Dan bodohnya dia karena begitu mudahnya percaya. Hari ini dia akan keluar dari rumah suaminya, dan digantikan oleh wanita lain. Wanita yang datang sebagai penghancur rumah tangganya.
Hanya dalam hitungan menit dia akan meninggalkan orang yang pernah dianggapnya sebagai pengganti ibunya dan meninggalkan orang yang pernah ia harapkan akan menemaninya sampai di usia senja nanti.Semua harapan yang pernah ia gantungkan pada rumah tangganya hancur tak berbekas. Yang ada kini hanya kesedihan dan air mata.Tapi ia tidak akan menunjukkan kesedihannya lagi. Ia akan menjadi wanita yang mampu berdiri tanpa penopang untuk kemudian hari setidaknya ia akan berusaha kuat sampai ia keluar dari neraka rumah tangganya dan untuk seterusnya.Ia harus menunjukkan kalau ia mampu untuk bahagia tanpa suami. Toh selama ini dia hanya dianggap beban rumah tangga oleh suami dan mertuanya.Dulu dia terpaksa harus berhenti dari pekerjaannya sebagai asisten desainer di sebuah butik milik sahabatnya. Itu ia lakukan demi merawat mertuanya yang sering sakit-sakitan.Semenjak itu dia tidak lagi dihargai sebagai menantu dan istri yang baik. Pengabdiannya justru dianggap sebagai kebodohan. Selama ini dia selalu mematuhi segala perintah suaminya, dia juga melayani mertuanya yang selalu menyakiti hatinya. Namun, apa yang dia dapat. Hanya kepedihan.Perselingkuhan Pazel benar-benar melukai perasaannya. Dia rela dihina oleh mertuanya, namun ia tidak akan pernah rela untuk dimadu.Dia menghentikan langkahnya setelah berada di depan Bu Rohana. Tapi dia enggan memperlihatkan wajahnya ke arah wanita yang akan menjadi mantan mertuanya itu. “Ada apalagi Bu? Aku bukan menantumu lagi, Ibu. Aku mohon izin untuk keluar dari rumah ini. Maaf jika selama ini aku ada salah dengan Ibu. Semoga Ibu bahagia bersama menantu baru Ibu.”Rohana tidak bisa membiarkan pembantu gratisnya pergi begitu saja. Dia terlihat seperti ketakutan. Seolah dia memang benar-benar tidak ingin berpisah dengan Silvia.“Tapi ke mana kamu akan pergi? Tetaplah di sini. Ibu tidak mau kehilangan menantu ibu. Maafkan kata-kata Ibu tadi, Nak. Ibu kan sudah tua. Ibu tirimu tidak akan menerimamu. Tapi kamu bisa menjadi kakak madu yang baik untuk Rima. Itu pun kalau Pazel masih mau menerima kamu!” Rohana melihat anaknya dengan setengah mengedip. Dia hanya pura-pura menyindir Pazel.Pazel paham dengan kode yang di berikan ibunya. Sepertinya ibunya meminta dia untuk tidak membiarkan Silvia pergi dari rumah ini. Keinginan ibunya adalah perintah baginya. Dia akan bahagia bila menuruti keinginan ibunya.Segera dia berjalan ke arah ibunya.“ Tentu saja aku mau mempertahankan rumah tanggaku lagi, Bu. Aku masih mencintai Silvia. Jika Ibu menginginkan agar aku tetap bersama dengannya aku sangat bahagia, Bu.”Kemudian Pazel mendekati Silvia. Dia memegang pundak Silvia dengan kedua tangannya dan berkata dengan penuh rasa percaya diri.“Silvia. Tetaplah di sini, kita akan mulai lembaran baru lagi. Kita akan mengulang pernikahan kita di hari yang sama dengan pernikahanku dengan Rima. Dan aku akan berusaha adil.”Pandangan mata Pazel begitu mengiba mengharapkan jawaban yang baik dari Silvia. Dia sama sekali tidak berpikir tentang apa yang dirasakan Silvia saat dia di bohongi, saat dia dikhianati, bahkan saat dia ditampar.Namun Silvia yang sudah sangat kecewa hanya diam dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia tidak punya kata-kata yang pas untuk dia ucapkan agar hatinya yang sakit bisa terobati. Tidak lama kemudian dia tertawa. Tawa yang mengandung amarah yang sangat besar.“Ha, ha, ha.”Suami dan mertuanya saling pandang karena heran melihat Silvia tertawa tanpa beban. Menurutnya Silvia mungkin sudah kehilangan akal sehat, karena dia bisa mengubah suasana hatinya dalam waktu yang singkat.Ada sedikit rasa kasihan di mata Pazel melihat istrinya tertawa. Mungkin otaknya sudah tidak sanggup menerima kenyataan pahit yang disebabkan olehnya. Ada sedikit rasa penyesalan di hatinya.Setelah tawanya berhenti. Dia pun menoleh ke arah wanita yang sudah menginjak kepala lima itu. Senyumnya di pasang semanis mungkin.Untuk menjawab rasa heran mantan suami dan mantan mertuanya, dia mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang tepat sasaran.“Kenapa, Bu? Apa kamu takut kehilangan pembantu gratis? Kalau kamu takut menantu, rasanya sangat mustahil.”Pazel merasa tidak percaya dengan pertanyaan kurang ajar Silvia terhadap ibu kandungnya. Dia berteriak di depan muka Silvia.“Silvia!”Sebelum Pazel bicara Silvia mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah Pazel.“Ok Bang, terima kasih atas tawarannya. Tapi aku sudah tidak berminat lagi untuk menjadi istrimu. Aku akan menjalani hidup tanpa dirimu. Aku ikhlas melepasmu untuk perempuan murahan seperti dia.”Telunjuk kirinya diarahkan ke sosok wanita yang sedang duduk manis di sofa. Dia melanjutkan kalimatnya, “Karena laki-laki tidak punya pendirian seperti kamu hanya pantas untuk perempuan murahan!”Rima tidak terima dikatai perempuan murahan. Akhirnya dia membalas perkataan Silvia. Dia berdiri dari duduknya. Telunjuk kanannya di arahkan ke muka Silvia.“ Hay kerempeng, dekil, Bang Pazel Cuma basa-basi sama kamu, karena perempuan yang tidak bisa mengurus suami dan mertua tidak ada gunanya dipertahankan! Apalagi tidak bisa menghasilkan keturunan.”Silvia hanya tersenyum dalam hati. Dia menjawab Rima dengan senyum miring.“Oya? Kalau begitu silakan kamu urus bekas suami dan bekas mertuaku. Semoga kamu betah ya? Selamat menikmati.”Silvia berlalu dengan senyuman mengambang. Semua beban dan unek-uneknya terasa hilang. Silvia segera menaiki kendaraan roda empat yang sudah dia pesan. Tempat yang akan ditujunya adalah rumah ibu tirinya.Begitu sampai di rumah ibu tirinya dia disambut dengan suka cita.“Mari masuk, Nak.” Wanita itu mengajak Silvia duduk di ruang tengah. Tidak lupa dia menyuguhkan secangkir teh hangat.“Sayang, kenapa kamu datang dengan membawa koper? Ada apa? Pernikahanmu dengan nak Pazel baik-baik saja kan?” Pertanyaan itu diutarakan ibu tirinya yang bernama Bu Iyes, saat mereka sedang duduk di ruang tamu.Rumahnya hanya mempunyai dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Ibu tirinya tinggal berdua dengan adik tirinya satu ayah lain ibu. Adik tirinya bernama Tiara, baru berumur lima belas tahun. Mereka hidup sangat sederhana. Ayah kandung Silvia pergi dari rumah semenjak adiknya berumur lima tahun.Semenjak ayahnya tidak pulang, dari sepuluh tahun yang lalu, dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Sampai setelah dia menikah, dia masih membiayai ibu dan adik tirinya dengan uang belanja bulanan yang dia terima dari Pazel.
“ Beby!” teriak Silvia dengan sangat girang. Seorang laki-laki bertubuh tegap, kulit putih, rambut diikat dengan rapi dengan pakaian yang rapi pula berdiri di depan pintu. Dia adalah sahabat lama Silvia. “Gue juga mau ikutan dong,” ucap Boby yang dipanggil Beby oleh Silvia. Dulu dia lelaki yang gemuk, tetapi sekarang tubuhnya sangat ideal. Dia berlari menghampiri Silvia dan keluarganya. Mereka kembali berpelukan. Silvia tidak bisa menahan haru saat bertemu dengan sahabatnya ini. Begitu juga dengan Boby. “Bagaimana kabar lu Sil, senang bangat gue ketemu Elu,” ucapnya setelah melepas pelukan dan duduk bersebelahan dengan Silvia. “Kabar gue baik, lu sendiri bagaimana kabarnya sekarang? Bukannya lu di luar negeri, kenapa tiba-tiba ada di sini?”“Tiba-tiba gua kangen sama lu, Sil.”“Masa sih? Gue juga kangen Ama lu Beb.”“Makanya gua pulang ke Indonesia. Mungkin gua akan lama di Indonesia. Gua mau mela
Pazel benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan wanita yang sudah menemaninya selama dua tahun belakangan. Dan kenapa juga dia bisa lupa kalau dia sudah menalak wanita itu. Dia benar-benar merasa dipermalukan oleh emosinya sendiri. “Ya, kami mau beli baju pengantin, kami senang sekali karena kamu mau membantu kami memilihkan model yang akan kami pakai,” ucap wanita itu yang kembali merangkul lengan Pazel.Boby menyela pembicaraan mereka.“Sil, kakimu masih sakit. Lebih baik kamu duduk saja, ya? Biar aku yang layani mereka.”“Tidak apa-apa kok, Beb. Kakiku hanya luka sedikit. Biar aku yang melayani mereka. Tenang saja, aku gak apa-apa, kok.” Seketika mata Pazel membulat saat mendengar panggilan beb dari mulut Silvia kepada laki-laki yang ada di depannya. Dia berpikir kalau Silvia sudah berselingkuh di belakang dirinya, sama seperti yang dia lakukan di belakang Silvia. Di tatapnya laki-laki yang agak berisi ya
Ternyata Dokter Dana sudah ada di sampingnya. Dia sungguh tidak menyangka akan bertemu dengan Dokter Dana di ruang antrean.“Dokter? Dokter ada di sini?” tanya Silvia heran.“Iya, ayo ikut ke ruangan saya,” ajak Dokter Dana sambil berdiri bersiap untuk melangkah meninggalkan ruang tunggu rumah sakit itu.Silvia merasa tidak enak hati untuk menolak, tapi dia sudah mengambil nomor antrean. Jadi dia menolak secara halus.“Terima kasih, Dok. Saya sudah dapat nomor antrean. Sekarang tunggu dipanggil saja, kok.““Ga usah, ikut saya saja,” ajak Dokter Dana agak memaksa. Karena sebetulnya, dia sengaja datang ke rumah sakit, hanya untuk menunggu Silvia. Dia sangat senang saat melihat kedatangan Silvia ke rumah sakit itu.Tadinya dia sudah bersiap untuk pulang karena dia merasa Silvia tidak akan datang ke rumah sakit itu. Tapi begitu dia melihat wanita pujaannya turun dari angkutan umum, dia mengurungkan niatnya untuk pe
Dokter Dana melihat Silvia yang bengong, segera menghampirinya.Dokter bertanya: “Ada apa, Silvia? Kenapa bengong lagi? Ayamku tadi pagi mati gara-gara semalaman dia bengong kayak kamu.”“Tidak ada apa-apa Dok. Dokter ini ada-ada saja, masa aku disamakan sama ayam. Tapi kayaknya kita diawasi , Dok.”Seketika tawa Dokter Dana pecah. Tawa yang sudah lama tidak pernah ada dalam hidupnya.“Ha-ha-ha. Ada-ada saja kamu ini. Emang ada ya, orang kurang kerjaan seprerti itu? Atau bisa jadi juga sih suamimu yang mengawasi kita.”“Bisa jadi juga, Dok. Sebab dia curiga aku juga selingkuh seperti dia.”“Maksudnya selingkuh denganku?” Dokter Dana menunjuk dirinya sendiri.Silvia terdiam. Dokter Dana berusaha memecah keheningan dengan bertanya. Karena dia khawatir Silvia akan salah paham dengannya.“Tapi kamu tidak selingkuh kan?”“Apa aku terlihat seperti tukang selingkuh, Dok?” kedua alisnya bertau
Semenjak setahun belakangan, ia sering mengabaikan istrinya. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Rima.Badannya yang semakin kurus menambah rasa bosan dihati Pazel.Pazel yang sedang melamun dikagetkan oleh teriakan ibunya.“Aaaaaah, aduh, sakit.”Seketika Pazel berlari ke arah sumber suara. Sumber suara itu datang dari kamar ibunya. Diketoknya kamar ibunya.“Tok, tok, tok, ada apa, Bu? Buka pintunya.”Karena tidak ada sahutan Pazel berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar yang di tempati ibunya. Dia mengarahkan pandangan ke seluruh sudut kamar, tak dilihatnya ibunya. Lalu terdengar suara rintihan kesakitan dari arah kamar mandi. Segera Pazel berlari ke sana. Ternyata ibunya sedang meringis kesakitan karena terpeleset. Pazel segera memapah ibunya yang masih mengenakan handuk itu.“Ibu. Kenapa ibu bisa jatuh? Ibu harus hati-hati kalau jalan.” Dia mengangkat ibunya ke tempat tidur.“Kaki ibu sakit banget Zel.
Di depan pintu berdiri seorang pria yang terlihat masih segar meski sudah berumur sekitar kurang lebih lima puluh tahun dengan didampingi dua orang pengawal pribadinya.“B_Bos. Mari, Bos. Silakan masuk. Maaf Bos. Saya tidak tahu kalau Bos akan kesini.”Pazel benar-benar merasa malu dengan kondisi rumahnya yang berantakan. Dia tidak tahu bos besarnya akan datang ke rumahnya.“Kalau begitu saya minta maaf karena tidak memberitahu sebelum kedatangan saya.”“Tidak, Bos. Maksud saya bukan seperti itu,” ucap Pazel.Dia menjadi salah tingkah karena dia takut menyinggung perasaan Bos besarnya. Badannya agak gemetar dan dingin.Orang yang dipanggil Bos berjalan ke ruang tamu diikuti oleh dua orang pengawalnya.Pazel mempersilakan mereka untuk duduk. Namun yang duduk hanya satu orang, yaitu orang yang dipanggil Bos oleh Pazel. Sedangkan yang dua orang berdiri di sebelah kiri dan kanan orang itu.“Saya akan
Sekitar jam tujuh malam, Bu Iyes, Silvia dan Tiara sudah bersiap-siap untuk pergi menemui orang yang telah menjadi penyelamat kepala keluarga mereka itu.Mereka dijemput oleh mobil keluaran terbaru. Bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, saat mereka bertemu lagi dengan orang yang mereka sayangi dalam keadaan sehat dan bonusnya menjadi seorang konglomerat. Bahkan mereka tidak pernah membayangkan akan bisa menaiki sebuah mobil yang sangat mahal ini.Yang biasanya mereka berdesak-desakan naik angkot sekarang naik mobil mewah. Aroma harum di dalam mobil itu dihirup secara perlahan oleh ketiga orang yang baru menaiki mobil itu.“Kita berangkat sekarang ya,” ucap pak Herman yang masuk paling akhir.Ketiga wanita itu tersenyum sambil mengangguk. Sopir pribadi pak Herman mulai menyalakan mesin dan memulai laju kendaraan dengan perlahan, karena mereka masih berada di area padat penduduk. Setelah sampai di jalan lintas kendaraan itu baru berj