ingin bermain denganku? Aku butuh kejelasan Rio aku tau kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku," batin Irana.Setelah mengikuti mobil Rio selama setengah jam akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah mewah. Irana memperhatikan Rio yang membuka pintu mobil untuk seseorang. Dan betapa terkejut Irana saat ia melihat seorang gadis keluar dari mobil Rio dan dengan jelas Rio mengecup kening gadis itu.Hati Irana begitu sakit, napasnya sangat sesak. Hancur semua hidupnya, Irana merasa menjadi perempuan terhina dengan keputusan salah yang ia ambil.Air matanya jatuh tanpa diundang, pipinya sudah basah dengan napas yang kian sesak. Irana meremas perutnya dengan kuat, ia menahan rasa yang bergejolak dihatinya dan Irana sungguh berada dalam posisi yang sangat lemah saat ini."Mari kita pulang pak," ujar Irana dengan suara yang bergetar menahan tangis. Ia tidak mau melihat pengkhianatan kekasihnya lagi.Rio yang telah mengantarkan Tania ke rumah mereka tentu tidak tinggal lama-lama. Ia menyadari harus segera ke apartemen untuk kembali bersama Irana.Di sepanjang perjalanan hati Rio was-was. Pasalnya sudah beberapa kali telponnya tidak diangkat Irana. Rio seperti merasa bersalah atas apa yang ia lakukan namun di satu sisi lainnya Rio masih belum bisa melepaskan Tania karena hubungan bisnis dengan orang tua Tania masih harus berjalan.Akhirnya perjalanan penuh kekhawatiran itu musnah saat Rio sudah sampai di apartemennya. Rio dengan cepat masuk dan berjalan menuju kamar Irana."Sayang aku kembali," teriak Rio.Kosong, itulah yang dilihat Rio di kamar Irana. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Irana ke semua ruangan namun nihil hasilnya tetap saja ia tidak melihat Irana.Irana, gadis itu sedang berada di kamar mandi dengan satu buah pisau yang ada di tangannya. Irana melihat pergelangan tangannya dengan pikirannya yang sudah terisi penuh oleh bayang-bayang Rio bersama gadis itu.Srett!Irana melukai pergelangan tangannya dengan pisau itu sehingga darah mengalir begitu deras. Lalu Irana melakukan hal yang sama di lehernya, ia berniat mengakhiri hidupnya sendiri.Karena terlalu banyaknya darah yang keluar, Irana pun tidak sadarkan diri dengan keadaan yang mengenaskan. Rambutnya berantakan dengan wajah yang pucat.Rio mendekati kamar mandi karena hanya itu yang belum ia periksa. Dan benar saja kamar mandi itu terkunci, buru-buru Rio mencari kunci cadangan dan saat mendapatkannya ia langsung membukanya."Irana!"Sontak dengan cepat Rio memeluk Irana. Darah yang mengalir dengan luka yang ada di kening, leher dan pergelangan tangannya membuat Rio cemas. "Shit! Apa yang kamu lakukan Irana!" bentak Rio. Irana sudah tidak sadarkan diri, dan tentunya hal itu membuat Rio semakin khawatir."Dasar gadis bodoh!" umpat Rio dibalik kecemasannya yang luar biasa. Rio tanpa berlama-lama langsung mengangkat tubuh Irana yang terkurai lemas di lantai kamar mandi. Buru-buru Rio membawa Irana ke dalam mobilnya. "Ya Tuhan, Irana ada apa dengan dirimu?" tanya Rio kepada gadis di sampingnya. Dia mengelus rambut Irana dengan tangan yang bergetar karena khawatir. Di rumah sakit. Pihak rumah sakit menangani Irana dengan cepat. Apalagi mereka mengetahui bahwa Rio adalah salah satu pemegang saham rumah sakit ini. Rio duduk di depan ruangan UGD dengan cemas. Ia merapatkan kedua tangannya menanti kabar Irana. Pemeriksaan pun sudah dilakukan, Irana sudah ditangani dengan baik dan Rio sudah di berikan izin untuk men
Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi. Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya. "Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya. Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk. Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana. "Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah. Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana. "Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran. Irana melirik dokter itu.
Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi. Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang. "Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya. Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin. Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak. Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana. Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Ta
Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah."Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci. Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas. Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya. "Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio. "Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu. Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu I
Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng
Kedatangan sosok yang tidak diundang sontak membuat Irana kikuk. Apalagi setelah mendengar Syaila mengatakan bahwa ia adalah pembantu yang diajak makan bersama. "Syaila!" tegur Gibran dengan sedikit ketus. "Apa Sayang?" sahur Syaila sambil duduk di dekat Gibran. "Dia bukan pembantu Sayang. Dia temannya Gibran, dia pasiennya." Dengan cepat bu Sinta menjawab Syaila. Syaila yang mempunyai tatapan sinis itu melirik Irana yang sedang terdiam sambil memainkan sendok dan garpunya. "Oh pasiennya kamu ya Sayang? Kok enggak bilang-bilang sih?" Syaila terus menerus sengaja berbicara seperti itu kepada Girban. Dia merubah suaranya menjadi manja. Bahkan dengan sengaja ia terus menyebut Gibran dengan sebutan sayang. Syaila pun melihat penampilan Irana dari atas sampai bawah. Irana yang berpenampilan sederhana itu cukup dibuat malu oleh Syaila. Namun dibalik semua itu Irana hanya bisa menahan kesalnya saat ada orang yang mengint