Sontak dengan cepat Rio memeluk Irana. Darah yang mengalir dengan luka yang ada di kening, leher dan pergelangan tangannya membuat Rio cemas.
"Shit! Apa yang kamu lakukan Irana!" bentak Rio.Irana sudah tidak sadarkan diri, dan tentunya hal itu membuat Rio semakin khawatir."Dasar gadis bodoh!" umpat Rio dibalik kecemasannya yang luar biasa.Rio tanpa berlama-lama langsung mengangkat tubuh Irana yang terkurai lemas di lantai kamar mandi. Buru-buru Rio membawa Irana ke dalam mobilnya."Ya Tuhan, Irana ada apa dengan dirimu?" tanya Rio kepada gadis di sampingnya. Dia mengelus rambut Irana dengan tangan yang bergetar karena khawatir.Di rumah sakit.Pihak rumah sakit menangani Irana dengan cepat. Apalagi mereka mengetahui bahwa Rio adalah salah satu pemegang saham rumah sakit ini.Rio duduk di depan ruangan UGD dengan cemas. Ia merapatkan kedua tangannya menanti kabar Irana.Pemeriksaan pun sudah dilakukan, Irana sudah ditangani dengan baik dan Rio sudah di berikan izin untuk menjenguk kekasihnya itu.Saat masuk ke dalam ruangan itu, semerbak obat dengan udara yang dingin membuat suasana semakin mencekam.Rio berdiri di samping Irana yang terbaring lemas dengan selang oksigen dan impus."Rio, sepertinya gadis ini sangat penting untukmu. Apa kau mempunyai hubungan dengannya?" tanya Gibran. Dia merupakan dokter yang menangani Irana sekaligus merupakan teman Rio.Rio yang mendengar pertanyaan Gibran seketika melirik temannya itu "Dia Kekasihku."Gibran tidak terkejut, dia paham bahwa temannya itu memang selalu mempermainkan perempuan."Rio aku harap kau menjaganya dengan baik. Dan jangan sampai dia tau hubunganmu dengan Tania."Rio mengepalkan tangannya, dia tidak suka saat Girban menasehati apa yang harus ia lakukan.Rio menarik kerah pakaian dinas Gibran "Apa maksudmu hah?!"Gibran hanya tersenyum, ia tidak berniat membalas perlakuan Rio walau sebenarnya ia bisa melakukannya."Haruskah aku mengatakannya Rio?" tanya Gibran. Dan saat itu juga Rio melepaskan cengkramannya."Irana sedang mengandung," ucap Gibran dengan membenarkan pakaian yang sempat ditarik Rio itu.Jleb!Bagai disambar petir di siang hari, Rio terkejut dan membuka matanya dengan lebar."Aku harap kau tidak memberitahu tentang istrimu kepadanya Rio. Dan pilihlah salah satu diantara mereka jika kau tidak mau melihat salah satu diantara mereka mati. Asal kau tau Rio, gadis ini melakukan percobaan bunuh diri dan jika kau terlambat membawanya satu detik saja maka dia sudah dipastikan tiada."Gibran pun pergi meninggalkan Rio yang sedang syok. Lelaki itu duduk di kursi yang ada dan memilih untuk menyendiri. Rio sungguh tidak menyangka bahwa semuanya akan terjadi seperti ini."Shit! Kenapa kamu tidak jujur kepadaku Irana?!" ujarnya sambil menarik rambutnya karena frustasi.Sudah satu jam berlalu. Hari pun sudah semakin sore namun Irana tidak kunjung sadar.Menyadari percakapan Irana di dalam mobil saat mereka akan ke apartemen, Rio berniat membelikan Irana bubur.Irana pun sendirian di dalam kamarnya dan saat Rio pergi Irana mulai mendapatkan kesadarannya.Perlahan lahan matanya terbuka, Irana membiarkan cahaya masuk ke retinanya."Arrgh," Irana mendesah menahan sakit di perutnya yang sepertinya mengalami kram.Irana menangis, air matanya begitu mudah jatuh dan membasahi pipinya."Ibu," lirih Irana dengan sendu.Saat Irana sedang meratapi nasibnya sendiri, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sosok yang membuatnya trauma."Irana kamu sudah sadar sayang? Syukurlah!" ujar Rio."Ini aku membawakan bubur untukmu Sayang," ujarnya lagi dengan meletakan buburnya di atas nakas yang ada.Irana menghapus air matanya namun sama sekali dia tidak mengatakan apapun kepada Rio."Irana?" Panggil Rio dengan gemas.Irana masih diam. Dia memandang lurus ke depan tanpa melirik Rio sedikitpun."Kenapa kau melakukan hal sebodoh ini?! Apa kau tau itu semua akan membuatmu kehilangan nyawamu sendiri!" Rio mulai terlihat marah dari nada suaranya yang mulai berubah.Irana menahan tangisnya begitu kuat. Tangannya bergetar menahan gejolak emosi yang menggebu di hatinya.Rio mendekat ke arah Irana dan duduk di samping kekasihnya itu "Aku sudah tau kehamilanmu."Irana membuka matanya dengan lebar. Ia pun terkejut dengan pengakuan Rio."Dan aku mau kau mengugurkannya."Plak!Irana dengan keras menampar Rio, air matanya kini sudah jatuh karena ia tidak mampu menahannya lagi."Kau sungguh lelaki biadab Rio!" teriak Irana dengan suara yang sangat lantang.Tangisnya begitu hebat, Irana melepas oksigen dan impusan di tangannya sehingga darah mengalir dari bekas jarumnya."Kau lelaki pengecut! Kau pengkhianat! Kau pembohong!" teriak Irana dengan memukul keras dada bidang Rio.Rio yang melihat Irana mengamuk seperti itu tentu masih khawatir dengan kesehatan kekasihnya itu."Irana apa yang kau lakukan!?""Kita putus!" bentak Irana. Gadis itu meronta dengan kasar saat Rio berusaha untuk memeluknya.Rio yang mendengar perkataan putus sontak sangat emosi. Dia menarik Irana dengan keras sehingga gadis itu terjatuh dari ranjangnya dan keningnya terbentur ke ujung nakas."Aww," rintih Irana.Rio yang tidak sengaja melakukan itu tentu sangat menyesal dan ia berniat membantu Irana untuk segera bangkit."Tidak Rio. Aku tidak butuh bantuanmu, kita sudahi saja semuanya sampai disini." Irana dengan dingin mengatakan hal itu. Dia menyentuh keningnya sendiri dan merasakan betapa hangat darah yang mengalir dari keningnya.Rio sudah sangat marah, ia menarik lengan Irana dengan kasar lalu membanting tubuh gadis itu ke kursi yang ada.Rio menjambak rambut Irana dengan kasar, lelaki itu menyakiti Irana tanpa ampun."Hentikan, itu sakit!" Irana memberontak dengan mendorong bahu Rio namun ia tidak sanggup lagi karena tenaganya sudah terkuras habis.Irana membiarkan Rio melakukan apapun yang Rio inginkan. Irana sudah tidak mampu mengimbangi kekuatan lelaki yang menghancurkan hidupnya.Rio sudah cukup puas, dia menghentikan perbuatannya dan memandangi wajah gadisnya dengan tersenyum."Kamu semakin cantik jika marah," ucap Rio dengan polosnya."Aku membencimu Rio," lirih Irana. Dia menutup matanya untuk merasakan air matanya jatuh dengan sesak di dadanya.Rio mengangkat tubuh Irana lalu merebahkan tubuh gadis itu di ranjang semula. Dia memanggil perawat untuk membereskan kekacauan yang ada. Rio juga mengelus rambut Irana yang sempat ia jambak. Sungguh Rio adalah lelaki bermuka dua yang sangat biadab."Mengapa kamu melakukan ini kepadaku Rio? Bukankah kamu berjanji akan menikahiku? Dan menjadikanku ratu di dalam hidupmu, tapi apa ini? Kau malah bermain dengan gadis lain. Bahkan kau mengantarkannya pulang dan mencium kening gadis itu. Kamu pengkhianat Rio!" Irana mengucapkan semuanya dengan suara yang sangat pelan.Jantung Rio semakin tidak aman. Beberapa kali Irana membuat jantungnya berdegup kencang."Gugurkan kandunganmu atau aku akan membunuh Ibumu?" bisik Rio.Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi. Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya. "Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya. Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk. Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana. "Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah. Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana. "Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran. Irana melirik dokter itu.
Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi. Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang. "Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya. Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin. Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak. Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana. Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Ta
Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah."Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci. Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas. Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya. "Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio. "Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu. Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu I
Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng
Kedatangan sosok yang tidak diundang sontak membuat Irana kikuk. Apalagi setelah mendengar Syaila mengatakan bahwa ia adalah pembantu yang diajak makan bersama. "Syaila!" tegur Gibran dengan sedikit ketus. "Apa Sayang?" sahur Syaila sambil duduk di dekat Gibran. "Dia bukan pembantu Sayang. Dia temannya Gibran, dia pasiennya." Dengan cepat bu Sinta menjawab Syaila. Syaila yang mempunyai tatapan sinis itu melirik Irana yang sedang terdiam sambil memainkan sendok dan garpunya. "Oh pasiennya kamu ya Sayang? Kok enggak bilang-bilang sih?" Syaila terus menerus sengaja berbicara seperti itu kepada Girban. Dia merubah suaranya menjadi manja. Bahkan dengan sengaja ia terus menyebut Gibran dengan sebutan sayang. Syaila pun melihat penampilan Irana dari atas sampai bawah. Irana yang berpenampilan sederhana itu cukup dibuat malu oleh Syaila. Namun dibalik semua itu Irana hanya bisa menahan kesalnya saat ada orang yang mengint
"Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, atau mempersilakan. Yang pertama adalah keberanian, yang kedua adalah pengorbanan." (Salim A. Fillah)****Perginya Gibran dari ruang makan tentu menjadi boomerang bagi Syaila. Gadis itu hanya bisa makan dengan kekesalan luar biasa dihatinya. Gibran yang menyusul Irana ke dapur akhirnya dapat melihat lagi Irana. Gadis itu sedang membersihkan piring yang sebelumnya sudah ia gunakan. "Letakan piring kotor itu disana Irana. Biarkan Mbak Puni yang membersihkannya!" seru Gibran. Irana pun menghentikan kegiatannya tetapi ia tidak membalikan tubuhnya untuk saling berhadapan dengan Gibran. "Jangan pikirkan ucapan Syaila. Dia memang selalu asal bicara." Masih dengan lembut Gibran mengatakan semua hal yang baginya harus diucapkan. Irana yang masih bersikukuh enggan membalikan tubuhnya. Dia mencoba untuk menghapus air matanya. "Irana?" panggil Gibran dengan lembut. Lelaki itu masih tetap dalam prinsipnya. Dia tidak pernah me