"Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren masih dengan tatapan serius ke arah Jihan yang sibuk bercengkrama bersama Bella.
Bude Nisa yang ikut terkejut melirik ke arah Darren. "Namanya Jihan, dia bukan pengasuh tapi anak tiri dari kakakku, Pak."Netra Darren menatap Bude Nisa tajam. "Apa yang kau lakukan? Bukan pengasuh tapi membiarkannya mendekati Bella.""Tapi Pak Darren. Selama ini, tak ada pengasuh mana pun yang berhasil dekat dengan Bella, kan?"Darren membisu begitu mendengar pertanyaan dari pemilik Daycare ini. Bella juga tak pernah bicara karena trauma masa lalu, bahkan terhadap Darren pun tidak. Tapi ... di hadapan wanita bernama Jihan itu, sang anak begitu mudahnya bicara."Apakah Anda masih mencari orang untuk merawat Bella, Pak?" tanya Bude Nisa membuat Darren menyipitkan mata."Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?"Bude Nisa tersenyum. "Aku rasa hanya Jihan orangnya, yang bisa membuat Bella perlahan terbuka dan mau bicara kembali. Tidakkah Pak Darren ingin membawa Jihan?""Membawanya?" tanya Darren tersenyum sinis, "aku tidak asal membawa wanita ke rumah."Hal itu membuat Bude Nisa terdiam. Wanita itu telah lupa siapa sosok pria ini, Darren Gerald. Pengusaha kaya yang istrinya meninggal sewaktu melahirkan Bella. Jadi, untuk membawa serta percaya pada wanita suatu hal yang mustahil. Apalagi, terakhir kali wanita yang dibawa justru main tangan pada Bella."Apa dia sudah bersuami?" tanya Darren tiba-tiba membuat Bude Nisa terkejut, sebab Darren terlihat ingin tahu mengenai Jihan."Jihan pernah menikah, tapi ditalak dan diceraikan setelah anaknya meninggal," sahut Bude Nisa begitu antusias.Darren menyeringai. "Oh anaknya meninggal? Bagaimana mungkin aku mempercayakan anakku pada wanita tak becus seperti itu."Bude Nisa terkejut karena ucapan itu justru membuat Darren salah paham. "Tidak Pak. Bukan seperti itu, anaknya meninggal karena Jihan bertemu suami brengsek yang tidak memberinya nafkah.""Tidak perlu, masih banyak pengasuh yang bisa merawat Bella," tolak Darren.Bude Nisa yang panik mendengar Darren menolak Jihan, memutuskan untuk memanggil, "Jihan! Nak ke mari sebentar."Darren menatap kesal ke arah pemilik Daycare ini, sudah jelas Darren menolak tapi Bude Nisa masih saja bersikeras. Bahkan sampai memanggil. Jihan sendiri langsung mendekat ke luar gedung, tapi satu hal yang membuat mata Darren terbebalak."Bella mengikutinya," gumam Darren menatap tak percaya pada sang anak yang berjalan di belakang Jihan.***"Ikut dengan pria itu ke rumahnya?" tanya Jihan sedikit kaget atas permintaan Bude-nya."Iya Jihan. Dia ayah dari Bella, namanya pak Darren. Dia ingin membawamu ke rumahnya dan mempekerjakanmu sebagai pembantu, Jihan."Jihan terdiam, matanya turun dan menatap pada Bella yang saat ini tengah memeluk kakinya. Sementara ayah dari Bella, Darren Gerald di dalam mobil sibuk menatap tajam ke arah Jihan yang berhasil membuat Bella enggan untuk ikut dan pulang."Jihan. Bude tahu, kau sedikit keberatan ikut ke Jakarta, sebab kau takut bertemu lagi dengan mantan suamimu itu kan? Ini kesempatanmu untuk semakin menjauh dari Abian."Ya, tebakan Bude-nya sangatlah benar. Jihan sangat tidak ingin bertemu dengan Abian lagi. Rasa sakit yang sudah mendarah daging itu membuatnya muak, apalagi pada Yuna. Kakak tirinya sendiri yang sekarang mungkin sedang menguasai ranjang milik Jihan di rumah Abian."Kau juga baru kehilangan anakmu. Kau butuh hiburan Jihan. Tidak ada salahnya kau merawat Bella kan?" Bude Nisa terlihat membujuk Jihan mati-matian."Hanya jadi pembantu saja kan, Bude?" tanya Jihan memastikan.Bude Nisa tersenyum lebar. "Iya Jihan, benar. Pak Darren butuh pengasuh untuk anaknya."Kepala Jihan mengangguk. "Baiklah Bude. Aku akan mencobanya."Setelah memberikan keputusan bersedia menjadi pengasuh untuk Bella. Jihan berada di mobil dengan tangan memangku Bella yang tertidur, sedang Darren sibuk menyetir untuk membawanya ke rumah pria ini. Mata Darren melirik sebentar ke arah Jihan."Namamu Jihan?" tanya Darren membuat Jihan menoleh dan mengangguk."Benar Pak."Jihan mengira kalau Darren akan kembali bertanya, ternyata tidak. Pria dengan raut wajah datar dan dingin ini langsung terdiam setelah memastikan namanya. Jihan sendiri memilih ikut diam, sebab canggung rasanya jika bicara lebih dulu pada majikannya ini.Sekitar 20 menit lamanya. Jihan memasuki sebuah mansion berlantai dua, gedung dan desainnya sangatlah mewah. Sempat terpanah oleh kekayaan Darren, sampai membuat Jihan berhenti melangkah."Mau jadi pajangan?" sindir Darren.Jihan hanya tersenyum dan berjalan cepat mengikuti Darren, tangan pria itu menggendong Bella yang masih tertidur. Semakin masuk, Jihan menutup mulutnya. Rumah ini lebih pantas disebut istana menurutnya.Satu hal yang membuat Jihan baru saja merasa heran. Sekitar sepuluh pembantu berkeliaran membersihkan rumah. Jika ada sebanyak itu, harusnya salah satu dari mereka bisa dijadikan pengasuh untuk Bella. Lantas, kenapa Darren justru memperkerjakan dirinya?"Tolong bawa Bella ke kamarnya," titah Darren.Jihan selaku pengasuh Bella mulai hari itu, bergegas mendekat dan sudah mengulurkan tangan. Siap menerima tubuh Bella yang kecil dan ringan ini. Tapi, ada pembantu yang terburu mendekat dan menggendong Bella naik ke lantai atas. Bukankah itu pekerjaannya? Darren melirik tangannya yang masih belum diturunkan."Kau ikut denganku ke ruang kerja," titah Darren membuat Jihan menatap bingung."Pak, aku rasa ... bisa mendapat arahan di sini dan bisa langsung bekerja, kan?"Darren menatap serius. "Ke ruang kerja sekarang dan bahas masalah kontrak pernikahan kita.""Kontrak--pernikahan ...," gumam Jihan dengan mata melotot terkejut."Hm," sahut Darren singkat."Tapi Pak, aku datang ke sini untuk jadi pembantu," tutur Jihan berusaha menjelaskan.Darren menyilangkan tangan. "Aku membawamu ke sini untuk jadi ibu pengganti Bella.""Menjadi ibu pengganti Bella? Tapi Pak, aku ke sini bekerja untuk jadi pembantu," Jihan bersikukuh pada pendiriannya.Darren menyeringai. "Siapa yang mengatakannya? Kalau aku butuh pembantu.""Bude-ku, pemilik Daycare," sahut Jihan.Kepala Darren nampak mengangguk mengerti. Tapi mulut tak juga bicara kembali, hingga membuat Jihan merasa sangat membutuhkan keputusan. Mata Darren memperhatikan Jihan cukup serius."Sebutkan saja berapa nominal uang yang kau inginkan. Jangankan rupiah, dollar juga aku bersedia membayarmu," ujar Darren masih berusaha membujuk Jihan."Sepertinya Pak Darren salah paham--""Salah paham dari mana? Jelas-jelas kau setuju aku bawa untuk jadi ibu Bella," potong Darren.Jihan menarik napas cukup panjang. Sepertinya ia butuh tenaga lebih untuk berdebat dengan pria yang Jihan kira bakal jadi majikannya, rupanya justru ingin menjadikan dirinya sebagai istri. "Kata Bude--""Aku tidak peduli. Kau hanya harus tahu satu hal, aku tidak sembarangan membawa wanita ke rumah.
"Hanya dengan status istri dariku, harusnya cukup bagimu untuk pamer pada mereka," tutur Darren lagi.Meski Jihan berpikir tak akan sudi untuk bertemu lagi, jika sampai harus berpapasan, Jihan memilih memutar jalan. Tapi, sampai kapan ia harus menghindar? Sepuluh tahun? Hingga tutup usia? Rasa sakit di hati begitu membekas dengan baik. Sampai Jihan rasanya ingin menenggelamkan Yuna dan Abian dari dunia."Hanya ibu pengganti saja kan, Pak?" tanya Jihan memastikan.Tangan Jihan mengambil pena dari Darren, lantas mulai berjongkok hanya untuk menorehkan secuil tanda tangannya pada kertas ini. Tapi, tanggung jawabnya sangat luar biasa. Menjadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus, serta istri dari pengusaha kaya yang kerap muncul di berbagai media.Mata Jihan menatapi kontrak yang telah sah ditanda tangani oleh kedua pihak dengan ekspresi terkejut. Jihan telah lalai. Jihan lupa siapa sosok Darren Gerald di khalayak umum."Pak. Apakah aku harus tampil di berbagai acara sebagai istri bersa
"Pak Darren ... tolong pakai dulu bajunya," ujar Jihan mengingatkan sembari menggeliat, berusaha lepas tanpa membuka matanya.Darren menatap sinis. "Sejak tadi aku pakai baju, tidak polosan. Pikiranmu saja yang kotor."Tubuh Jihan sedikit terhuyung ketika pinggangnya dilepaskan kasar oleh Darren. Perlahan Jihan mulai melepaskan kedua tangannya, mata ini menatap Darren yang memakai kaos putih. Darren sendiri tampak memilih set piyama tidur, lantas mulai memakainya."Mau sampai kapan melihatku seperti itu?" sindir Darren berbalik dan menatapnya lagi."Seka air liurmu," titah Darren dengan nada datar.Jihan tertegun dan merasa sangat malu, sebab ketahuan melihat Darren dengan pandangan terpaku. Kemudian tangan benar-benar menyeka bibirnya, padahal Darren hanya menyindir saja. Hal itu membuat mata Darren menyipit melihat tingkah dari Jihan.Tapi, Darren tampak mengabaikannya dan mulai bicara, "meski aku membawamu dan memberimu status ibu untuk Bella. Bukan berarti kau bisa melewati batas.
"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontrakn
Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran
Jihan tertegun dengan tatapan dari ibu Darren yang terang-terangan tidak menyukai dirinya. Harusnya tadi Jihan tidak usah bersuara. Sementara Darren melirik ke arahnya dengan serius."Bawa Bella ke kamarnya dan tidurkan lagi jika masih ingin tidur," titah Darren membuat Jihan mengangguk.Tubuhnya mulai berjalan melewati ibu Darren, meski Jihan harus menundukkan wajah dan terus menuntun Bella. Sementara ibu Darren yang bernama Stella itu, melemparkan tatapan tajam pada Jihan yang menaiki anak tangga."Katakan, dari mana kau dapatkan wanita miskin itu," celetuk Stella berhasil membuat hati Jihan mencelos.Kata miskin itu tetap tak akan hilang, meski Jihan menikah secara resmi dengan Darren sekali pun. Jihan menyadari hal itu. Tapi, berhubung Jihan dengan Darren hanya kontrak saja, tak benar-benar ada ikatan serius. Jihan berusaha mengeluarkan omongan Stella dari otaknya.Darren memastikan Jihan sudah menjauh dulu baru bicara, "tidak penting dari mana asalnya, aku hanya butuh kemampuanny
"Bercerai?" ulang Darren dengan mata mendelik tajam.Jihan sendiri sedikit merinding mendapat respon ini setelah menawarkan sebuah perceraian, tepatnya belum ada satu jam setelah pernikahan. Bella sendiri berhenti bermain ponsel, kepala mendongak dengan mata menatapnya. Cerai. Kata itu menghuni otak Bella dengan baik.Hingga tak lama Bella menangis keras, membuat Jihan tersentak. Sementara Darren mendengkus kesal dan ingin mengambil alih Bella dari Jihan. Tapi, Bella malah berbalik dan memeluk dirinya erat, bahkan ponsel terjatuh ke bawah kursi.Jihan panik, sementara tangan Darren terulur untuk mengelus punggung Bella. Dapat Jihan lihat, Darren menatap begitu lembut pada Bella. Sisi yang pertama kali dirinya lihat."Mama sama Papa tidak akan cerai Sayang," tutur Darren dengan pelan.Jihan tertegun. Benar, ia telah lupa, meski Bella hanya anak kecil tapi memiliki cara berpikir seperti orang dewasa. Jihan telah melakukan kesalahan hingga membuat mata Darren menajam saat menatapnya. Jih
"Namamu Jihan kan?"Jihan yang semula sibuk menyuapi Bella saja, perhatiannya langsung teralihkan pada wanita berwajah jutek tadi. Jihan memilih tersenyum."Benar," sahutnya.Wanita ini menyeringai. "Kau mengenal Darren di mana? Permalam kau dibayar berapa?"Seketika senyum di wajah Jihan langsung luntur. Jika saja wanita yang baru saja bicara dengannya hanya orang asing, maka Jihan akan menegur. Sayangnya ... wanita ini bagian dari keluarga Darren dan Jihan tak ada keberanian sama sekali. Hingga Jihan tersentak saat tangannya digenggam oleh Darren."Luna, jangan keterlaluan bisa? Aku setuju ke sini bukan hanya ingin mengenalkannya pada keluarga, tapi juga membantu bisnis suamimu yang terancam bangkrut ini," sungut Darren membuat Jihan membisu dengan pandangan takjub."Membantu? Bukankah itu memang sudah sewajarnya, sebab Daniel kan kakakmu," sahut wanita yang ternyata bernama Luna, tapi nampak tak takut meski berhadapan dengan Darren.Bahkan perdebatan terus saja berlanjut, bukan han