LOGIN“Kenapa, Rin?” tanya Gita, ketika dia menyadari aku berdiri di hadapannya.
Kenapa? Dia tanya kenapa? Sumpah demi apa pun, wanita satu ini sangat tidak tahu diri. “Itu perhiasan milikku, kenapa kamu pakai?” tanyaku. Gita melirik ke arah gelang, kalung serta cincin yang ia pakai. “Oh, mas Raka sendiri yang mengizinkan aku memakainya,” jawab Gita. Nyes! Hatiku seakan teriris mendengar jawaban dari mulut Gita. Selama ini, aku hanya bisa berandai-andai memakai semua perhiasan itu. Mas Raka selalu melarangku untuk memakainya dengan alasan takut hilang. Namun, sementara Gita …. “Buka semua perhiasan itu, itu milikku!” titahku. Gita mengernyitkan dahinya, menaruh ponsel di meja, lalu berdiri mendekat ke arahku. “Ngomong apa kamu, Rin? Mas Raka tidak pernah menyebut bahwa perhiasan ini semua milikmu. Ini perhiasan milik mas Raka. Jadi sah-sah aja, dong, kalau aku memakainya. Aku juga istri mas Raka. Kenapa kamu sewot?” cetus Gita. Gita sudah mulai berani, aku tidak habis pikir dengan wanita satu ini. Awal kedatangannya, dia tampak lugu. Namun, aku tertipu dengan keluguannya. “Itu tabungan aku sama mas Raka. Selama ini aku dan mas Raka menabung demi membeli semua perhiasan itu. Aku sampai bela-belain berhemat. Tapi kamu dengan lancangnya memakai semua itu. Enak saja!” sergahku. Tidak kusangka, setelah aku berucap demikian, Gita membalas dengan tawa terbahak-bahak. Apakah menurutnya ini lucu? Demi apa pun, aku muak dengan tingkahnya. “Tidak ada yang lucu, kamu tertawa terlalu lebar. Semoga tidak ada lalat masuk ke dalam mulutmu,” cetusku. Gita berhenti tertawa. Namun, berganti menatapku dengan tatapan mencemooh. “Kasihan sekali kamu, Rin. Miris sekali kalau aku jadi kamu. Berhemat demi bisa membeli semua ini? Tapi … sayang, ya, kamu nggak bisa menikmati hidup. Harusnya kamu sadar, Rin. Kenapa mas Raka memperbolehkan aku memakai semua ini. Itu artinya, mas Rasa lebih mencintaiku dibanding kamu,” cetus Gita. Kepalaku rasanya mendidih, wanita ini berubah seperti monster, setelah merebut suamiku. “Oh ya? Yakin sekali kamu bicara seperti itu. Ingat ya, Git, pernikahan kalian adalah hasil grebek warga. Bangga sekali kamu merebut suamiku. Ditaruh di mana otakmu? Kebaikanku kamu balas dengan pengkhianatan, teman macam apa, kamu? Pantas saja ibu tiri kamu mengusirmu dari rumah!” Plak! Satu tamparan keras mendarat di sebelah pipiku. Menciptakan sensasi sakit dan panas di area tersebut. “Dengar ya, Rin! Kamu nggak ada hak untuk menghakimiku. Kamu tidak tahu apa-apa tentang ibu tiriku. Jadi stop kamu berbicara seenaknya!” sanggah Gita. Aku membalas senyuman itu. Namun, penuh arti. Plak! Aku membalas tamparan Gita. Sangat adil, bukan? Tamparan dibalas dengan tamparan lagi. Gita membeliak, mungkin dia tidak akan menyangka jika aku akan membalasnya. Aku yang dikenal lembut. Namun, jika terlalu sakit, aku pun bisa membalasnya dengan setimpal. “Kembalikan perhiasanku!” seruku. “Tidak!” Gita menolak, mempertahankan perhiasanku. “Itu milikku, itu semua hakku. Sebelum kamu hadir merusak rumah tanggaku, aku yang lebih dulu menabung semua itu dengan mas Raka. Kembalikan, sebelum emosiku semakin tinggi!” pintaku. Gita melipat kedua tangannya. Sifat asli wanita itu, aku bisa melihatnya. Busuk! “Tidak, aku bilang tidak ya tidak! Aku istrinya mas Raka, maka aku berhak atas semua ini! Aku bisa jamin, mas Raka tidak akan membiarkan kamu bersikap seperti ini padaku. Bahkan semua yang ada di sini, termasuk rumah ini, aku juga berhak!” sahut Gita. Seketika pertengkaran terjadi. Kami saling menjambak rambut satu sama lain. Tidak ada yang ingin mengalah, kami terus mempertahankan ego masing-masing. Aku berada di posisi yang benar, maka diam saja tidak mungkin aku lakukan. Bertindak adalah hal yang harus aku lakukan. “Apa-apaan ini? Kenapa kalian ribut-ribut?!” Aku dan Gita menghentikan pertengkaran kami. Di ambang pintu, mas Raka berdiri dengan manik yang menyoroti kami tajam. Seakan ingin menelan bulat-bulat kami berdua. Gita tiba-tiba berlari ke arah mas Raka. “Mas, Arin melarangku memakai semua perhiasan ini. Dia juga telah menghinaku habis-habisan. Aku juga ditampar sama dia, sakit sekali, Mas!” Mataku membeliak, Gita mengadu pada mas Raka, seolah dia adalah korban, sementara aku adalah penjahatnya. Playing victim! “Wajar, dong! Selama ini yang menabung untuk membeli perhiasan itu aku dan kamu, Mas. Seandainya harus ada yang memakai, akulah orangnya. Gita hanya orang baru di rumah ini. Aku tidak habis pikir, kenapa kamu dengan gampangnya mengizinkan Gita memakainya? Apakah aku sudah tidak ada harganya di mata kamu, Mas?” timpalku. Mas Raka melirik ke arah Gita, lalu beralih ke arahku. Tampak helaan napas terhembus dari hidungnya. Mas Raka mendekatiku, membelai rambutku. “Gita juga istriku, dia punya hak yang sama denganmu,” cetus mas Raka. Tidak disangka, teganya mas Raka berkata seperti itu. Sementara Gita terlihat kegirangan mendengar ucapan mas Raka. “Lagi pula, yang menabung ini semua adalah aku. Aku yang bekerja keras selama ini, sementara kamu? Kamu hanya diam di rumah, menikmati hasil kerja kerasku tanpa membantu apa pun!” tegasnya, kini belaian itu terasa seperti sayatan. “Arin juga bilang, rumah ini adalah miliknya dan aku harus pergi dari rumah ini, karena aku hanya seorang pelakor. Sakit sekali hatiku, Mas. Ternyata teman yang selama ini aku banggakan, tega ingin menyingkirkanku dari sini,” timpal Gita. Parah, Gita memanipulasi keadaan. Dia mengarang cerita tentang keburukanku. “Arin, benar apa yang dia katakan?” intonasi bicara mas Raka mulai meninggi. “Tentu saja dia bohong, kenapa juga kamu harus bertanya seperti itu, Mas? Kamu bilang aku hanya diam dan menikmati semua hasil kerja kerasmu tanpa membantu? Lucu sekali … modal belanja sepuluh ribu saja, kamu bilang aku hanya menikmati? Sadar, Mas, kamu hanya mempermalukan diri kamu sendiri,” cetusku. Kemarahan terpancar dari mas Raka. “Kenapa, Mas? Marah? Memang itu kenyataannya, kan? Aku tidak pernah bicara mengada-ada. Aku bicara seadanya. Kamu hanya menafkahiku sehari sepuluh ribu, sampai aku harus memutar otak memikirkan cara untuk mencukup-cukupkan uang segitu untuk kebutuhan sehari-hari. Mikir, Mas!” Aku menunjuk-nunjuk kepalaku. “Diam! Arin, kamu berubah, kenapa? Kamu tidak seperti Arin yang kukenal. Kamu sudah tidak menghargaiku sebagai suami. Kamu memberiku makan rumput, kamu melawanku, dan sekarang kamu menghinaku. Maaf, Arin, aku tidak kuat jika harus begini. Saat ini juga, Arindi, aku jatuhkan talak padamu!” Aku membeliak, apakah ini nyata? “Pergi kamu dari sini! Kamu tidak ada hak apa pun atas semua yang aku punya. Bawa baju-baju kamu!” usir mas Raka. Aku mengepalkan kedua tanganku. Pertahanan air mataku goyah, air mataku luruh membasahi pipi. Aku berlari ke dalam kamar, kubereskan semua bajuku ke dalam tas. “Baik! Nikmati semuanya, Git. Selamat, kamu adalah istri satu-satunya mas Raka sekarang. Dan kamu, Mas, aku bisa buktikan, aku bisa bahagia lepas darimu yang pelit ini. Camkan ucapanku baik-baik!” Setelah berucap demikian, aku pun pergi dari rumah ini. Rumah yang kami bangun dengan cara menabung, walaupun hanya dari hasil kerja mas Raka. Aku menjadi pusat perhatian tetangga. Bahkan beberapa dari mereka bertanya kenapa aku membawa tas cukup besar? Aku tidak menghiraukan, aku terus berjalan. Langkahku semakin cepat, hingga perlahan berubah pelan saat sebuah mobil mewah berhenti menyalipku. Aku menatap bingung, saat dua orang lelaki berjas hitam turun dari mobil tersebut lalu membawa paksa aku masuk ke dalam mobil itu.“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







