LOGINMunafik, ucapan mas Raka tidak bisa dipercaya. Desahan di antara sepasang pengantin baru itu, memenuhi kedua telingaku.
Sakit! Sebagai seorang istri, tentu rasanya aku ingin menjerit saat mendengar kemesraan suamiku bersama wanita lain di bawah satu atap yang sama. Aku berusaha menahan air mataku supaya tidak jatuh. Aku harus kuat, aku harus bisa menahan diri, untuk tidak membuka pintu itu. Aku memutuskan kembali ke kamarku. Tidak kuat dengan kenyataan yang aku hadapi. Namun, di ruangan ini, aku berusaha meredam segala kesakitanku. Pagi menjelang, sama sekali aku tidak bisa memejamkan mata. Aku mengurung diri di dalam kamar, tidak ada semangat untuk melakukan apa pun. “Ehem … sudah bangun, Rin? Aku habis dari–” “Kamar Gita, aku sudah tahu,” potongku, aku menatap datar ke arah mas Raka. Mas Raka menghampiriku, membelai rambutku. “Maaf, aku hanya melakukan kewajibanku sebagai suami,” ucap mas Raka. Aku tersenyum miring mendengar ucapan mas Raka. Bulshit! Dia seakan menganggap ucapannya semalam hanya angin lalu. “Aku mau mandi!” Aku berlalu meninggalkan mas Raka. Di saat yang bersamaan, Gita keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Wajahnya terlihat ceria daripada kemarin. Jelas, pengantin baru. “Kamu sudah bangun, Rin? Aku ….” Tidak ingin berhadapan dengan Gita, lekas aku masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku kecewa terhadap Gita, sehingga wanita itu tidak meneruskan ucapannya. Di bawah dinginnya guyuran air, aku menumpahkan semua rasa sakit hatiku. Mungkin dengan begini, air mataku akan tersamarkan. Aku berusaha kuat. Namun, aku hanya wanita biasa. Cukup lama aku berada di dalam kamar mandi. Aku pun menyudahi mandiku. “Kamu belum masak, Rin? Aku mau kerja, aku harus sarapan dulu sebelum berangkat,” ujar mas Raka, ia telah mengalungkan handuk di lehernya. Alisku terangkat sebelah, melipat kedua tanganku. “Kenapa tidak istri mudamu yang masak? Kenapa harus aku?” tanyaku. Mas Raka menggaruk pelipisnya. “Aku … hanya ingin memakan masakanmu. Ini uang belanja untuk hari ini.” Mas Raka menyodorkan uang sebanyak sepuluh ribu. Aku menatap getir uang tersebut lalu menerimanya. Seperti tak ada beban, mas Raka pun pergi ke kamar mandi, setelah memberikan uang tersebut padaku. Mau tidak mau aku pun keluar demi membeli kebutuhan dapurku. Berbekal uang sepuluh ribu, aku kembali berpikir keras, harus membeli apa? Dapat berapa macam? Apakah cukup? Ketiga hal itu selalu berputar dalam kepalaku. “Sepuluh ribu lagi, Rin? Padahal anggota keluargamu sudah nambah. Emangnya cukup?” Aku memejamkan mataku beberapa saat, lalu membukanya lagi. “Saya permisi duluan, ya! Suami saya sedang nunggu,” pamitku. Sekali lagi, aku tidak ingin menghiraukan keusilan tetanggaku tentang belanjaanku yang sedikit. Andai mereka yang mengalami hal sepertiku, apakah mereka masih akan usil terhadap orang lain? Bergegas aku kembali ke rumah, mas Raka dan Gita sedang duduk berdua di ruang tengah. Sungguh, pemandangan yang tidak aku suka dari kedua manusia munafik itu. “Rin, maaf aku belum bisa bantu kamu masak. Aku lagi nggak enak badan, semalam aku ….” Gita menunduk sambil tersenyum. “Ya … tidak apa-apa, aku memang tidak suka diganggu saat masak. Kamu nikmati saja momen pengantin baru kalian,” sarkasku. Muak rasanya melihat Gita, dia teman yang tidak tahu diri. Sehari menumpang di rumahku, tapi dia sudah berani merebut suamiku. Aku berlalu ke dapur, menyalakan tungku buatanku. Entah setan dari mana, sebuah ide gila tiba-tiba terlintas di hadapanku. Aku mengedarkan pandangan ke belakang tubuhku. Setelah dipastikan keadaan aman, aku pun berjalan ke arah halaman belakang yang ditumbuhi rerumputan. “Hadiah untuk pengantin baru. Sesekali menjadi orang jahat, sepertinya sah-sah saja. Maaf, Mas Raka, Gita, kalian duluan yang memantik api di antara kita.” Aku mencabuti rerumputan itu, cukup banyak lalu mencucinya hingga bersih. Jangan ditanya hari ini aku akan masak apa? Aku mulai menumis rerumputan itu untuk sepasang pengantin baru. Sementara sayur yang aku beli barusan, itu hanya untukku sendiri. Adil, mungkin belum bisa dikatakan seperti itu, aku hanya ingin menghibur diriku dengan mengerjai mereka. “Kamu nggak makan, Rin?” tanya mas Raka. “Aku tidak lapar,” jawabku, aku hanya duduk sambil menonton mereka memakan rumput. “Kok aneh rasanya, Rin?” tanya mas Raka. “Iya, asing banget rasa sayurnya. Ini sayur apa, ya? Kok baunya juga aneh, rasanya juga agak pahit,” keluh Gita. Aku menahan tawa, lumayan aku cukup terhibur dengan ekspresi mereka. “Oh ya? Aku juga nggak tahu itu sayur apa. Aku beli di tukang sayur tadi,” sahutku. Walaupun rasanya aneh. Namun, kulihat mereka meneruskan sarapan mereka hingga habis. Benar-benar rakus! “Enak rumputnya?” tanyaku. Mereka serempak terdiam, lalu menoleh kasar ke arahku. “Maksud kamu?” tanya mas Raka. Aku berdiri lantas membereskan piring bekas mereka. “Masa nggak paham,” celetukku. Mas Raka dan Gita saling melempar pandang. Lalu beralih kembali menatapku. “Jadi … sayur yang kita makan adalah rumput?” tanya Gita. Aku menjentikkan kedua jariku. “Cerdas!” “Apa?!” Mereka tampak syok, sedetik kemudian mereka berlarian ke belakang. Mereka memuntahkan rumput yang sudah mereka makan. “Rasakan, kalian! Ini belum seberapa, aku bisa melakukan lebih dari ini. Kalian berdua telah membuat hatiku hancur. Sekarang gantian, aku akan membuat mood kalian hancur!” gumamku. Aku melanjutkan membereskan piring-piring kotor. “Kenapa kamu memberikanku rumput? Kamu pikir aku ini kambing? Sapi? Kerbau? Yang benar saja, Rin. Aku sudah memberikan kamu uang belanja. Kenapa harus rumput yang kamu kasih?” tanya mas Raka, ia terlihat kesal padaku. Aku yang sedang duduk di teras, mengangkat wajahku. Mas Raka berdiri di ambang pintu. Berpakaian yang sudah rapi, ia hendak berangkat ke tempat kerja. “Sakit mana, Mas, dimadu atau makan rumput?” Aku balik bertanya. Mas Raka bergeming, tanpa permisi lalu ia pergi berangkat bekerja. Aku mengusap wajahku kasar. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah aku berdosa telah memberi makan suamiku rumput? Namun, aku bukan Nabi, aku hanya wanita biasa yang kapan saja kesabaran yang kupunya akan habis. Aku menunduk meratapi nasibku. Rumah yang kubangun bersama mas Raka, kini aku harus berbagi kamar dan suami bersama wanita lain. Ironisnya, wanita itu adalah temanku. Cukup lama aku duduk di teras, aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa tetangga yang melewati depan rumah, bahkan mereka melirik ke arahku. Tatapan yang menyiratkan rasa iba. Tidak, aku tidak butuh dikasihani. Yang aku inginkan, hanya Gita pergi dari sini. Kulihat Gita tengah duduk di ruang tengah sambil memainkan ponselnya. Namun, seketika kepalaku terasa mendidih saat melihat Gita memakai sesuatu yang harusnya aku yang memakainya.“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







