Share

2. Tamu ba'da maghrib

Sore menjelang malam, tepatnya saat azan magrib berkumandang. Langit yang gelap kian menghitam, beradu dengan rintik air yang kian deras membasahi bumi. Aku bimbang, baiknya langsung pulang menerjang hujan, atau tetap di posisi berjongkok menunggu hujan reda? Mana saat ini aku hanya sendiri di parkiran. Ah, lebih baik aku pulang. Lagi pula, lambungku yang kosong ini kian meronta, mengingat hari ini Emak memasak sajian sedap. Kupat opor lengkap dengan sambal goreng kerecek sebagai pendampingnya. Huh, kian nggak sabar aku untuk cepat-cepat tiba dirumah!

Aku memacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi, menerobos hujan yang tetap awet mengguyur bumi hingga aku tiba dirumah.

"Assalamu'alaikum!", salamku kepada mereka yang ada di rumah saat itu.

"Wa'alaikum salam, hujan-hujan, Vin, cepat mandi! Emak sudah siapkan air hangat!" terlihat Emak sedang sibuk menata makanan di meja makan, tidak seperti biasanya.

Hidangan makanan, beserta peralatan makan di tata sedemikian rapi di meja makan berbentuk lingkaran besar itu.

"Kok tumben, Mak?" tanyaku sembari menunjuk meja makan.

"Halah, uwis! Kamu mandi dulu saja, habis itu makan, mumpung masih anget,"

"Oh, iya."

Aku berlalu melewati Emak dengan segala kesibukanya di depan meja makan itu. Mandi air hangat kiranya bisa merileks kan semua urat-uratku, setelah seharian berkutat dengan mesin jahit.

***

Benar saja, makan dengan kupat opor beserta sambal goreng kerecek memang begitu nikmat, sangat sesuai dengan ekspektasiku tadi. Aku melahap dengan semangat, tak lupa ku taburi oporku dengan banyak bawang goreng di atasnya. Hmmm ... Kian nikmat rasanya.

Puas aku makan, ku dengar Emak dan Bapak sedang berbicara dengan orang lain yang aku sendiri tidak tau siapa yang datang. Sepertinya lebih dari 1 orang. Menurutku, suara mereka cukup asing ditelinga. Ah, dari pada hanya penasaran, lebih baik aku keluar untuk memastikan siapa yang datang!

Dan benar saja, ada 3 orang datang bertamu malam ini. Satu orang pemuda dengan kisaran umur 29 tahunan, dan sepasang orang tua dengan kulit keriput. Sepertinya pemuda itu anak dari dua orang tua itu.

"Vina, ada tamu, ayo salaman dulu," ucap Emak sembari tersenyum kepada mereka. Ku salami mereka satu per satu.

"Maaf, saya tinggal sebentar ya, Pak, bu," pamit Emak sembari terburu berjalan ke dapur, aku pun mengikuti langkah kaki Emak.

Ternyata Emak tengah membuatkan minuman, teh hangat untuk tamu yang datang.

"Ayo, Vin, bantu Emak bawa minuman dan stoples camilan ke depan,"

Aku hanya mengangguk menjawab perintah Emak.

Pemuda itu nampak tersenyum tersipu saat pandangan mata kami tidak sengaja bertemu. Aneh orang ini! Ingin aku berekspresi jijik, tapi aku hanya tersenyum simpul. Bagaimana pun mereka adalah tamu, aku harus bersikap sesopan mungkin.

***

"Jadi putri Njenengan ini namanya siapa, Pak?" tanya bapak-bapak tua berpeci putih.

"Oh, namanya Vina, Pak, ini putri mbareb saya," jawab Bapakku sembari tersenyum ramah kepada tamunya.

"Mak, mereka siapa?", bisikku ditelinga Emak yang dari tadi hanya tersenyum-senyum.

"Mereka teman Emak di sawah, anak laki-lakinya mau dijodohkan sama kamu, nduk,"

Sekatika mataku membola, aku tidak menyangka akan datang saat seperti ini di dalam hidupku. Aku heran, kenapa sedemikian orang tuaku sangat ingin aku menikah.

"Salam kenal, Mbak, nama saya Ari," ucap pemuda itu sembari tersenyum sopan kepadaku.

Rasanya aku muak, terlebih pemuda di depanku ini sama sekali bukan tipeku. Aku memutuskan untuk meninggaklan ruang tamu tanpa permisi. Aku tau, ini sangat tidak sopan, tapi aku benci dengan pertemuan ini.

"Vin, mau kemana?! Maaf, saya susul anak saya sebentar,"

Aku merasakan betul derap langkah Emak mengikutiku ke kamar. Ingin sekali rasanya aku berlari, jauh meninggalkan Emak. Kali ini aku merasa kecewa dengan orang tuaku. Dengan mereka mimintaku untuk segera menikah saja sudah membuat aku sangat muak, ditambah lagi malah nyarikan jodoh segala.

"Vina," ucap Emak memegang pundakku. Ku kedikkan bahu kiriku untuk melepas tangan Emak.

"Maksud Emak apa? Main undang-undang orang ke rumah buat dijodohin sama Vina! Vina nggak suka, Mak!"

"Vin, Emak cuma pengen kamu menikah dengan laki-laki yang bener-bener baik. Emak juga sudah kenal dekat sama orang tua pemuda itu, nduk,"

"Apa Emak yakin, kalau pemuda itu pria baik-baik? Seberapa lama Emak kenal dia?!"

"Em ... Baru 3 hari kalau nggak salah," Emak menjawab dengan ekspresi tanpa berdosa.

"Tiga hari? Hah, itu konyol, Mak!" Kali ini suaraku meninggi. Aku sengaja agar mereka yang ada di ruang tamu mendengar perdebatan kami. Agar mereka sadar, dan lekas pulang.

"Sssst, jangan keras-keras, nanti mereka dengar!" Emak menasehatiku dengan telunjuk menempel di bibirnya.

"Biar, Mak! Biar mereka dengar, aku ini nggak mau dijodohkan, Emak saja sana yang menikah dengan laki-laki itu!" bantahku membuat mulut Emak menganga.

Aku tau, ini bukan perbuatan yang pantas aku lakukan terhadap perempuan yang sudah melahirkanku. Tapi maaf, Mak, Vina nggak suka dengan perjodohan.

Dengan berani aku datang ke ruang tamu untuk menemui mereka.

"Maaf, Pak, Bu, saya tidak setuju dengan perjodohan yang hendak diselenggarakan ini, sekali lagi saya mohon maaf," ujarku kepada mereka dengan nada yang ku buat sesopan mungkin.

"Jangan dengarkan dia, Bu!", sanggah Emak kemudian. "Perjodohan ini akan tetap kita laksanakan,"

"Mak, Vina bilang enggak, ya enggak! Udah nggak usah ngelak!"

"Nggeh mpun, Bu, kami sekalian mohon pamit, ayo Pak, Le, kita pulang saja," pamit ibu-ibu berjilbap batik kemudian.

"Baguslah kalau Anda-Anda bisa mengerti. Sekarang juga saya minta bubar!" teriakku keras sembari menunjuk pintu, membuat tamu orang tuaku pergi dengan segera.

"Kamu apa-apaan sih, Vin. Emak malu dengan sikap kamu itu, kayak anak nggak disekolahin kamu!"

"Tau lah, Mak. Kalau masih kekeh, Emak saja yang nikah sana ...."

"Heh, pantes ya kamu ngomong kaya gitu ke Emak?!", Bapak yang dari tadi terdiam, kini mulai urun bicara.

Tanpa berlama-lama meladeni ocehan mereka, aku memilih masuk dan mengunci pintu kamarku. Duduk di tepi ranjang dengan perasaan kacau. Tak terasa air mata membanjiri kedua mataku. Nuril mencuri-curi pandang ke arahku yang mulai menangis terisak-isak. Menatapku dengan tatapan iba.

"Sabar, Mbak" ucapnya kemudian sembari menepuk-nepuk pundakku.

Ku peluk adikku sekuat mungkin. Menenggelamkan wajah senduku di dalam pelukan hangat saudara kandungku satu-satunya ini. Aku sadar, meski sering ketus dan galak, dia amat menyayangiku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status