Share

Dicampakan setelah Tidak Berpenghasilan
Dicampakan setelah Tidak Berpenghasilan
Author: Yeny Yuliana

1. Perkenalkan, namaku Vina Ambarwati Sutrisna

Namaku Vina Ambarwati Sutrisna, biasa dipanggil Vina. Saat ini aku tengah menginjak usia ke 23 tahun.

Hari-hari yang aku jalani selalu dipenuhi dengan riuhan suara mesin jahit, itu karena aku bekerja di suatu pabrik garment besar yang terletak di batas kota tempatku tinggal. Sedari lulus sekolah aku hanya menghabiskan waktuku untuk bekerja, suntuk rasanya. Aku ingin menghabiskan waktu ahir pekan dengan pacar seperti yang dilakukan teman-teman perempuanku yang lain. Tapi aku cukup ragu untuk memasuki dunia pacaran, aku sama sekali tidak berpengalaman tentang hal itu.

***

"Aku gedek, adik sepupuku minta dicarikan kenalan melulu, di kiranya mbaknya ini biro jodoh apa!" ucap Mira memonyongkon bibir mungilnya sembari memaiknan sendok dan garpu di mangkuk bakso yang baru saja dia pesan.

Mira Dwi Sulistiyani, dia sahabatku sedari pertama aku datang di pabrik ini. Dia cantik, bertubuh mungil, dan juga centil. Kadang juga sok tau, salah satu kebiasaanya yang cukup membuat aku kesal.

"Carikan lah!", jawabku cuek tanpa menoleh ke arahnya. Aku terlalu asyik mengecapi makanan yang aku pesan dari ibu kantin.

"Oh, iya. Setauku kamu kan jomblo ya sejak embrio? Kalau kamu aja gimana? Baik kok anaknya, tajir!" mata Miraa membulat sambil mengacungkan jempol tangan kananya, seolah meyakinkan aku untuk mengiyakan tawarannya.

Aku memutar bola mataku untuk menunjukan penolakan atas tawaranya. Males. Kembali mengecapi bakso milikku, namun tidak dapat dipungkiri. Dalam hati aku berpikir, bagaimana kalau ku terima saja tawaran itu? Siapa tau laki-laki memang jodohku.

"Ya? Ya?", desaknya sembari menyeringai.

"Iya, deh! Iya!" jawabku kesal, meski sebenarnya aku memang penasaran dengan laki-laki yang hendak dikenalkan denganku.

***

[Malam, Mbak! Salam kenal, aku saudara dari Mira,]

Satu pesan masuk ke ponselku saat aku tengah membuka sosial media milikku. Alisku mengkernyit. Ku ketuk-ketuk kepalaku dengan jari telunjuk, memikirkan bagaimana sebaiknya aku menjawab pesan laki-laki itu?

[Oh, iya. Salam kenal!], jawabku akhirnya.

Tanda check list abu-abu berubah menjadi biru, pesanku langsung dibaca saat itu juga.

[Namaku Fahri :)], tidak langsung ku balas, rasa penasaranku menggerakan ibu jari tangan untuk mengklik foto kontaknya. Seorang laki-laki dengan tubuh kurus, kulit coklat, dengan bentuk wajah yang tirus. Sangat jauh dari ciri-ciri pria idamanku! Tak mengapalah, itung-itung nambah kenalan.

[Namaku, Vina.]

Rasanya canggung berbasa-basi seperti ini. Tapi biarlah, nggak ada salahnya aku mencoba berkenalan dengan laki-laki.

[Ahir pekan ada acara nggak? Saya ingin ketemu, kalau kamu mau.]

Ini lagi, baru juga saling berbalas pesan, sudah ngajakin ketemuan aja! Tapi ada yang aneh, jantungku berdegup kencang saat kembali membaca kalimat, 'saya ingin ketemu'. Bagaimana ini? Atau sebaiknya aku tanya ke Emak ya baiknya gimana? Ah, jangan, aku malu!

[Iya, kita ketemu di rumah Mira.] Balasku akhirnya. Tapi hatiku gusar, bagaimana kira-kira nanti saat aku benar-benar bertemu langsung dengan laki-laki itu?

"Huuuaaaa!" teriaku secara tak sadar membuat adikku kaget.

"Opo sih, Mbak, wong edan!", wajah adik ku sangat lucu setiap kali aku berulah, membuatku semakin terpancing untuk bertingkah jail.

Namanya Nuril Nur Maulida, berusia 17 tahun dengan tinggi badan 157 senti. Berperawakan kurus dengan wajah judes, dia juga introvert. Dia satu-satunya saudara kandung yang aku punya.

"Oy! Oy! Oy!", teriakku kemudian sembari mencubit-cubit ketiaknya.

"Hiiissshhh!", kini matanya melotot.

Plakk! satu tepukan mendarat di pahaku, cukup perih. Aku sadar kali ini dia benar-benar marah, sudah saatnya aku menjauh.

Dengan sigap aku berdiri dan berlari keluar kamar, diikuti Nuril yang dengan sigap mengejarku.

"Emak!!" teriakku meminta pembelaan. Aku bersembunyi dibalik punggung ibuku.

"Pada ngapain?! Teriak malam-malam, malu sama tetangga! Malu!" Ibuku mengomel tanpa menoleh. Tanganya tengah sibuk menjahit baju sobek yang biasa dia kenakan untuk berkebun.

"Mbak Vina, Mak! Teriak-teriak tepat ditelinga aku! Bikin kesel, orang lagi serius ngapalin, kemari kau!" ucap Nuril dengan berkacak pinggang seolah menantang.

"Aahi hi hi hi ..." jawabku menggoda yang membuatnya tambah kesal.

Emak hanya menggeleng melihat kelakuan kami. Aku melihat adikku kembali memasuki kamar kami berdua. Situasi cukup aman untuk saat ini. Aku hanya perlu masuk kamar ketika adikku sudah tidur terlelap, demi menghindari balas dendam yang akan dilakukanya.

"Vin, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Kira-kira mau sampai kapan kamu sendiri? Teman-temanmu yang lain sudah pada ngasih cucu buat orang tua mereka, kapan giliran Emak, Vin?" pertanyaan Emak sekatika membuat aku merasa tak nyaman.

Situasi seperti ini selalu saja terulang. Memang di daerahku anak seusiaku kebanyakan sudah menikah dan memiliki anak, tapi aku tidak ingin terburu-buru!

"Kalau sudah ketemu jodoh ya Vina nikah, Mak. Emak nggak usah kawatir!" jawabku kesal.

Aku beranjak dari posisi dudukku. Berjalan ke kamar meninggalkan Emak sendirian di depan tv. Aku melihat adikku kembali melanjutkan hafalan yang tadi sempat terjeda karena gangguan dariku.

Melihatku berwajah masam membuat adikku segan untuk malanjutkan perdebatan kami. Dia membiarkanku berbaring disebelahnya.

"Disuruh nikah lagi?" tanya Nuril sembari membolak-balikan halaman buku yang ada di tanganya.

"Iyo! Moodku ancur, Ril!" tanganku meraih selimut untuk menutup seluruh tubuku.

Aku tidak ingin menampakan kesedihanku di depan saudara perempuan kandungku satu-satunya ini. Meskipun kami sering berdebat, sebenarnya aku sangat menyayanginya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status