Share

Bab 3

Penulis: Phoenixclaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 05:44:52

Keesokan paginya, suara langkah kaki tergesa-gesa membangunkan Naira dari tidur singkat di sofa. Tubuhnya masih terasa lemas, matanya berat, tetapi ia tak sempat bereaksi sebelum sesuatu yang dingin menghantam wajahnya.

Byur!

Air dingin menyiram tubuhnya, membuatnya tersentak dan terbatuk. Ia mengerjapkan mata dengan panik, tubuhnya menggigil lebih hebat. Di depannya, Bu Maya berdiri dengan wajah sinis, memegang ember kosong di tangannya.

"Astaga, lemah sekali. Baru demam sedikit sudah bertingkah seperti sekarat," cibir Bu Maya. "Aku capek lihat muka loyo kamu. Dasar pemalas, cuma tahu tidur saja."

Naira terdiam, napasnya tersengal akibat kaget dan dingin yang menusuk. Air menetes dari rambutnya, membasahi bajunya yang sudah lusuh. Ia ingin marah, ingin menangis, ingin berteriak, tetapi apa gunanya?

Reyhan yang hendak berangkat ke kantor hanya melirik sekilas ke arahnya. Alih-alih menunjukkan kepedulian, ia justru mendecakkan lidah dengan ekspresi jengkel. "Urus rumah yang benar, Naira. Kalau kamu malas, gak akan hilang demammu itu. Kamu itu kurang gerak.”

“Lihat Raisa itu, dia bisa melakukan banyak hal. Tidak pernah terlihat malas sepertimu,” timpal Bu Maya.

Nama itu menusuk hati Naira lebih dalam dari tamparan mana pun. Raisa adalah mantan Reyhan, perempuan yang dulu dipuja semua orang, termasuk Bu Maya. Sejak awal, mereka memang selalu membandingkan Naira dengan Raisa. Seolah pernikahan Reyhan dengan Naira adalah kesalahan besar yang tak terampuni.

Tanpa menoleh lagi, Reyhan berjalan keluar, meninggalkan Naira yang masih duduk di sofa dengan tubuh menggigil dan hati yang semakin hancur.

Untungnya, demamnya sudah turun, meskipun tubuhnya masih lemah. Namun, itu tidak berarti ia bisa beristirahat. Bu Maya segera menyuruhnya bangkit dan masuk ke dapur. "Buatkan sarapan dan jus untuk Lila. Dia masih tidur, biarkan saja sampai bangun sendiri."

Tanpa protes, Naira melangkah ke dapur. Tubuhnya sudah lebih baik dibanding semalam, meskipun masih terasa lelah. Ia mulai mengambil bahan-bahan untuk memasak dengan gerakan yang lebih stabil. Aroma masakan mulai memenuhi ruangan, tetapi tidak ada satu pun yang peduli bahwa yang memasak adalah seseorang yang baru saja pulih dari sakit.

Naira baru saja selesai menyiapkan sarapan ketika suara bentakan tajam menggema di seluruh rumah.

"NAIRA!"

Tubuhnya menegang. Dari nada suaranya, ia tahu ini bukan sesuatu yang baik. Dengan langkah ragu, ia keluar dari dapur dan menemukan Bu Maya berdiri di ruang tamu dengan wajah merah padam.

Di sampingnya, Lila adik iparnya baru saja bangun dan langsung emosi, rambutnya masih berantakan, tetapi wajahnya penuh amarah. Dengan ekspresi penuh kecurigaan, ia memeluk kedua tangan di dada, tatapannya menusuk ke arah Naira.

Tangan Bu Maya gemetar saat menunjuk ke arah laci yang terbuka di dekat lemari. "Mana perhiasanku?!" serunya dengan penuh amarah. "Kalung emas dan cincin berlian itu hilang! Jangan pura-pura bodoh, kamu pasti yang mencurinya!"

Jantung Naira berdetak lebih cepat. "Apa? Aku tidak tahu apa-apa, Bu," ucapnya dengan suara lirih.

Lila mendengus. "Jangan bohong, Naira. Hanya kamu yang mengurus barang-barang kami tadi malam! Kalau bukan kamu, siapa lagi?" Ujar Lila menunjuk-nunjuk tanpa menghormati Naira lagi sebagai kakak iparnya. 

"Benar!" Bu Maya menyambar dengan cepat. "Aku ingat jelas, semalam aku menyuruhmu merapikan meja rias dan mengembalikan perhiasanku ke laci! Sekarang hilang, dan hanya kamu yang menyentuhnya!"

Naira menggeleng, tubuhnya mulai gemetar. "Aku bersumpah, aku tidak mengambilnya! Aku memang membereskan barang-barang Ibu, tapi aku tidak mengambil apa pun!"

"Dasar pembohong!" Dengan cepat, sebuah tamparan keras menghantam pipinya.

Plak!

Naira terhuyung ke belakang, rasa perih menjalar di wajahnya. Mulutnya sedikit terbuka karena terkejut, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"Kamu pikir aku bodoh?!" Bu Maya mendesis tajam. "Kalau sampai perhiasan itu tidak ketemu, aku tidak akan tinggal diam!"

Lila menyilangkan tangan, menatap Naira dengan tatapan merendahkan. "Kalau kamu memang tidak mencurinya, buktikan! Tapi jangan harap ada yang percaya."

Saat senja mulai turun, Reyhan pulang dari kantor. Begitu melihatnya melangkah masuk, Bu Maya langsung menghampiri dengan wajah marah, diikuti Lila yang tampak serius.

"Reyhan, dengar ini baik-baik!" katanya, suaranya dibuat penuh kepedihan. "Perhiasan Ibu hilang! Kalung emas dan cincin berlian yang kamu belikan itu raib! Dan aku yakin ini ulah istrimu!"

Reyhan mengernyit, lalu menatap tajam ke arah Naira yang berdiri sedikit jauh di belakang. "Apa itu benar?" tanyanya dengan suara dingin.

Lila ikut menimpali, "Hanya Naira yang menyentuh barang-barang Ibu tadi malam. Tidak ada orang lain. Kalau bukan dia, siapa lagi?"

Naira menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku tidak melakukannya, Mas. Aku bersumpah, aku tidak mencuri."

Namun, Reyhan tidak terlihat percaya. Ia mendekat dengan tatapan penuh amarah, lalu tanpa peringatan, tangannya terangkat tinggi dan menghantam pipi Naira dengan keras.

PLAK!

Tamparan itu lebih kuat dari yang dilakukan Bu Maya tadi pagi. Kepala Naira terpelanting ke samping, rasa panas membakar kulitnya.

"Dasar perempuan nggak tahu diri!" Reyhan mendesis tajam. "Makan, tidur, dan tinggal di rumah ini tapi malah mencuri?! Kamu pikir aku akan diam saja?! Kalau Raisa yang jadi istriku, dia nggak bakal bikin malu kayak gini!"

Naira tersentak, tangannya refleks memegang pipinya yang terasa perih. Naira terjatuh ke lantai. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, sementara suara tawa kecil Lila terdengar samar di telinganya.

Tak lama kemudian, Bu Maya berdeham keras, berjalan ke arah koper yang terletak di sudut ruangan, lalu pura-pura mengernyit. "Oh, ternyata ada di sini. Di koper." katanya dengan nada ringan, seolah-olah kejadian sebelumnya tidak pernah terjadi.

Namun, meskipun perhiasan itu ditemukan, tidak ada yang meminta maaf padanya. Tidak ada penyesalan, tidak ada pengakuan bahwa mereka telah menjebaknya dengan sengaja bahkan setelah penyiksaan mereka.

Reyhan menghela napas kasar, matanya menatapnya dengan dingin. "Naira, minta maaf pada Ibu."

Mata Naira semakin memanas. Dirinya yang dihabisi, kenapa ia juga yang harus meminta maaf?

Namun, percuma jika ingin melawan. Naira tidak punya kekuatan apapun. Dengan suara gemetar, ia akhirnya berbisik, "Maaf, Bu..."

Bu Maya tersenyum puas. "Jangan berdiri saja di situ. Siapkan makan malam."

Air mata akhirnya mengalir di pipi Naira. Bukan hanya karena sakit di pipinya, tetapi juga karena sakit di hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 120

    Hari H pernikahan akhirnya tiba setelah 1 bulan lamanya mengurus segala hal.Gedung megah di pusat kota Jakarta dipenuhi tamu penting. Kilatan kamera, musik klasik yang lembut, dan hiasan bunga mawar putih menambah kemewahan pesta pernikahan Arga dan Arumi.Media berdatangan, dan semua mata tertuju pada pasangan “calon pengantin” yang kini berdiri di pelaminan, bersiap mengucap janji suci.Arga mengenakan jas hitam klasik, sementara Arumi tampak cantik memesona dalam gaun putih mewah, menyembunyikan kegelisahan dalam senyumnya.Tepat saat MC bersiap memulai prosesi janji nikah, pintu utama terbuka keras.“HENTIKAN!”Semua mata menoleh. Tamu-tamu terdiam. Kamera-kamera berputar ke arah wanita cantik bergaun biru tua yang berjalan penuh keyakinan ke tengah aula.Itu Naira.Di belakangnya, Reyhan mengejar, mencoba menahannya.“Naira, cukup. Kau tak harus lakukan ini. Kembalilah padaku. Aku akan terima kau apa adanya asal bukan bersamanya.”Tapi Naira menepis tangan Reyhan, lalu berjalan

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 119

    Dirumah besar keluarga Wijaya.Di halaman belakang rumah besar keluarga Wijaya, Arga sedang duduk bersila di atas rumput, bermain dengan Gio. Bocah itu tertawa-tawa riang, melemparkan bola kecil ke pelukan Arga yang berpura-pura menangkap dengan susah payah.Sesekali, Arga memandangi wajah bocah itu diam-diam. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa anak itu menggemaskan dan pintar.Tapi hatinya masih penuh sangsi. Maka saat Gio berlari mengejar bola dan rambutnya tersibak angin, Arga diam-diam mengambil sehelai rambut Gio dengan modus ada serangga.Dengan gerakan halus, ia memasukkannya ke dalam amplop kecil. Tak lama setelahnya, di parkiran rumah, Bima datang dengan mobil hitamnya.Tanpa banyak bicara, Arga menyerahkan amplop itu.“Lakukan secepatnya. Aku ingin hasilnya sebelum pesta ulang tahun perusahaan,” bisiknya.Bima mengangguk.“Anda yakin, Pak?”“Jelas Aku yakin, pilih rumah sakit terbaik,” jawab Arga, suaranya pelan tapi mantap.Sementara itu, di ruang keluarga, suasan

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 118

    Beberapa hari setelah Naira menghilang…Arga mulai bergerak diam-diam, namun bukan untuk menyelamatkan pernikahannya melainkan untuk mengungkap kebenaran di balik semua kekacauan.Dia tahu, kunci dari semua kekacauan ini bukan hanya Arumi atau Gio, tapi seseorang yang selama ini berada di balik layar.Arga menghubungi seorang mantan detektif yang pernah menyelidiki kasus internal perusahaan, dan nama pertama yang muncul… Alex.Alex yang telah membawa Arumi dan Gio ke kota ini, juga dia yang membiayai seluruh keperluan Arumi selama di Jakarta termasuk menentukan hari dimana penobatan Arga baru dia muncul.“Jika memang itu maumu, aku akan layani kamu Alex!” Lirih Arga menatap lurus ke depan mengepalkan tangannya.Arga lalu meminta Bima menyampaikan pada Arumi jika ia akan bertanggung jawab untuk segala hal termasuk menikahinya.Tapi kenyataannya? Itu semua hanya sandiwara dingin.Di belakang layar, ia menyelidiki lebih dalam. Ia memasang CCTV tersembunyi di kamar Arumi. Ia menanam track

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 117

    Flashback – Sehari Sebelum Hasil Tes DNA KeluarLangit di luar mendung. Kantor mulai sepi setelah rapat evaluasi bulanan. Liza melangkah masuk ke pantry dengan langkah malas. Ia lelah secara fisik, tapi lebih dari itu hatinya terasa kosong.Di sudut ruangan Tina, asisten pribadi Naira, sedang merapikan map yang berserakan. Liza hanya melirik sekilas, lalu membuka lemari es mengambil air mineral.Sebuah map jatuh dan isinya tercecer ke lantai. Kak Tina membungkuk cepat, tapi sebelum ia sempat meraih semua, Liza ikut jongkok membantunya. Tanpa banyak bicara."Terima kasih, Liza..." ucap Tina pelan.Liza diam. Lalu tiba-tiba bertanya sambil menatap kosong ke lantai, “Kak Tina… Kakak udah lama ya kerja sama Naira?”Tina mengangguk pelan. “Sejak awal Bu Naira masuk Wijaya Group. Waktu itu dia langsung jadi wakil direktur dan banyak diragukan. Tapi dia kerja keras banget untuk diakui… Bahkan saat semua orang termasuk aku ragu sama dia.”Liza tertawa kecut. “Kerja keras, tapi akhirnya jadi pa

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 116

    Dirumah Ibu Rina.Ruangan itu penuh ketegangan. Arga duduk di kursi pemeriksaan dengan lengan masih memeluk Naira, yang belum sepenuhnya pulih dari trauma penculikan.Di seberangnya, Arumi berdiri gemetar, wajahnya kusut dengan amarah, sementara seorang anak kecil lelaki berdiri kebingungan sambil memegang ujung bajunya.“Arga, kamu pikir kamu bisa semudah itu menyingkirkan aku?” bentaknya parau, “Aku bawa anakmu ke pesta itu bukan buat dihina, tapi buat kamu tanggung jawab!”Arga menatap tajam, matanya tak bergeming. “Anak itu belum tentu anakku, Arumi. Dan satu-satunya jalan adalah kita lakukan tes DNA. Aku nggak akan nikahi kamu hanya karena ancaman atau rasa bersalah.”“TES DNA?!” Arumi tertawa sumbang. “Setelah semua yang aku alami? Setelah keluargamu tinggalin aku, setelah ibumu buang aku seperti sampah, sekarang kamu minta bukti?!”Tepat saat itulah Liza masuk ke ruang tamu, didampingi oleh Bu Rina. Langkahnya penuh percaya diri, suaranya tajam seperti pisau yang siap membelah s

  • Dibuang Suami, Dipinang CEO   Bab 115

    Malam itu terasa panjang, seperti enggan beranjak dari luka yang terbuka. Naira kembali ke kamar tamu di rumah Tari, meninggalkan Arga yang berdiri diam di ambang pintu, menatap punggung perempuan yang dulu begitu yakin ia cintai dan kini nyaris tak sanggup ia sentuh tanpa rasa bersalah.Sementara itu, Arga kembali ke mobilnya, melempar tubuhnya ke kursi dengan napas berat. Kepalanya bersandar pada kemudi, mata terpejam, menahan gejolak emosi yang semakin menyesakkan dada.Seluruh hidupnya terasa seperti reruntuhan pewarisan harta yang ia dapatkan kini tak berarti, karena wanita yang paling ia ingin bagi semuanya tengah menggantung di tepi jurang keputusan.Ia menginap di dalam mobil malam itu, di depan rumah Tari. Seolah hanya dengan berada dekat, ia bisa tetap memeluk harapan. Tapi pagi tidak membawa ketenangan. Pagi justru membawa kabar buruk.Ponselnya bergetar keras. Sebuah panggilan dari Liza.“Arga! Arumi menghilang! Dia kabur semalam. Dia ninggalin anaknya di rumah!”Darah Ar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status