Share

Bab 2

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-01-18 05:35:00

Naira menatap punggung Reyhan yang pergi tanpa menoleh. Dulu, ia selalu berpamitan dengan mencium keningnya. Sekarang? Bahkan sekadar ucapan "hati-hati" pun tak ada.

Dari balik jendela, ia melihat Reyhan masuk mobil dan melaju pergi seolah tak ada seorang pun yang ia tinggalkan di rumah ini. Naira terduduk di ranjang, tubuhnya panas, kepalanya berdenyut. Tangannya menutupi wajah, menahan air mata yang hendak tumpah.

Namun, suara bel rumah berbunyi nyaring, berkali-kali. Naira terpaksa bangkit dan berjalan tertatih ke pintu. Saat membukanya, ibu mertuanya, Bu Maya, dan adik iparnya, Lila, berdiri di ambang pintu.

Bukankah mereka baru akan tiba besok? Kenapa sekarang sudah datang?

Bu Maya menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi jijik. “Astaga, Naira! Pagi-pagi masih pakai daster lusuh? Kamu ini istri direktur, bukan pembantu!”

Naira menunduk, suaranya bergetar. "Aku sedang sakit, Bu…"

Maya mendengus keras. "Sakit? Alasan basi! Lihat menantu Bu Rina, baru lahiran aja langsung bisa masak dan mengurus rumah! Kamu ini malas, lemah, dan nggak berguna! 

“Kalau saja Reyhan dulu menikah dengan Raisa, pasti hidupnya jauh lebih baik! Raisa itu perempuan sempurna! Cantik, anggun, pintar, dan bisa membawa diri! Pasti Reyhan nggak bakal sekesal ini kalau dia yang jadi istrinya," kata Bu Maya lagi.

Lila menambahkan dengan nada mengejek, "Iya, Ma! Kalau Mas Reyhan nikah sama Raisa, pasti setiap hari pulang ke rumah disambut istri yang cantik dan wangi, bukan yang lusuh dan nggak bisa ngurus diri kayak ini."

Naira menelan ludah, tubuhnya masih lemah. Namun, Bu Maya menunjuk koper dan kardus di belakangnya. “Bawakan barang-barang kami.”

Dengan gemetar, Naira mencoba mengangkat koper besar. Baru satu, lututnya sudah terasa goyah. Tapi Bu Maya dan Lila tidak peduli.

“Kenapa rumah ini berantakan sekali? Kamu tidak memberishkannya, Naira?” kata Bu Maya begitu masuk dan melihat kondisi rumah yang masih belum dibereskan.

“Maaf, Bu. Kata Mas Reyhan, Ibu dan Lila baru akan datang besok. Jadi, aku berencana akan merapikan rumah nanti sore sambil menunggu badan aku lebih bertenaga,” jawab Naira dengan lemah.

“Alasan. Bilang saja kalau malas,” cibir Bu Maya.

Seharian, Naira dipaksa bekerja tanpa henti. Membersihkan rumah, mencuci pakaian mereka, memasak makanan sesuai selera Maya yang selalu mengomentari segala hal.

Saat makan siang, Naira menyajikan udang asam manis dengan hati-hati. Namun, begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, Bu Maya langsung mendorong piring menjauh.

“Astaga, ini masak udang atau karet? Udang tuh harusnya garing di luar, lembut di dalam! Ini malah keras dan hambar! Pantas Reyhan nggak betah di rumah!”

Lila mencibir, “Duh, Kak, pantas Mas Reyhan makin malas pulang! Masakan begini nggak layak dimakan.”

Lagi-lagi, Naira hanya bisa menahan rasa sakit hati itu. Tubuhnya masih begitu lemas, tetapi sudah dipaksa melakukan banyak hal. Bahkan, semua itu sama sekali tidak dihargai.

Hal seperti ini memang selalu terjadi. Bu Maya dan Lila memang tidak menyukai Naira, entah apa alasannya. Setiap hal yang dilakukan Naira untuk mereka, tidak pernah mendapat apresiasi.

Awalnya, Reyhan selalu membela Naira, berusaha menenangkan istrinya. Namun, belakangan ini Reyhan justru terlihat ikut masuk dalam kelompok keluarganya. 

Menjelang malam, pintu terbuka. Reyhan pulang. Naira berharap setidaknya ia bertanya tentang keadaannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Reyhan membawa kantong makanan mahal. Bu Maya langsung tersenyum puas. “Nah, begini, Reyhan! Masakan Naira itu nggak ada enak-enaknya! Bu Dita cerita menantunya bisa masak kayak koki bintang lima! Kenapa kamu malah dapat yang begini?”

Lila terkikik. “Mas Reyhan kan direktur, istrinya juga harus berkelas dong, bukan kayak…” ia melirik Naira dengan tatapan menghina.

Reyhan menaruh makanan di meja. “Ayo makan, Ma, Lil. Nggak usah makan masakan Naira, nanti malah sakit perut.”

Maya dan Lila tertawa puas, sementara Naira berdiri di sudut ruangan, menahan tangis.

Setelah makan, Reyhan melirik meja yang masih berantakan. “Naira, bersihkan ini. Habis itu, bantu Ibu dan Lila bereskan barang mereka di kamar.”

Naira berusaha menjelaskan, “Mas, aku—”

Tatapan tajam Reyhan menghentikannya. “Jangan banyak alasan. Aku capek dengar keluhanmu.”

Di kamar tamu, Bu Maya melipat tangan di dada dengan ekspresi penuh penghinaan. “Lama sekali, Naira! Lihat menantu Bu Rina, baru nikah setahun aja udah bisa urus rumah, suami, dan tetap cantik! Kamu? Cuma bisa ngeluh dan bikin repot!”

Lila tertawa mengejek. “Mau dibandingin juga percuma, Ma! Kak Naira mah nggak ada levelnya sama siapapun.”

Naira menggigit bibir, menahan sakit yang menjalar di tubuhnya. Dengan sisa tenaga, ia mulai menyusun tas mewah Bu Maya, sepatu mahal Lila, parfum, perhiasan semua harus tertata sempurna. Tubuhnya hampir tak sanggup lagi, tetapi ia tak berani berhenti.

Saat mencoba mengangkat kardus terakhir, dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar. Lututnya melemas.

BRUK!

Tubuh Naira jatuh keras ke lantai. Napasnya tersengal, keringat dingin mengucur deras. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tetapi yang ia dengar hanya suara cibiran.

Bu Maya mendengus kesal. “Astaga, jangan pura-pura, Naira!”

Lila mendekat dan menendang lengannya dengan ujung kaki. “Baru kerja sebentar aja tumbang? Pantas Mas Reyhan makin muak! Mana ada lelaki mau istri lemah kayak gini?”

Reyhan berdiri di ambang pintu, matanya sekilas melihat tubuh Naira yang tersungkur, tapi tak ada kepedulian di sana. Dengan santai, ia berbalik dan keluar kamar.

Maya menguap bosan. “Sudah malam. Biarin aja, kalau dia sadar, dia tahu diri buat bangun sendiri.”

Mereka naik ke tempat tidur masing-masing dan mematikan lampu.

Sementara itu, di lantai yang dingin dan gelap, Naira tetap tergeletak, gemetar, sendirian. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Bibirnya bergetar, mengucap doa lirih yang bahkan ia tak yakin akan didengar siapa pun.

Dini hari, ia terbangun dengan tubuh menggigil. Perlahan, ia berusaha bangkit, meraba-raba dinding untuk menopang tubuhnya yang lemah. Dengan langkah tertatih, ia menuju dapur.

Begitu sampai, ia menuang air dan meneguknya perlahan. Air itu menjadi satu-satunya hal yang mengingatkannya bahwa ia masih hidup.

Ia duduk di sudut ruangan, membiarkan tubuhnya yang lelah terkulai. Kepalanya bersandar, matanya perlahan menutup.

Kali ini, ia tertidur bukan hanya karena lelah.

Tapi karena tak ada lagi yang peduli.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 120

    Hari H pernikahan akhirnya tiba setelah 1 bulan lamanya mengurus segala hal.Gedung megah di pusat kota Jakarta dipenuhi tamu penting. Kilatan kamera, musik klasik yang lembut, dan hiasan bunga mawar putih menambah kemewahan pesta pernikahan Arga dan Arumi.Media berdatangan, dan semua mata tertuju pada pasangan “calon pengantin” yang kini berdiri di pelaminan, bersiap mengucap janji suci.Arga mengenakan jas hitam klasik, sementara Arumi tampak cantik memesona dalam gaun putih mewah, menyembunyikan kegelisahan dalam senyumnya.Tepat saat MC bersiap memulai prosesi janji nikah, pintu utama terbuka keras.“HENTIKAN!”Semua mata menoleh. Tamu-tamu terdiam. Kamera-kamera berputar ke arah wanita cantik bergaun biru tua yang berjalan penuh keyakinan ke tengah aula.Itu Naira.Di belakangnya, Reyhan mengejar, mencoba menahannya.“Naira, cukup. Kau tak harus lakukan ini. Kembalilah padaku. Aku akan terima kau apa adanya asal bukan bersamanya.”Tapi Naira menepis tangan Reyhan, lalu berjalan

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 119

    Dirumah besar keluarga Wijaya.Di halaman belakang rumah besar keluarga Wijaya, Arga sedang duduk bersila di atas rumput, bermain dengan Gio. Bocah itu tertawa-tawa riang, melemparkan bola kecil ke pelukan Arga yang berpura-pura menangkap dengan susah payah.Sesekali, Arga memandangi wajah bocah itu diam-diam. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa anak itu menggemaskan dan pintar.Tapi hatinya masih penuh sangsi. Maka saat Gio berlari mengejar bola dan rambutnya tersibak angin, Arga diam-diam mengambil sehelai rambut Gio dengan modus ada serangga.Dengan gerakan halus, ia memasukkannya ke dalam amplop kecil. Tak lama setelahnya, di parkiran rumah, Bima datang dengan mobil hitamnya.Tanpa banyak bicara, Arga menyerahkan amplop itu.“Lakukan secepatnya. Aku ingin hasilnya sebelum pesta ulang tahun perusahaan,” bisiknya.Bima mengangguk.“Anda yakin, Pak?”“Jelas Aku yakin, pilih rumah sakit terbaik,” jawab Arga, suaranya pelan tapi mantap.Sementara itu, di ruang keluarga, suasan

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 118

    Beberapa hari setelah Naira menghilang…Arga mulai bergerak diam-diam, namun bukan untuk menyelamatkan pernikahannya melainkan untuk mengungkap kebenaran di balik semua kekacauan.Dia tahu, kunci dari semua kekacauan ini bukan hanya Arumi atau Gio, tapi seseorang yang selama ini berada di balik layar.Arga menghubungi seorang mantan detektif yang pernah menyelidiki kasus internal perusahaan, dan nama pertama yang muncul… Alex.Alex yang telah membawa Arumi dan Gio ke kota ini, juga dia yang membiayai seluruh keperluan Arumi selama di Jakarta termasuk menentukan hari dimana penobatan Arga baru dia muncul.“Jika memang itu maumu, aku akan layani kamu Alex!” Lirih Arga menatap lurus ke depan mengepalkan tangannya.Arga lalu meminta Bima menyampaikan pada Arumi jika ia akan bertanggung jawab untuk segala hal termasuk menikahinya.Tapi kenyataannya? Itu semua hanya sandiwara dingin.Di belakang layar, ia menyelidiki lebih dalam. Ia memasang CCTV tersembunyi di kamar Arumi. Ia menanam track

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 117

    Flashback – Sehari Sebelum Hasil Tes DNA KeluarLangit di luar mendung. Kantor mulai sepi setelah rapat evaluasi bulanan. Liza melangkah masuk ke pantry dengan langkah malas. Ia lelah secara fisik, tapi lebih dari itu hatinya terasa kosong.Di sudut ruangan Tina, asisten pribadi Naira, sedang merapikan map yang berserakan. Liza hanya melirik sekilas, lalu membuka lemari es mengambil air mineral.Sebuah map jatuh dan isinya tercecer ke lantai. Kak Tina membungkuk cepat, tapi sebelum ia sempat meraih semua, Liza ikut jongkok membantunya. Tanpa banyak bicara."Terima kasih, Liza..." ucap Tina pelan.Liza diam. Lalu tiba-tiba bertanya sambil menatap kosong ke lantai, “Kak Tina… Kakak udah lama ya kerja sama Naira?”Tina mengangguk pelan. “Sejak awal Bu Naira masuk Wijaya Group. Waktu itu dia langsung jadi wakil direktur dan banyak diragukan. Tapi dia kerja keras banget untuk diakui… Bahkan saat semua orang termasuk aku ragu sama dia.”Liza tertawa kecut. “Kerja keras, tapi akhirnya jadi pa

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 116

    Dirumah Ibu Rina.Ruangan itu penuh ketegangan. Arga duduk di kursi pemeriksaan dengan lengan masih memeluk Naira, yang belum sepenuhnya pulih dari trauma penculikan.Di seberangnya, Arumi berdiri gemetar, wajahnya kusut dengan amarah, sementara seorang anak kecil lelaki berdiri kebingungan sambil memegang ujung bajunya.“Arga, kamu pikir kamu bisa semudah itu menyingkirkan aku?” bentaknya parau, “Aku bawa anakmu ke pesta itu bukan buat dihina, tapi buat kamu tanggung jawab!”Arga menatap tajam, matanya tak bergeming. “Anak itu belum tentu anakku, Arumi. Dan satu-satunya jalan adalah kita lakukan tes DNA. Aku nggak akan nikahi kamu hanya karena ancaman atau rasa bersalah.”“TES DNA?!” Arumi tertawa sumbang. “Setelah semua yang aku alami? Setelah keluargamu tinggalin aku, setelah ibumu buang aku seperti sampah, sekarang kamu minta bukti?!”Tepat saat itulah Liza masuk ke ruang tamu, didampingi oleh Bu Rina. Langkahnya penuh percaya diri, suaranya tajam seperti pisau yang siap membelah s

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 115

    Malam itu terasa panjang, seperti enggan beranjak dari luka yang terbuka. Naira kembali ke kamar tamu di rumah Tari, meninggalkan Arga yang berdiri diam di ambang pintu, menatap punggung perempuan yang dulu begitu yakin ia cintai dan kini nyaris tak sanggup ia sentuh tanpa rasa bersalah.Sementara itu, Arga kembali ke mobilnya, melempar tubuhnya ke kursi dengan napas berat. Kepalanya bersandar pada kemudi, mata terpejam, menahan gejolak emosi yang semakin menyesakkan dada.Seluruh hidupnya terasa seperti reruntuhan pewarisan harta yang ia dapatkan kini tak berarti, karena wanita yang paling ia ingin bagi semuanya tengah menggantung di tepi jurang keputusan.Ia menginap di dalam mobil malam itu, di depan rumah Tari. Seolah hanya dengan berada dekat, ia bisa tetap memeluk harapan. Tapi pagi tidak membawa ketenangan. Pagi justru membawa kabar buruk.Ponselnya bergetar keras. Sebuah panggilan dari Liza.“Arga! Arumi menghilang! Dia kabur semalam. Dia ninggalin anaknya di rumah!”Darah Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status