Share

Rahimku Harus Diangkat

"Cepat pakai bajumu, selesaikan urusan kita sekarang juga ke pengadilan," titah Abian tanpa melepaskan ikatan di tangan Jihan sama sekali dan mulai keluar meninggalkannya.

Tak butuh waktu lama. Jihan menggenggam surat perceraiannya dengan Abian di depan pengadilan agama, tanpa debat juga banyak pertimbangan. Masih teringat jelas suara Abian memberi Jihan talak tiga sekaligus. Kata yang sangat haram itu, justru Jihan dapatkan dari suaminya. Sekarang Jihan berada di mobil bersama Abian, pasalnya Abian janji akan mengembalikan Jihan ke Bogor, rumah orang tuanya.

Jihan sedikit tertegun oleh tangan Abian yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Segera Jihan menarik tangannya. Hal itu membuat Abian tersenyum sinis. Jihan menggeser duduknya sedikit menjauh dari pria ini. Meski pagi tadi masih jadi suami, tapi siang ini sudah bukan lagi. Jihan sudah tidak halal untuk pria ini.

"Bagaimana kalau kau angkat rahimmu?" tanya Abian tiba-tiba membuat Jihan melirik terkejut.

"Angkat rahim, tega ya kamu Mas memintaku melakukannya," sungut Jihan dengan pandangan terluka.

Abian melirik perutnya. "Selama kau mau membuangnya dan tidak punya anak, aku akan mempertimbangkan untuk menikahi dirimu lagi, Jihan. Pikirkan tawaranku ini, aku banyak mengenal dokter yang handal melakukannya."

Jihan menatap tak percaya ke arah mantan suaminya ini. Setelah ditalak dan diceraikan, Abian justru memintanya untuk tidak punya anak dengan cara jahat seperti itu. Jihan langsung mendengkus atas tawaran konyol dari Abian. Sementara pria ini meliriknya dengan pandangan meminta keputusan.

"Bagaimana? Aku tidak akan berselingkuh darimu jika kau mau melakukannya."

"Coba saja minta selingkuhanmu untuk melakukannya. Apa Yuna rela mengangkat rahimnya demi dirimu?" tantang Jihan dengan kesal.

Abian menatap sedikit lekat, kemudian mendengkus mendengar ucapannya. Ya, mana berani Abian meminta Yuna melakukannya. Hingga mereka berdua memutuskan sama-sama saling diam selama perjalanan.

Begitu tiba di Bogor. Abian turun dari mobil, lantas bergegas memutar hanya untuk membantunya membuka pintu dan turun. Jihan sudah tak heran dengan sikap pura-pura baik dari mantan suaminya ini. Abian bahkan mengambil salim pada orang tuanya. Ketika Jihan hendak melakukan hal yang sama, ibu tirinya langsung menarik Jihan untuk menjauh dari ayah kandungnya.

"Apa otakmu sudah hilang? Berani sekali kau minta cerai dari Abian," sungut ibunya marah namun dengan nada berbisik.

Jihan menatap ibu tirinya dengan terluka. Sudah jelas tubuh Jihan penuh lebam, tapi masih dipertanyakan alasannya bercerai. Juga, mulut tak bisa mengungkap keburukan Yuna pada seorang ibu. Jihan hanya bisa menguburnya, sebab diceritakan pun tak akan ada yang percaya padanya.

"Rujuk lagi saja sana, selagi masih baru tanda tangan surat cerai," pinta ibu tiri Jihan.

"Bu, masalahnya sebelum cerai pun, aku sudah ditalak tiga."

"Talak tiga ya? Gampang, ibu kenalkan kau pada duda di desa. Barulah kau nikah lagi sama Abian, bagaimana?"

"Bu," tegur Jihan dengan mata berkaca-kaca.

Anak sudah berhasil berpisah dari pria bejat seperti Abian. Malah dibujuk untuk bisa bersama kembali. Pembicaraan ini tak berlangsung lama ketika Abian mendekat dan merangkul pinggangnya. Segera Jihan beringsut menghindar mengundang Abian untuk meliriknya.

"Ponselku selalu aktif, jika kau berubah pikiran. Aku akan langsung datang dan menjemputmu," ujar Abian sembari mencolek dagunya, tapi Jihan langsung menghindar.

Abian tersenyum sinis, lantas pamit pada orang tuanya dan mulai memasuki mobil untuk kembali ke Jakarta. Tepat saat itu, mobil warna hitam yang dikendarai Pakde dan Bude Jihan berpapasan dengan Abian.

Ibu tirinya langsung menunjuk Bude Jihan yang mulai turun dari mobil. "Sana ikut dengan Bude-mu, rumah ini jadi sesak kalau tambah orang lagi."

Jihan segera menatap ayahnya, tapi pria setengah baya itu malah melengos dan menghindar. "Tidak mungkin aku tinggal dengan Bude, sementara aku masih punya Ayah dan Ibu."

Jihan menarik napas dengan sesak. Ibu tirinya ini begitu mendominasi hidup ayahnya, hingga Jihan yang diceraikan pun tak punya tempat untuk melanjutkan hidup.

"Jihan ikut tinggal denganmu, Mba," tutur ibu tirinya terang-terangan mengusirnya di hadapan Bude Jihan.

Bude berjalan mendekat. "Tidak masalah jika Jihan tinggal bersama dengan kami."

Terpaksa, Jihan ikut dengan Bude Nisa. Setelah menempuh perjalanan dua hingga tiga jam, Jihan akhirnya kembali ke Jakarta dan langsung dibawa ke Melati Daycare, tempat penitipan anak-anak milik Bude Nisa.

"Namanya Bella, ibunya meninggal sewaktu melahirkannya. Bella tidak bisa bicara," ujar Bude memberi tahu anak yang Jihan tatap duduk di pojok sendirian.

Jihan menatap Bella lagi, gadis kecil sekitar lima tahunan itu sendirian saja. Sementara anak seusianya yang lain sibuk bermain bersama. Jihan menoleh ke arah Bude-nya, kepala Bude Nisa mengangguk, memberi Jihan izin jika ingin masuk.

Jihan langsung duduk di depan Bella yang tak meliriknya sama sekali. Dapat Jihan saksikan dari dekat, beberapa tubuh Bella nampak memar dan terluka. Jihan menatap gadis kecil ini dengan kasihan.

Tiba-tiba saja Jihan menyentuh lengannya yang memar juga karena Abian. "Kenapa luka seperti ini sulit hilang?"

Jihan berhasil menarik perhatian Bella hingga melirik ke arah tangannya. Mata Bella dan dirinya saling bertemu. Jihan langsung tersenyum dan menunjuk luka di tangan Bella.

"Kita punya luka yang sama. Warna rambut kita juga sama, apakah nama kita juga sama?" Jihan berusaha memancing dan mendapat gelengan kepala dari Bella.

Sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung daycare. Pria mengenakan stelan jas abu itu mulai keluar dan memandang ke dalam daycare dengan dahi mengerut. Bude Nisa yang mengenali pria tersebut langsung tersenyum.

"Pak Darren sudah datang, Bella mau langsung dibawa pulang sekarang?" tanya Bude ramah pada ayah tunggal dari Bella ini.

"Siapa pengasuh yang bicara dengan Bella?" tanya Darren dengan ekspresi terkejut, "Bella tak pernah mau dekat dengan orang lain."

Sementara Jihan tersenyum dan kembali bicara. "Namaku Jihan, kalau nama kamu siapa? Bisa ditulis saja pakai jari."

Jihan sudah mengulurkan telapak tangannya, siap untuk menjadi papan tulis dadakan. Tapi, Bella tak kunjung menuliskan nama pada kulitnya. Hal itu membuat Jihan terdiam, sepertinya ia baru saja gagal mendekati gadis kecil ini.

"Bella," ujar gadis kecil ini sangat pelan.

Mata Jihan terbuka lebar. Apa katanya tadi? Bella? Gadis kecil ini ternyata bisa bicara, yang dikatakan oleh Bude-nya sama sekali tidak benar. Darren tak kalah terkejut dan mata menyorot serius pada Jihan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
cerai dr laki2 brengsek..malah diusir dr rumah sendri oleh ibu tiri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status