“Kenapa kamu sampe kaget kayak gitu sih, Dan?” tanya Rahma menatap sang putra dengan heran.“Ya … anu, Bu. Kok, mendadak gitu ngajaknya.” Danu berusaha menahan rasa kesalnya. “Maksudku, kami kan belum siap-siap.”“Cuma semalam doang, kok. Besok siang juga udah bisa pulang.” Rahma mengalihkan tatapannya pada Anna yang hanya diam memperhatikan ibu dan anak itu. “Ibu lihat kalian berdua, kok masih aja kaku. Udah setahun lho, kalian nikah. Terutama kamu Danu! Kalau sikap kamu gini terus sama Anna, kapan coba ibu dan Ayah akan punya cucu.”Anna tercekat mendengar ucapan ibu mertuanya. Apalagi, Danu yang tiba-tiba meliriknya tajam.“Ayo, berangkat! Baru juga ketemu, kalian udah berdebat aja.” Irsyad, ayahnya Danu menepuk bahu putranya. Danu pun kemudian menjalankan kendaraannya keluar dari parkiran bandara.“Kamu nanti bawa baju hangat yang agak tebal ya, An.” Rahma mengalihkan perhatiannya pada sang menantu. “Sekarang udah mulai musim hujan, udara di puncak pasti sangat dingin banget sekara
“Anna! Kamu ngapain di sini? Bikin repot aja, nyariin kamu! Tahu nggak!” bentak Danu sambil menepuk pundak Anna dari belakang sedikit keras.“Aaahhh!” Anna yang kaget malah berteriak dan langsung membalikkan badannya. Bahkan, payungnya sudah terlepas dan terbang ke jurang.Gerakan membalik badan yang tiba-tiba itu, Anna jadi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya yang berpijak pada rumput yang licin karena basah oleh gerimis. Punggung wanita itu langsung terhempas ke pagar tembok pembatas yang hanya setinggi pinggang orang dewasa. Tubuh Anna memberat dan miring ke arah jurang, sehingga kedua kakinya terangkat ke atas dengan cepat.“Anna!” Danu yang kaget melihatnya, langsung melompat ke depan dan menyambar lengan istrinya itu. Untung saja, ia masih sempat meraih sebelah tangan Anna sebelum terjun bebas ke jurang.“To-tolong aku, Mas ….” Anna menatap suaminya dengan rasa takut luar biasa. Bagaimana tidak, saat ini tubuhnya sedang bergelantungan di pinggir jurang yang dasarnya saja ti
“Kondisi Bu Rahma tidak apa-apa. Beliau pingsan karena kaget saja. Mudah-mudahan sebentar lagi sadar,” ujar dokter usai melepas stetoskop dari telinganya.Danu dan ayahnya langsung menghela napas lega. Dan benar saja, sekitar 15 menit kemudian, ibunya Danu itu pun siuman. Ia langsung menanyakan Anna pada putranya. Tapi, Danu tak menjawab. Pria itu hanya diam menunduk."Polisi sudah mengatur anggotanya untuk turun ke bawah setelah hujan reda, Bu. Kita doakan saja, semoga Anna baik-baik saja." Irsyad yang akhirnya menjawab pertanyaan istrinya."Duh ... hujan deras kayak gini, gimana Anna akan baik-baik aja di bawah sana." Rahma kembali menangis sedih begitu membayangkan kondisi sang menantu yang jatuh ke jurang."Hm ... lebih baik, kita memberitahu orang tua Anna malam ini juga. Jangan sampai mereka menyalahkan kita kalau tak segera memberi kabar," lanjut ayahnya Danu lagi sembari menoleh pada putranya. "Kamu telpon mertuamu, Danu."Danu tersentak mendengar perintah ayahnya. Ia pun lang
“Iya, Bu. Maaf, aku selalu saja lupa waktu kalau udah memetik sayur-sayuran ini, seger-seger semuanya,” jawab wanita hamil itu sembari mengangkat keranjang di sampingnya yang hampir penuh oleh sayur-mayur dengan wajah cantiknya yang berseri-seri.“Aduh, jangan angkat berat-berat, Neng. Biar ibu saja yang bawa ke dalam.” Wanita paruh baya itu langsung mengambil keranjang dari tangan sang wanita hamil."Ayuk, masuk.""Iya, Bu."Malam harinya, di tengah rumah panggung yang dinding dan lantainya terbuat dari bahan kayu pilihan itu teronggok sayur mayur yang telah dipanen oleh penghuni rumah. Ningsih--si pemilik rumah sedang asyik memotong-motong tali kecil untuk mengikat sayur-mayur yang akan dijual ke pasar oleh Ilham--suaminya besok pagi. Wanita hamil yang tadi sore telah membantu Ningsih memetik sayur tampak keluar dari salah satu kamar.“Udah … Neng Anna istirahat aja di kamar. Gak usah ikut ngikat-ngikat sayuran hari ini,” cegah Ningsih pada wanita muda yang ternyata adalah Anna.Su
“A-apa, Neng?!” Ilham menatap Anna tak mengerti. Ia bingung dengan permintaan wanita muda itu.“Ting-tinggalkan … ja … ket i-ini di sinih ….” Anna tak sanggup lagi untuk bicara. Kepala dan tubuhnya langsung terkulai lemah. Wanita itu tidak sadarkan diri kembali.“Astagaa … Neng! Neng Anna!” Ilham menepuk pelan bahu Anna. “Walah … pingsan lagi kayaknya.”Ilham yang teringat akan ucapan Anna untuk segera pergi dari tempat itu, langsung membuka jaket tebal yang dipakai oleh Anna. Setelah itu, ia juga membuka jaket tipis bahan parasut yang dipakainya sendiri, lalu memakaikan pada tubuh wanita muda itu. Ilham pun menggendong tubuh Anna di punggungnya. Kemudian, buru-buru pergi dari lokasi itu. Ia tak menyadari kalau wanita yang ditolongnya itu hanya memakai sebelah sepatu. Sebelahnya lagi entah jatuh di mana.“Aduh, Pak?! Ini siapa yang Bapak bawa?!” Ningsih yang sedang memberi ayam-ayamnya makan langsung memekik kaget begitu melihat tubuh yang berselimut karung itu bukan rusa hasil buruan
“Maaf, Tuan. Pak Edward menghubungi.” Bimo tiba-tiba membuka pintu mobil, tangan Hendrawan yang menggantung di udara langsung berbelok ke ponsel yang diserahkan oleh sopir merangkap pengawalnya itu.“Ngapain bosku hubungi Papa?” tanya Harry heran. Emangnya, Papa kenal sama Bos Edward?”“Kenal lah! Udah, kamu diem dulu!” Hendrawan mendelik pada putranya itu. Ia pun kemudian menjawab panggilan di ponsel.Setelah berbasa-basi sejenak, Hendrawan langsung ke tujuannya menghubungi Edward siang tadi, tapi baru berupa pesan.“Iya, Saya mau Harry mulai mengurus perusahaan kami awal bulan depan.” “Pa—” Harry yang mau protes mendengar ayahnya bicara seperti itu dengan bosnya, langsung dibungkam mulutnya dengan sebelah tangan oleh ayahnya itu. Sedangkan Hendrawan masih terus bicara di ponselnya dengan sesekali tertawa kecil. “Iya, ini, anaknya ada di sebelah saya.”[….]“Oh, oke. Nanti kalau Pak Edward ke club, Harry saya suruh menghadap deh.”[….]“Baiklah kalau begitu. Pokoknya gak usah dideng
“Pak Hendrawan, ada yang ingin ketemu sama Bapak.” Anton, sekretaris Hendrawan datang menghadap presdirnya itu.“Siapa? Apa sudah janjian sama saya?” tanya Hendrawan mengalihkan tatapannya dari berkas di tangannya pada pria berusia 30 tahun yang berdiri di depan mejanya. Sekretaris pilihan istri keduanya setahun yang lalu.“Katanya, dia pernah jadi sekretaris Bapak sebelum saya.”“Hah? Sekretaris saya?” Hendrawan mengingat seseorang yang telah menjadi sekretarisnya selama hampir dua tahun sebelum Anton. Ia menggeleng tak percaya. “Ah, tak mungkinlah.”“Gimana, Pak?”“Ya udah, suruh dia masuk kalau begitu,” suruh Hendrawan, daripada ia bingung dan penasaran.Anton pun keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Menampakkan seorang wanita cantik berambut pendek ala Yuni Shara zaman dulu.Wanita cantik berkulit putih dengan tubuh seksi itu melangkah penuh percaya diri dan berhenti sekitar dua meter dari meja kerja Hendrawan yang tampak mengeryitkan kedua alis melih
"Terus terang, dia baru bergabung di perusahaan ini sejak tiga bulan yang lalu. Dan tidak ada sekretaris yang betah sama dia, tiap bulan ganti sekretaris, coba!" Hendrawan membuyarkan pikiran-pikiran Anna tentang laki-laki yang bernama Harry yang lain.Anna menatap Hendrawan yang tampak putus asa akan tingkah anak yang sangat diharapkannya itu."Anna, kamu pasti bisa jadi sekretarisnya Harry. Saya sangat yakin sama kinerja kamu." Kali ini, Hendrawan yang menatap Anna penuh harap. "Tolong nanti bertahan jadi sekretarisnya Harry, ya? Jangan menyerah dalam sebulan. Kayak tiga orang sekretaris sebelumnya.""Apa, Pak?! Emangnya anak Bapak kayak apa, sih? Kok, tiba-tiba saya jadi ragu, nih? Jangan-jangan, ntar saya juga didepaknya dalam sebulan." Anna jadi merinding disco membayangkan calon bos barunya itu. "Maaf, Pak. Saya mau nanya dulu, nih. Hm ... anu ... apa anak Bapak itu udah nikah apa belum? Kok, bisa sangar begitu sama sekretarisnya?""Belum nikah, tapi kalo kawin kayaknya udah ser