Share

Bab 2

"Akhirnya kamu bangun juga. Bagaimana, apa kamu merasa tubuhmu ada yang sakit?"

Adelia membuka mata. Mengerjap berkali-kali kala melihat di hadapannya bukan lagi preman bengis tadi, melainkan pria berambut putih namun memiliki wajah awet muda.

"Tidak ada, Pak." Adelia menggelengkan. "Anda sendiri? Apa preman tadi mencelakai Anda?"

Adelia beranjak dari berbaring, namun Tuan Wirawan mencegahnya.

"Tiduran saja, saya tidak apa-apa."

Tuan Wirawan sangat mengkhawatirkan keadaan Adelia, yang sudah menolongnya. Andai tidak ada Adelia, mungkin Tuan Wirawan sudah kehilangan dokumen penting perusahaannya.

Tapi, sejenak Adelia teringat akan lengannya yang tadi sempat terluka. Takut luka itu akan parah karena terkena pisau, Adelia buru-buru melihatnya.

"Luka kamu tidak apa-apa. Dokter sudah membantu memberikan obat luka tadi. Katanya hanya tergores sedikit."

Adelia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Ia baru saja tersadar, sikapnya tadi sangat berlebihan. Bahkan sampai pingsan.

"Siapa nama kamu?"

Tuan Wirawan mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Adelia.

"Adelia."

Tak nyaman dengan perlakuan pria ini, Adelia menarik tangannya, menyimpannya ke balik punggung.

"Panggil Om saja. Oh iya Adelia, Terima kasih sudah menolong saya tadi. Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau malam ini Adelia ikut dengan Om. Kita makan malam?"

'Makan malam?' Adelia membatin dalam hati. Perasaannya menjadi tak enak, takut pria di hadapannya ini memiliki niat yang lain.

"Kamu tenang saja, nanti ada asisten saya yang akan mengantarkan kamu kok," ucap Tuan Wirawan, seolah memahami kegelisahan Adelia.

"Yuna!" seru Tuan Wirawan, memanggil wanita berkacamata yang sedari tadi berdiri di depan pintu ruang IGD.

Tuan Wirawan yang menelepon asisten pribadinya itu

"Saya, Tuan!" sahut Yuna, bergegas menghampiri Tuan Wirawan.

"Kamu bantu Adelia ya. Bawa dia ke tempat biasa, dan pastikan semuanya sempurna. Kamu paham maksud saya kan?"

Yuna menganggukkan kepalanya. "Paham, Tuan."

'Ke tempat biasa? Astaga, mau dibawa kemana aku? Siapa Om ini sebenarnya?' Adelia benar-benar gelisah. Semua pertanyaan itu berkumpul dan berputar-putar di kepalanya.

Sesuai dengan perintah Tuan Wirawan, Yuna membawa Adelia ke sebuah butik, yang menjadi langganan keluarga Tuan Wirawan. Yuna juga sudah memilihkan gaun merah panjang yang sangat cantik untuk dipakai Adelia malam nanti.

"Beruntung sekali kamu, bisa menjadi kandidat selanjutnya. Padahal ...." Yuna melirik, memandang sinis penampilan Adelia dari ujung kaki sampai kepala.

"Wanita seperti kamu ini, di pasar juga banyak. Hah, sudah rabun pasti Tuan Wirawan." Yuna meneruskan ucapannya.

Tak senang mendengar apa yang Yuna katakan, Adelia mengerutkan keningnya. "Apa maksud kamu?"

Enggan menjawab rasa penasaran Adelia, Yuna memalingkan pandangannya, melemparkan paper bag putih yang ada di tangannya itu ke atas ranjang.

"Pakai itu. Tuan Wirawan menunggumu di mobil," ucapnya berbalik badan, hendak pergi. Namun, sampai di depan pintu, Yuna berbalik lagi. "Oh iya, jangan lama-lama. Dasar, kampungan!"

Entah ada masalah apa Yuna dengan Adelia, sampai wanita itu begitu sinis dan membenci Adelia. Padahal, bertemu pun baru sekali ini.

Setelah pintu kembali tertutup, Adelia bergegas mengganti bajunya. Adelia bahkan dibuat tertegun, melihat dirinya sendiri di cermin.

Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun Adelia memakai baju dengan label harga di atas 300 ribu, tapi ini, Adelia harus mengenakan gaun cantik seharga 10 juta.

Masih tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya, Adelia hanya memandangi label harga itu, sembari memikirkan apa maksud dari perkataan Yuna. Apakah mungkin Adelia akan dijadikan istri kedua oleh Tuan Wirawan, atau malah menjadi istri ketiga.

"Nggak! Aku nggak mau!" Adelia menggelengkan kepalanya cepat. Jangankan menjadi istri kedua, menjadi istri pertama Tuan Wirawan saja enggan.

"Aku nggak boleh ada di sini, aku harus kabur sekarang!"

Klek!

Pintu ruang ganti terbuka, membuat Adelia terkejut, menoleh cepat ke arah sana.

"Cantik sekali."

Mengingat keberanian Adelia tadi saat menolongnya, Tuan Wirawan yakin, pilihannya sudah tepat. Wanita seperti Adelia pasti berhati tulus, dan tidak mengejar duniawi. Sangat cocok untuk Reno -- putra semata wayangnya.

Tuan Wirawan melangkah masuk, mengulurkan tangannya. Meraih jemari Adelia. "Ayo Adelia, kita berangkat sekarang. Reno sudah menunggu kita."

"Reno? Siapa Reno, Om?" tanya Adelia. Semakin dibuat bingung.

"Nanti kamu juga tahu!"

*****

"Tuan Reno, Tuan Besar sedang menuju kemari. Saya permisi dulu, Tuan," ucap Yuna, memberitahu.

Wanita itu langsung beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkan meja restoran bintang lima yang sudah direservasi sebelumnya.

Reno, menghela nafas kasar, menoleh ke arah sang ayah yang baru saja tiba bersama seorang wanita.

Namun, karena sudah memegang prinsip hidupnya, Reno memalingkan pandangannya segera, kembali fokus pada secangkir kopi di atas meja.

Mau secantik apapun wanita yang Tuan Wirawan bawa ke hadapan Reno, Reno tetap tidak akan jatuh cinta, apalagi sampai menikah.

"Coba tebak, siapa gadis cantik di samping Papa ini?" ucap Tuan Wirawan, menoleh ke arah Adelia.

“Namanya Adelia. Dia baik, dan Papa rasa sangat cocok untuk menjadi istri kamu.” Tuan Wirawan merangkul Adelia, memperkenalkan Adelia pada Reno.

”Mau sampai ratusan wanita pun, aku tetap tidak akan menikah, Pa!” ucap Reno, tanpa memandang Adelia sedikitpun.

Jangankan memandang, dari gerak-geriknya, Reno bahkan tidak sudi menganggap Adelia ada di depannya.

“Reno! Kamu ini satu-satunya anak Papa. Jika kamu tidak menikah, siapa yang akan mewarisi keluarga ini nanti?!” ucap Tuan Wirawan, menatap anak tunggalnya itu dengan tajam.

Sudah puluhan wanita Tuan Wirawan bawa untuk dijodohkan dengan putra satu-satunya itu, tapi tak ada satupun yang berhasil meluluhkan hati Reno.

”Wanita ini akan bernasib sama dengan wanita-wanita lain yang telah Papa bawa!”

“Reno jaga bicara kamu! Ini semua juga demi kebaikan kamu! Papa tidak mau tahu, kamu harus menikah dengan Adelia!” tegas Tuan Wirawan, tidak menerima penolakan.

Enggan peduli dengan ucapan sang ayah, Reno hanya mendengus kesal. Sifat ayahnya yang keras kepala, benar-benar membuat Reno muak.

“Sekarang Papa minta kamu berdiri, dan sapa Adelia!” sentak Tuan Wirawan, menahan malu atas perangai anak tunggalnya.

Mengikuti apa yang ayahnya katakan, Reno beranjak dari tempat duduknya. Tapi Reno malah merogoh saku jas, mengambil semua uang dari dalam dompetnya.

“Uang kan?! Itu kan yang wanita ini inginkan?” sindir Reno, sengaja melemparkan uang yang diambil tadi ke wajah Adelia.

“Reno! Apa yang kamu lakukan!” sentak Tuan Wirawan.

Kelakuan anak semata wayangnya ini, benar-benar memalukan.

Tapi meski sang ayah murka, Reno tetap tak menjawab ayahnya, matanya kali ini memandang Adelia dengan jijik.

“Cepat minta maaf, Reno!”

Reno menyeringai, melirik sang ayah. "Itu kan yang memang dia mau, Pa?" sindir Reno. Lalu pergi begitu saja, tanpa rasa bersalah.

Sontak mata Adelia langsung membulat. Bisa-bisanya Reno merendahkannya seperti ini. Padahal Reno sama sekali belum mengenal siapa dirinya.

"Tunggu!" seru Adelia. Berbalik badan memandang punggung Reno yang berhenti bergerak.

“Tuan, maaf jika saya lancang. Tapi sebaiknya Anda lebih menghormati ayah Anda sendiri,” ucap Adelia.

Reno berbalik, melotot.

Seumur hidupnya, tidak pernah ada yang berani berbicara padanya seperti itu selain ayahnya sendiri.

Belum sempat Reno berucap, Adelia mengambil uang yang barusan Reno lemparkan padanya. Lalu ia lemparkan kembali ke arah pria arogan itu.

“Tapi, maaf. Saya tidak butuh uang Anda!” ucap Adelia, yang langsung berbalik pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status