LOGIN“Eh-eh, apa-apaan ini?”
Aku bingung, kenapa mereka membawaku masuk ke dalam mobil itu? Mereka tidak menjawab, mereka memaksaku masuk dengan menarik kedua tanganku. “Aku tidak kenal siapa kalian! Lepas! Biarkan aku pergi!” jeritku. Dua melawan satu, tenagaku tidak cukup kuat melawan mereka, apalagi mereka berdua seorang lelaki. Aku berhasil dibawa masuk. Lekas mobil itu pergi meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil tersebut, selain kedua lelaki yang menangkapku, ada juga dua lelaki yang duduk di depan, salah satunya yang bertugas mengendarai mobil tersebut. Mereka terlihat sangat asing, aku merasa takut mereka akan berbuat jahat padaku. “Tolong!” jeritku, berusaha membuka pintu mobil. “Tolong!” “Diam!” Tanganku dicekal kuat, tenagaku tidak cukup kuat untuk keluar melarikan diri. Aku gelisah, kenapa mereka tiba-tiba menculikku? “Halo, Pak! Target sudah berhasil kami temukan, dan sekarang dia ada bersama kami.” Salah satu dari lelaki yang duduk di barisan depan menghubungi seseorang. “Keadaannya baik-baik saja, dia terlihat sehat dan segar.” Aku membeliak, pikiran buruk seketika berkumpul dalam kepala. Mendengar ucapan lelaki itu, membuatku berhasil ketakutan setengah mati. Aku menyimpulkan, bahwa mereka adalah sindikat penculikan dan perdagangan manusia, atau yang lebih parahnya lagi, mereka akan memperjual belikan organ tubuhku. “Siap, Pak!” Lelaki itu mematikan panggilan telepon itu. “Mau apa kalian? Mau dibawa ke mana aku? Aku mau turun! Aku mau pulang!” Aku kembali memberontak. “Diamlah, Nona. Anda hanya boleh menuruti perkataan kami!” sahutnya. Aku semakin ketakutan, saat mobil yang kami naiki semakin kencang melaju. Tidak ada yang bisa kumintai pertolongan, kecuali …. Aku membeliak, aku ingat aku masih ada ponsel di dalam tas. Aku bisa menggunakannya diam-diam, untuk menghubungi adikku di kampung. Aku terpaksa diam, memeluk erat tasku. Awalnya mereka masih terus memantau gerak-gerikku. Namun, lama kelamaan perhatian mereka teralih pada jalan yang kami lewati. “Aku harus bisa, aku harus pulang,” batinku. Sebuah kesempatan saat mereka lengah. Diam-diam aku membuka resleting tasku, untuk mengambil ponselku. “Tolong Mbak, Vit. Mbak diculik oleh orang-orang yang tidak Mbak kenal. Mbak tidak tahu Mbak ada di mana sekarang. Kemungkinan Mbak mau dijual.” Sial, sial, sial! Ingin sekali aku menjerit dalam keadaan ini. Memaki diri sendiri, karena kebodohan yang tidak aku sadari. Di saat aku berhasil mengetikkan sebuah pesan permintaan tolong. Namun, sayang seribu sayang saat pesan tersebut hendak aku kirimkan, pesan itu gagal terkirim. Aku baru ingat, aku tidak memiliki kuota atau pun pulsa untuk menghubungi adikku. Pasrah, mungkin hanya itu yang bisa aku lakukan. Ingin keluar pun, rasanya akan sangat sulit. “Mau dibawa ke mana aku? Siapa kalian sebenarnya?” Aku kembali bertanya pada mereka. Berharap ada setitik rasa iba dari mereka terhadapku. Seakan tuli, mereka hanya diam tanpa menanggapi pertanyaanku. Pikiranku buntu, mobil yang kunaiki semakin jauh melaju. Aku tidak tahu aku berada di mana, mereka sangat menakutkan. “Lepaskan aku! Apa kalian tuli, hah?!” Aku kembali berteriak. “Sebaiknya Nona diam, semakin Nona memberontak, semakin kami tidak akan melepaskan Nona. Kita akan segera sampai,” sahut lelaki yang ada di barisan depan. Aku menghembuskan napas kasar. Kembali aku mengamati jalanan yang tampak ramai lancar ini. Mobil ini beberapa kali berbelok. Aku sangat asing dengan tempat yang kami lewati ini. Aku bingung, bagaimana caranya aku bisa pulang? Bahkan rasanya akan sangat sulit lepas dari mereka. Mobil yang kami naiki akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah. Mereka membawaku turun. Seperti istana, saat aku menginjakkan kaki di tempat itu. Indah, aku sampai terkesima dibuatnya. Belum pernah aku melihat rumah seperti ini secara langsung. Sebelumnya aku hanya bisa melihat rumah seperti ini hanya di TV. Salah satu penculik itu menerima telepon. “Ok, baik!” Hanya kata-kata itu yang dia ucapkan, lantas kembali menaruh ponselnya di dalam saku celana. “Bawa dia masuk!” titah lelaki itu. Kedua lelaki yang bertugas memegangi kedua tanganku mengangguk. Mereka mulai melangkah masuk ke dalam. Namun, beberapa kali aku menolak. Hanya saja lagi dan lagi mereka berhasil menggoyahkan pertahananku. Jantungku semakin berdetak tidak normal. Ketakutan yang aku rasa semakin menjadi. Keyakinanku semakin memuncak, bahwa ada kemungkinan aku akan diperjual belikan atau justru organ tubuhku, karena saat ini sedang marak-maraknya sindikat penjualan organ tubuh manusia. “Ibu, ayah, tolong aku!” batinku menjerit. Langkah kaki kami berhenti di sebuah ruangan sempit dengan sedikit cahaya di bawah lampu yang temaram. “Kami sudah membawa wanita yang Anda cari, Pak!” ucap salah satu penculik itu. Di hadapanku, duduk seorang lelaki membelakangi. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun, yang aku yakini bahwa dialah bos besar dari empat lelaki yang membawaku ke sini. “Tinggalkan kami berdua,” sahut lelaki itu. Perasaanku semakin tidak enak. Jantung pun semakin berdegup kencang. Berada di dalam ruangan bersama lelaki asing. Apa yang akan dia lakukan padaku sebelum dia mengeksekusiku? Entahlah, yang aku pikirkan saat ini hanyalah kematian di depan mata. Mereka pun keluar sesuai perintah. Ketegangan yang hakiki semakin terasa saat suasana di kamar itu berubah hening. Hanya aku dan lelaki asing itu. “Si-siapa, kamu?” tanyaku gugup. Suaraku cukup menggema mengisi atmosfer ruangan itu. “Bahkan kamu pura-pura lupa setelah kamu memutuskan untuk meninggalkanku. Hebat!” Lelaki itu tiba-tiba berdiri tegap, cukup lama. Kedua tangan berada di dalam saku celana, lelaki itu lalu membalikan tubuhnya ke arahku. Aku nyaris menjerit saat dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.“Ya ampun, maaf-maaf. Aku tidak sengaja. Kamu … Arindi, kan? Mana yang sakit?”Alya, wanita cantik itu membantuku untuk berdiri. Dia memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia memang sempurna. Pantas Malik sangat tergila-gila padanya.“Aku tidak apa-apa , aku baik-baik saja. Iya, aku Arindi. Kamu Alya, kan? Aku juga minta maaf, aku … tidak fokus berjalan,” ucapku.“Tidak-tidak, aku yang harusnya minta maaf, karena aku yang menabrakmu. Em … Arindi, kenapa wajahmu hitam-hitam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu padamu? Aku ada tisu, ini!” Alya menyodorkan sebungkus tisu basah padaku.Perlahan tanganku terulur menerimanya.“Terima kasih,” ucapku, lalu mulai membersihkan wajahku.Aku menunduk, merasa insecure ketika berhadapan dengan wanita satu ini. Dia sangat cantik, modis, sementara aku ….Aku mengamati penampilanku yang tidak ada apa-apanya dibanding Alya.“Arin, kamu lagi ada masalah?” Alya tiba-tiba menyentuh sebelah bahuku.“Ah, ini … anu … tadi aku habis bakar-bakar sampah. Tidak se
“Lelaki sialan! Beraninya dia membakar bajuku.”Aku mengorek-ngorek bajuku di dalam kobaran api itu. Sedih rasanya, baju yang kupunya hanya sedikit ini dilalap api.Aku berusaha menyelamatkan baju-bajuku yang sebagian telah habis. Berusaha memadamkan api itu, berharap api itu cepat padam. Walaupun aku tahu, baju-bajuku tidak mungkin bisa diselamatkan lagi.“Aw!” Beberapa kali aku mengaduh kepanasan, saat api itu mengenai tanganku.Tak ayal, wajahku pun sampai berkeringat karena panasnya api yang ada di hadapanku.“Argh!” jeritku.Aku terjengkang ke belakang.“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Malik.Aku mendelik ke arah Malik. Lelaki itu asli tidak punya hati. Sangat lancang merusak apa yang aku miliki.“Kamu pikir aku sedang apa?” Aku balik bertanya.Aku kembali mendekati api itu. Namun, Malik segera menarik tanganku.“Lepas!” Aku memberontak, menepis kasar tangan Malik, yang berusaha menjauhkanku dari api itu.Malik menarik tanganku kembali menjauh dari api itu. Sedih rasanya kehilanga
“Malik!”Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Terlalu takut jika Malik akan berbuat kasar padaku. Namun, kenyataannya tidak. Malik hanya memukul pintu.Perlahan kubuka mataku. Kulihat buku-buku jari tangan Malik mengeluarkan darah. Namun, Malik seperti tidak merasakan sakit.“Jangan coba-coba mengatur hidupku, Arindi. Kamu harus ingat posisimu. Kamu hanya istri kontrak. Sekarang, kembali ke pelaminan. Jangan buat mereka curiga,” ujar Malik lirih. Namun, penuh penekanan.Aku mendorong tubuh Malik. Buru-buru aku keluar dari kamar itu. Aku berlari ke arah ballroom, tempat di mana digelarnya resepsi pernikahan kontrak kami.Aku kembali menyalami tamu-tamu. Tidak berselang lama Malik menyusul. Kami kembali menjalani sandiwara ini senatural mungkin.Malam ini resepsi telah selesai. Aku langsung diboyong ke rumah Malik. Rumah yang pernah aku pijak, saat aku menjadi korban salah target penculikan.Membawa tas jinjing berisi baju-bajuku, aku berjalan masuk mengekor di belakang Malik.Kami
“Malik, apakah dia mantanmu?” tanyaku.Malik melirik ke arahku. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia pergi begitu saja mengikuti langkah Alya.“Sepertinya misi ini gagal, Alya tidak terlihat cemburu melihat pernikahan ini,” gumamku menerka-nerka.“Suamimu mau ke mana, Rin? Masih banyak tamu loh, ini!” Ayah bertanya padaku.“Em … mungkin Malik mau ke toilet. Kita tunggu saja, sebentar lagi juga kembali,” jawabku.Aku kembali disibukkan dengan tamu undangan yang menyalamiku. Namun, sekitar setengah jam aku tidak mendapati Malik kembali.“Rin, sepertinya ada masalah dengan Nak Malik. Takutnya dia sakit perut atau apa. Coba kamu susul dia,” titah ibu.Aku mengangguk, mulai melangkah meninggalkan pelaminan menuju toilet kamar hotel yang telah dia sewa.“Aku mau pulang, Malik. Hubungan kita sudah selesai. Aku … aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sudah berapa kali aku tegaskan sama kamu. Tolong, hormati keputusanku. Aku hanya ingin berbakti pada orang tuaku. Tolong kamu pahami posisik
“Tanda tangani surat perjanjian ini, jika berhasil dalam batas waktu yang ditentukan, aku akan berikan semua yang kujanjikan padamu!”Sebuah kertas berisi surat perjanjian lengkap dengan materai, tersimpan di hadapanku.Dalam balutan baju pengantin, aku duduk di dalam sebuah kamar hotel. Kuambil kertas tersebut lalu membaca surat itu dengan pulpen berada di tangan kananku, yang siap menggores materai tersebut dengan sebuah tanda tangan.Waktu terasa singkat, setelah mas Raka menjatuhkan talak padaku. Perceraianku dengan mas Raka telah sah di hadapan hakim. Kini, aku akan menjalani pernikahan kontrak bersama Malik. Tentunya hanya kami berdua yang tahu.Sebuah perjanjian yang sangat menguntungkan bagiku. Sebuah kesempatan emas, di mana aku bisa mendapatkan harta banyak secara instan. Namun, tidak menutup kemungkinan resiko besar harus aku hadapi.“Jangan mengulur waktu dengan banyak berpikir. Kita sudah sepakat akan melaksanakan pernikahan ini sampai waktu yang ditentukan. Aku ingin ren
“Sayang! Tolong aku, aku tidak kuat!”Mataku membulat sempurna, spontan aku menghentikan obrolanku. Suara itu seperti ….Aku menoleh cepat ke ambang pintu. Di sana Malik tengah kepayahan dengan barang-barang yang ia bawa di kedua tangannya.Beberapa kantong putih berlogo indomayet berukuran besar dan penuh ditenteng di kedua tangan.Aku berdiri menghampiri lelaki itu. Selain berang-berang itu, kulihat juga di teras rumah, aku melihat beberapa karung beras beserta bahan pokok lainnya. Seperti telur, minyak, gula, dan sebagainya.“Kenapa bengong? Ayo bantu aku bawa masuk semua sembako ini!” seru Malik.Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal. Bertanya-tanya, kapan dia membeli semua ini?Ibu dan ayah menatap heran ke arah Malik, serta banyaknya belanjaan yang Malik bawa.“Em … siapa, ya?” tanya ibu.“Dia–”“Saya Malik, Om, Tante.” Malik menyalami ibu dan ayah.Aku membuang muka, tidak mengerti maksud Malik melakukan ini?“Pasti kalian bertanya-tanya, kan, kenapa saya ada di sini?







