Setelah menundukkan tubuh Zara di bawah kukungan tubuhnya yang besar, Dave menatapnya dengan penuh keangkuhan. "Lepaskan pakaianmu" perintahnya dengan suara yang dingin dan tanpa belas kasihan.
"Tidak mau" tolak Zara dengan tegas, matanya yang berair menatap tajam. Walaupun gemetar dalam ketakutan, Zara menegaskan dirinya dengan keberanian yang tersisa, menolak untuk tunduk pada keinginan pria yang mengancamnya.
Dave terkekeh, reaksinya menyiratkan penolakan Zara hanya menghiburannya. Dia bangkit dari atas Zara, memaksa Zara untuk bergerak mundur dan beranjak di pinggir ranjang. Zara memperhatikan dengan cemas saat Dave meraih handphone, nampaknya hendak menghubungi seseorang.
"Bunuh Harry" ucap Dave tiba-tiba, menyebabkan Zara melotot dengan ketakutan yang memuncak.
“JANGAN!” Zara berteriak dengan suara yang hampir pecah, keputusasaan merajalela dalam dirinya. Dia menyadari bahwa situasi ini jauh lebih berbahaya dari yang pernah dia bayangkan. Kehidupan suaminya berada dalam bahaya, dan dia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Dave tersenyum miring, ekspresinya penuh dengan kepuasan atas ketakutan Zara. “Berikan alasannya?” Tanya Dave, suaranya dingin seperti es.
Zara menelan ludahnya dengan susah payah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat di tengah kekacauan yang melanda pikirannya. “Jangan bunuh suamiku” ucapnya dengan suara yang hampir tercekat oleh ketakutan dan keputusasaan.
“Aku membelimu seharga 2 miliar darinya, tapi kau justru menolak keinginanku. Bukankah disini aku yang dirugikan, Zara?” Dave menyampaikan argumennya dengan dingin, mencoba menegaskan dominasinya dalam situasi ini. “Transaksi ini tidak menguntungkanku.”
Zara merasa hancur di dalam. Tubuhnya gemetar takut, tetapi di tengah-tengah keputusasaan itu, dia mencoba mencari sedikit harapan yang tersisa.
“Akan kulakukan” ucapnya dengan suara yang hampir tercekik oleh ketakutan, mencoba menelan ludahnya.
Ucapan itu mengundang senyum samar di wajah tampan Dave, menyiratkan kemenangan yang ditunggu-tunggu. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Dave dengan suara yang dingin, menuntut jawaban dari Zara
“Apa yang anda inginkan, tuan?” tanya Zara dengan suara lemah, mencoba menahan diri agar tetap tegar meskipun hatinya hancur berkeping-keping namun tatapannya kini mulai kosong
“Undress” Titah Dave
Masih dengan tatapan kosongnya, Zara bangkit dari ranjang, langkahnya melintasi lantai yang ditutupi ambal bulu. Dengan gerakan yang perlahan, dia mulai melepaskan kancing-kancing baju tidurnya, merilis tubuhnya dari belenggu pakaian. Setiap gerakan dibuat dengan hati-hati, tetapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang tak terbantahkan.
Dave menahan gairahnya, wajahnya mencerminkan ketidak sabaran yang hampir tidak bisa ditahan. Namun, dia tetap diam, menatap Zara yang melepaskan pakaiannya dengan penuh perhatian.
Dari baju hingga celana, Zara menyingkap lapisan demi lapisan, hingga menyisakan pakaian dalam berwarna navy yang menempel di tubuhnya.
Setelah melepaskan pakaiannya, Zara menatap Dave, matanya kosong, seolah menunggu perintah selanjutnya. “Apa lagi, tuan?” tanya Zara dengan suara yang hampir tidak terdengar di antara ketakutan yang menyelubungi dirinya.
Dave menggeram, dengan cepat merengkuh tubuh Zara dalam pelukannya. Dengan gerakan kasar, dia mencium bibir Zara, berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulut wanita itu. Zara tidak menolak, dia hanya menurut dan mengikuti semua yang Dave lakukan, bagai boneka yang diperintahkan.
Pria itu menindih tubuh Zara, tangannya dengan cekatan membuka sisa pakaian dalam yang menutupi tubuh Zara, menelanjanginya tanpa ampun.
Zara terdiam, terjebak dalam situasi yang mencekik, di mana kehendaknya sendiri tertutup rapat oleh dominasi pria yang membelinya.
Zara merasa terpapar tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Dia merasa seperti sehelai kain yang ditarik dari segala sisi, tanpa privasi atau keintiman yang tersisa.
Tubuh telanjang Zara berkilau, campuran antara keringat dingin dan cahaya lampu yang menyorotnya.
Rambut hitamnya tergerai indah, sangat kontras dengan kulit putih pucatnya. Dave sempat terdiam beberapa saat menatap ketelanjangan wanita itu dengan tatapan yang sulit dipahami.
Ekspresinya campuran antara kepuasan dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Zara tidak dapat mengerti sepenuhnya. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi keheningan yang memenuhi ruangan itu menciptakan suasana yang lebih menekan daripada suara apapun yang bisa dihasilkan.
“Shit”
Kata umpatan itu yang keluar untuk pertama kalinya setelah Dave memulai aksi intimnya menelanjangi Zara.
“Mulai sekarang kau milikku, Zara” klaim Dave dengan suara yang penuh dengan otoritas dan kepuasan. Namun, pengklaiman itu tidak mendapatkan respon apapun dari Zara.
Zara terdiam, tetapi di dalam hatinya, terdapat badai emosi yang melanda, menghancurkan setiap sisa harapan yang tersisa dalam dirinya.
Lagipula, Zara menyadari bahwa dia tidak memiliki hak untuk memberontak. Apa gunanya memprotes, jika pada akhirnya dia tidak memiliki kendali atas hidupnya sendiri? Bahkan haknya sebagai manusia telah direnggut, tubuhnya saja diperjual belikan dengan mudahnya oleh sang suami. Seperti seorang pelacur saja, pikirnya dengan pahit.
“Darling” Suara itu sontak mengagetkan Zara. Tubuhnya membatu dan sontak beberbalik. Dave sedang bersandar di pintu sambil bersedekap dada menatapnya dengan tatapan tajam mengintimidasi“D..Dave.. kamu sudah kembali?” Tanya Zara tersendat-sendatDave tidak menjawab. Sekarang, ia melangkah mendekati Zara. Zara merasa seperti penjahat yang tertangkap basahDan di sana, di ambang pintu, berdiri Dave. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa Zara baca dengan jelas—apakah itu penyesalan, rasa bersalah, atau bahkan sesuatu yang lebih gelap?"Mencari sesuatu?" tanya Dave dengan nada yang sulit ditebak, matanya tertuju pada tumpukan foto di tangan Zara.Zara menelan ludah, merasa seluruh tubuhnya menegang. "Dave... apa maksud semua ini? Mengapa ada foto-foto ini? Siapa yang memotretku?" tanyanya dengan suara yang bergetar, menuntut jawaban.Dave melangkah lebih dekat, tetapi Zara mundur selangkah, menjaga jarak di antara mereka. Dia tidak ingin mempercayai b
‘Kau bisa mencaritahunya sendiri dirumah itu’ Pesan terakhir yang Sylvia tinggalkan membuat Zara gelisah dan penasaranZara mempercayai Dave namun dia ingin tahu apa yang Dave sembunyikan darinya. Zara berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong rumah besar itu menuju ruang kerja DaveZara nampak ragu sejenak sebelum dia masuk dan menatap isi ruangan itu. Zara mengigit bibir bawahnya lalu mengeluarkan sebuah kunci yang Sylvia berikan.Dalam ruang kerja Dave, terdapat sebuah pintu yang selalu terkunci rapat dan kini kunci itu ada ditangannyaCtak..Saat dia mendorong pintu itu perlahan, ruang rahasia terbuka di depannya. Ruangan itu dipenuhi oleh berkas-berkas, dokumen, dan peta besar yang tergantung di dinding. Mata Zara tertuju pada satu dokumen yang tergeletak di atas meja besar, seperti sesuatu yang sengaja dibiarkan terbuka. Tangan Zara gemetar saat dia meraih dokumen itu.Mata Zara mulai membaca, dan semakin dia membaca, semakin cepat jantungnya berdetak.Tubuh Zara membeku di tempa
“Aku baru tahu jika sepupuku ini bodoh” Ucap Sylvia yang ditujukan pada DaveDave mengernyit, menatap Sylvia kesal “Apa maksudmu, Sylvia?” tanyanya, suaranya masih diliputi amarahSylvia mendesah, menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Dave dengan tatapan penuh penilaian. “Kau selalu memikirkan segalanya dengan begitu terencana, begitu strategis. Tapi ketika menyangkut Zara, kau benar-benar buta, Dave” katanya dengan nada tajam.“Kau menjadi lemah karena perasaan tak bergunamu itu” SambungnyaDave menahan diri untuk tidak memaki atau bahkan memukul Sylvia.Marcus, yang sedari tadi hanya menonton, tertawa kecil. “Lihatlah kau, Dave. Bahkan adik perempuanku bisa melihat betapa bodohnya kau dalam hal ini. Kau mungkin seorang pemimpin yang hebat, tapi dalam urusan hati, kau hanya seorang amatir.”Dave menoleh tajam ke arah Marcus, tetapi dia tahu bahwa Sylvia dan Marcus, meski
Dave tiba di markas dengan langkah cepat, pandangannya menyapu ruangan yang penuh dengan kesibukan. Anak buahnya bergerak cepat, mencoba mengendalikan situasi yang jelas sedang berada di luar kendali. Beberapa dari mereka tampak terluka, dan suasana tegang terasa di udara."Apa yang terjadi di sini?" tanya Dave dengan nada tajam, suaranya memotong kebisingan di ruangan itu. Semua orang berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya, merasakan otoritas yang dibawa Dave ke dalam ruangan.Seorang pria dengan luka di bahu mendekati Dave, wajahnya penuh kecemasan. "Tuan Carpenter, ada penyerangan mendadak. Kami tidak tahu dari mana mereka datang, tapi serangan itu terorganisir dengan sangat baik.""Siapa yang menyerang kita?" Dave mendesak, matanya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Dia merasa marah dan frustasi, tidak percaya bahwa markas mereka bisa diserang dengan begitu mudah.Pria itu menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Kami masih mencari ta
"Selamat, Tuan Carpenter. Istri Anda mengandung anak kembar" ucap Dokter kepada Dave yang menemani Zara saat memeriksakan kesehatan kehamilannya."Benarkah?" sahut Dave sambil menatap Zara yang duduk di sampingnya. Tatapan bahagia jelas terlihat di wajahnya"Iya, bayinya dalam kondisi sehat, tolong jaga kesehatan dan jangan mudah lelah.""Itu pasti, Dok. Aku akan menjaga istriku selalu."Zara tersipu malu saat Dave mencium pipinya di hadapan dokter itu. "Ini resep vitamin, jangan lupa diminum secara teratur" kata Dokter sambil memberikan selembar kertas pada Dave."Terima kasih, Dok." Ucap Zara. Setelahnya dia berdiri dan Dave menggandeng tangan Zara keluar ruangan itu."Setelah ini kita mau kemana, Dave?" Tanyanya"Makan malam. Kau mau makan di restoran mana?""Emm aku tidak mau di restoran mana pun."Dave mengernyit bingung. "Lalu kau mau makan dimana?"“Aku ingin kau yang masak” kata Zara sambil ter
“Luna, aku ingin menamainya Luna”Dave terdiam sejenak. Wajahnya yang semula penuh kasih dan ketenangan berubah menjadi kaku, seperti baru saja ditampar oleh kenyataan yang menyakitkan. Tangannya berhenti bergerak di atas perut Zara, dan dia menariknya perlahan, seolah-olah menyadari bahwa nama itu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin dia dengar lagi dalam konteks ini.Nama itu, Luna, membawa banyak kenangan yang bercampur antara manis dan pahit. Luna, wanita yang pernah ia cintai, dan wanita yang harus ia relakan pergi, kini kembali menghantuinya dalam bentuk yang sama sekali tidak ia duga—sebagai nama untuk anak yang ia nantikan bersama Zara.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak memperlihatkan ketegangan yang tiba-tiba melanda dirinya. "Darling... Luna adalah nama yang sangat indah, tapi...," suaranya sedikit serak, dan dia berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Apakah kau yakin itu nama yang kau inginkan untuk anak kita