Share

Bab 3

“Puas kamu, Reno? Apa sih yang kamu cari sebenarnya, sampai kamu menolak wanita sebaik Adelia. Dia itu sampai rela mengorbankan nyawanya cuma buat menyelamatkan Papa!”

Meski puas melihat Adelia membalas Reno, tapi tetap saja, Tuan Wirawan kecewa dengan sikap Reno yang terlalu arogan di hadapan Adelia.

Padahal menurut Tuan Wirawan, Adelia adalah calon istri yang sangat cocok, untuk mengimbangi sikap keras kepala dan egois Reno. Tuan Wirawan meyakini itu, sebab beliau melihat ada kelembutan dan kasih sayang di dalam diri Adelia.

“Apa maksud, Papa?” tanya Reno. Tidak biasanya, ayahnya memuji wanita sampai berlebihan seperti sekarang ini.

“Tadi siang Papa hampir saja dirampok, dan kamu tahu siapa yang menyelamatkan Papa … Adelia, Reno!”

Reno memalingkan pandangannya dari sang Papa. Meski terkesan dengan apa yang Adelia lakukan, tapi itu tidak merubah sedikitpun pendirian Reno.

“Bagi Reno, semua wanita di dunia itu sama. Hanya mementingkan kesenangan, dan materi saja. Mau itu Mama, atau Adelia sekalipun. Jadi, Reno harap, Papa berhenti meminta Reno untuk menikahi wanita manapun lagi, termasuk itu Adelia, ucap Reno, memilih untuk pergi dari sana.

“Jadi ini tentang Mama kamu? Tidak semua wanita seperti Mama kamu, Reno! Adelia berbeda!” seru Tuan Wirawan.

Terusik dengan ucapan sang ayah, Reno menghentikan langkahnya. Namun, hanya beberapa detik berlalu, Reno kembali melangkah, meninggalkan sang ayah.

Mungkin memang benar apa yang Tuan Wirawan katakan, kalau tidak semua wanita memiliki sifat yang sama dengan mantan istrinya. Matrealistis, dan mengutamakan kesenangan semata, dibandingkan mengurus rumah tangga.

Tapi bagi Reno, pengalaman hidup yang ia alami sudah membutakan hatinya, untuk tidak melihat seorang wanita dari sisi baiknya. Hati Reno terlalu terluka, dengan penghianatan yang dulu pernah dilakukan oleh sang ibu, juga mantan kekasihnya.

*****

Satu minggu kemudian, setelah pertemuan Adelia yang menyebalkan dengan Reno.

"Adel, bangun kamu!"

Suara melengking membangunkan Adelia dari tidurnya.

Adelia mengusap mata dan langsung terkejut, kala melihat sang ibu sudah berkacak pinggang di samping ranjangnya.

"Ibu ...." Adelia terduduk dengan pandangan menunduk.

"Jam berapa sekarang, kenapa baru bangun?! Cepat mandi, dandan yang cantik, terus kamu cari kerja. Kamu pikir dengan kamu tidur perut Ibu bisa kenyang apa!”

Melihat anak perempuannya bermalas-malasan di atas tempat tidur, membuat Ibu Mirna sangat marah. Bahkan rasanya Ibu Mirna ingin sekali menyeret Adelia agar cepat-cepat turun dari ranjang.

“Sudah tahu jadi janda, bukannya usaha apa kek biar menghasilkan uang, ini malah enak-enakan tidur. Cepat sana! Astaga, susah banget sih dibilangin kamu!”

Adelia menghela nafasnya, tubuhnya beringsut, turun dari ranjang.

“Iya, Bu," sahutnya sembari melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul lima pagi.

Meski masih mengantuk, Adelia tetap masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya, untuk memulai hari yang baru.

Dua jam kemudian di meja makan.

“Ah, mana uang sudah menipis, punya anak perempuan satu malah nyusahin. Udah enak-enak nikah sama orang kaya, ini malah cerai gara-gara mandul. Lagian jadi perempuan kok nggak pintar jaga diri, bisa sampai mandul begitu.” Ibu Mirna menggerutu, sembari menghitung uang di dalam dompetnya yang hanya tinggal pecahan 20 ribu satu lembar dan 10 ribuan enam lembar.

“Heh, Adel, cepat sini!” Ibu Mirna melambaikan tangannya ke arah Adelia yang baru saja keluar dari kamar.

“Ada apa, Bu?” tanya Adelia, yang kemudian duduk di kursi, samping ibunya.

“Hari ini, kamu tunda dulu cari kerjanya. Mending kamu ke rumah Farhan, kamu minta tuh harta gono-gini. Masa iya cerai kok nggak dapat apa-apa,” ucap Ibu Mirna, melirihkan suaranya, sedang merayu.

Tidak mungkin merendahkan harga dirinya di depan Farhan, Adelia menolak dengan tegas, kemauan ibunya itu.

“Buat apa sih, Bu. Adel kan bisa cari kerja. Lagian Mas Farhan itu setiap hari mengeluh karena Ibu selalu saja minta uang belanja dari Mas Farhan. Malu lah Bu, kalau masih bicara harta gono-gini. Adel lebih baik hidup sederhana daripada harus mengemis uang dari Mas Farhan.”

“Enak saja kamu!”

Ibu Mirna beranjak dari duduknya, langsung berkacak pinggang. “Bicara seenak udelmu! Kamu pikir biaya sekolah kamu, nasi yang kamu makan setiap hari itu uang dari mana?! Harusnya jadi anak, kamu balas budi dong! Bukannya malah sok-sokan nggak butuh uang!”

Adelia menghela nafasnya kasar. Mendengar semua ucapan sang ibu, membuat kepala Adelia terasa mau pecah. Adelia tidak mengerti, kenapa ibunya sangat perhitungan. Sampai biaya sekolah dan makan setiap harinya harus diungkit.

“Bukan nggak butuh uang, Bu. Tapi Adel cuma –”

“Udah-udah! Kamu ini memang sama aja kaya Bapakmu. Suka banget hidup susah. Heran, miskin kok dijadikan hobi!” Ibu Mirna menggerutu, meninggalkan meja makan.

"Permisi!"

Suara di luar rumah menghentikan sejenak langkah kaki Ibu Mirna. Wanita paruh baya itu menoleh ke pintu rumahnya lalu berganti menoleh ke arah Adelia, yang beranjak dari duduknya.

“Mau ke mana kamu?” tanya Ibu Mirna, ketus.

“Buka pintu, Bu. Kan ada tamu,” jawab Adelia.

“Nggak usah! Mending kamu siap-siap sana, habis ini kita ke rumah Farhan, Ibu yang bicara sama Farhan nanti.

“Tapi, Bu –”

“Nurut sama orang tua! Mau kamu jadi anak durhaka, bisanya cuma nyusahin,” gerutu Ibu Mirna, mengiringi langkahnya menuju ke pintu rumah. "Lagian ini orang nggak sopan banget, pagi-pagi udah datang bertamu."

Rasa-rasanya, ingin sekali Adelia membantah ucapan ibunya. Tapi Adelia takut berdosa dan dikatai sebagai anak durhaka.

Klek!

Mata Ibu Mirna langsung membulat, melihat pria berambut putih berpenampilan sangat rapi datang ke rumahnya. Wajahnya cukup tampan meski sudah tua, pakaiannya juga rapi, persis seperti orang kaya. Siapa lagi beliau, kalau bukan Tuan Wirawan.

Alih-alih bertanya, ada keperluan apa pria itu datang bertamu, Ibu Mirna malah berteriak, memanggil Adelia.

"Adel, sini kamu!" teriak Ibu Mirna, sedikitpun tidak memalingkan pandangannya dari Tuan Wirawan.

"Iya, Bu, sebentar!”

Mendengar suara Adelia dari dalam rumah yang didatangi, Tuan Wirawan tersenyum, tak salah mempekerjakan Yuna, yang sangat pandai mencari informasi tentang Adelia.

"Astaga, kenapa lama banget sih. Adel, cepetan!"

Tanpa berkata apapun, pada Tuan Wirawan, Ibu Mirna kembali masuk, berjalan cepat, menuju ke meja makan. Tak menemukan Adelia di sana, Ibu Mirna langsung ke dapur.

Sementara itu di luar rumah. Yuna baru saja turun dari mobil. Wanita itu memasukkan ponsel yang baru saja digunakan, bergegas menghampiri Tuan Wirawan.

"Tuan Besar, apa Tuan tidak salah menjodohkan Tuan Reno dengan Adelia? Dia kan miskin, Tuan. Berbeda dengan wanita yang biasa Tuan pilih," ucap Yuna bertanya.

Meski lancang, tapi Tuan Wirawan sedikitpun tidak marah dengan perkataan Yuna. Tuan Wirawan malah tersenyum, dengan santai menjelaskan alasannya, memilih Adelia.

"Em, kamu memang benar Yuna. Adelia ini memang berbeda. Dia spesial."

Tuan Wirawan menoleh ke arah Yuna yang berdiri di sampingnya. "Satu hal yang harus kamu tahu, Yuna. Feeling orang tua, tidak pernah salah."

Mendengar perkatan Tuan Wirawan, Yuna langsung memalingkan pandangannya, enggan berkomentar.

"Adelia!"

Wajah Tuan Wirawan seketika berseri, kala melihat calon menantu Idamannya muncul di hadapan. Tak bisa membendung perasaan senangnya, Tuan Wirawan, memeluk Adelia.

'Ya Tuhan, apa ini?' Adelia membatin di dalam hati. Matanya terasa perih, seperti mau menangis.

Seperti inikah rasanya pelukan seorang ayah, hangat, dan begitu menenangkan.

"Maaf Om memeluk kamu. Om, nggak nyangka bisa bertemu lagi sama kamu."

Tak tahu harus apa, Adelia hanya terdiam. Tapi dalam hatinya meronta, merasa haus akan pelukan yang mengingatkan Adelia akan almarhum sang ayah.

Ayah Adelia meninggal lima tahun lalu. Meskipun meninggalkan hutang puluhan juta, tapi ayah Adelia memberikan kenangan yang sangat berarti di dalam hidup Adelia. Dari sang ayah lah, Adelia belajar berdiri di atas kakinya sendiri. Dari sang ayah juga, Adelia belajar apa itu kuat. Mungkin, jika tidak pernah ada sosok sang ayah, Adelia sudah terpuruk karena hatinya pun sudah hancur oleh perlakuan ibu dan mantan suaminya.

Itulah, mengapa Adelia begitu kesal ketika Reno membentak ayahnya sendiri di depan mukanya. Walaupun Adelia baru saja bertemu Tuan Wirawan, tapi melihat orang tua sepertinya dibentak anaknya sendiri, membuat Adelia sangat kesal.

"Yuna, bisa kamu temani Adelia sebentar, saya harus bicara dengan Ibu Mirna."

"Baik, Tuan." Yuna mengangguk, melirik ke arah Adelia.

Meski tak begitu senang bersama Yuna, Adelia keluar, hanya untuk menghargai Tuan Wirawan.

Duduk di kursi kayu ruang tamu, Tuan Wirawan meletakkan teh hangat yang baru saja beliau minum.

"Saya datang ke sini ingin meminta Adelia untuk menjadi menantu saya, Bu," ucap Tuan Wirawan tidak ingin memperlama waktu.

"Menantu?" Kening Ibu Mirna mengkerut, pandangannya tertuju pada jam tangan mewah yang dikenakan Tuan Wirawan.

Mendengar itu, kening Ibu Mirna mengkerut. Apalagi ia melihat penampilan mewah orang yang ada di depannya ini. Bagaimana bisa tiba-tiba meminta anaknya menjadi menantu. Bukankah itu seperti mendapatkan durian runtuh.

"Ibu tenang saja. Setelah Adelia menikah dengan anak saya, Ibu Mirna bisa langsung pindah ke rumah baru. Ibu Mirna bebas, memilih rumah seperti apa yang Ibu Mirna mau."

"Ru-rumah?"

Rona wajah Ibu Mirna langsung cerah, kepalanya mengangguk cepat. Bahkan tanpa berpikir sedikitpun, seperti apa nasib Adelia kedepannya nanti.

"Jadi, Ibu setuju Adelia menikah dengan anak saya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status