Share

4. Rewang

Pagi ini udara terasa sangat dingin, aku memutuskan untuk kembali menarik selimut dan tidur usai sembahyang subuh. Terlebih ini hari Minggu. Pabrik tempatku bekerja menjadwalkan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari libur semua karyawan, terkecuali bagi mereka yang memiliki tugas lembur.

Tidur merupakan healing yang sesungguhnya bagiku. Karena di dalam tidur, aku tidak menemukan omelan Emak yang selalu menyinggung perihal nikah setiap kali berbicara denganku. Mataku mulai berat, hawa dingin pagi ini berhasil menina-bobo kan aku di atas pangkuan ranjang yang empuk.

Selang 10 menit aku tertidur, aku merasakan sentuhan kasar membelai pipiku, beradu dengan sentuhan lembut yang terasa dingin. Sebenarnya aku tidak asing dengan hal ini, tetapi keberadaanya cukup mengusikku yang sangat ingin kembali tidur, dan kembali melanjutkan mimpi.

"Meeow ..." sapa binatang berbulu itu sembari terus menggosokkan wajah lucunya ke muka bantalku.

"Apa sayang? Tiwul lapar, ya? Mau minta mamam ya, sayang?" tanganku membelai lembut bagian kepala binatang manja itu.

"Meeow ...", aku menafsirkan ucapanya ini sebagai kata 'iya'.

"Ayo, Mbak ambilkan kamu makan, Wul,"

Aku beranjak dari tempat tidurku, diikuti Tiwul yang berjalan mengekoriku. Aku tidak bisa menolak setiap kali dia meminta jatah makan kepadaku, aku begitu sayang, seperti aku menyayangi anggota keluarga yang lain.

Tiwul ini sudah seperti bagian dari anggota keluargaku. Berambut putih dengan poni hitam belah tengah membingkai wajahnya. Berwajah sedikit tirus dengan mata bewarna hazel. Hidung serta bibir bewarna merah muda, salah satu ciri dirinya yang membuatku iri sebagai kaum hawa. Aku yakin, andai Tiwul ditakdirkan sebagai manusia, sudah pasti dia akan menjadi kembang desa dikampungku.

Aku menuang makanan kucing dimangkuk yang aku beli secara khusus untuknya, sebuah mangkuk bewarna merah muda dengan dua cekungan di dalamnya, di mana satu cekungannya lagi berfungsi sebagai wadah minum.

Aku memutuskan untuk tetap diposisi berjongkok. Menemani Tiwul menghabiskan sarapannya pagi ini. Tak terasa sudah 5 tahun lamanya Tiwul hidup bersama keluargaku.

"Buruan mandi, Vin," perintah Emak sembari meletakan sayur lodeh di meja makan, lengkap dengan ikan asin sebagai lauk. Di daerahku ikan asin lebih sering disebut gereh asin.

"Masih pagi, toh ini hari Minggu, Mak."

"Kemarin, Emak dimintai tolong sama Bu Darmanto, di suruh ikutan rewang, mau ngunduh mantu, kamu ikutan lah, nggak enak kalo nggak datang, Vin."

Sebenarnya aku males, pasti di tempat rewang banyak ibu-ibu bigos, alias biang gosip. Di mana ada kerumunan dikampungku, pasti para bigos itu juga ada disana. Tapi, ada benarnya juga apa yang Emak bilang. Nggak enak kalau nggak datang, terlebih jarak rumah kami dengan rumah Bu Darmanto hanya selisih 3 rumah.

"Iya, Mak, nanti Vina berangkat bareng Emak."

"Lah iya, memang harus begitu, Vin. Biar besok kalau kamu nikah, yang ikutan rewang di acara nikahanmu juga banyak," Emak berbicara dengan nada menekan.

"Mulai .... Mulai .... "

"Loh, bukan begitu, Vin, tapi memang kan-" Emak masih saja berusaha membenarkan ucapanya.

"Uwa uwa uwa, Vina nggak dengar, Vina nggak dengar!" aku menggeleng dan menutup kedua telingaku dengan telapak tangan.

Perasaanku tidak enak. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang menyebalkan, hiks!

***

Aku dan Emak berjalan kaki menuju rumah Bu Darmanto, karena jarak cukup dekat, aneh rasanya kalo kami naik motor.

"Silahkan masuk, Bu, itu dibelakang sudah banyak juga yang datang," sambut tuan rumah dengan ramah begitu aku dan Emak tiba.

"Nggih, Buk," jawabku dan Emak hampir bersamaan.

Dan benar saja, di bawah tenda biru yang terpasang dibelakang rumah ini sudah banyak orang yang ikut merewang, tak terkecuali trio ubur-ubur si biang gosip. Aku lihat dari kejauhan mereka tengah berbincang, atau mungkin sedang asik bergosip? Aku juga tidak tau. Yang aku tahu, mereka sedang membentuk adonan kue mendut.

"Yu Lastri, sini bantuin, kok malah mbegegeg saja!" seru Bu Ginah, salah satu personil grup biang gosip.

"Oh, nggeh, Yu,"

Waduh, perasaanku mulai tidak enak. Kenapa harus Bu Ginah? Dari sekian banyak perewang disini, mengapa hanya mereka yang memanggil kami?

Dengan berat hati aku mengikuti Emak yang mulai berjalan mendekati mereka bertiga. Aku hanya diam begitu duduk di dekat mereka, demi menghindari ucapan-ucapan tak berfaedah.

Ku lapisi tanganku dengan pelastik dan mulai mengambil secukupnya adonan kue bewarna hijau itu. Kue mendut memang sudah umum dibuat di acara pernikahan di daerahku. Kue yang terbuat dari tepung ketan dengan enten-enten kelapa dan gula jawa sebagai isianya.

"Mbak Vina, kapan giliranya? Kami sudah tidak sabar pengen cepat-cepat rewang di acara nikahan Njenengan, e," ucap Bu Ginah sembari tetap membentuk adonan.

"Iya, Mbak Vina, nanti kaya si Prihati, keburu jadi perawan tua, nggak ada yang mau," Bu Anjar ikut menimpali.

Aku hanya tersenyum. Kalau boleh jujur, aku sangat tidak suka dengan pertanyaan semacam ini. Aku menikah atau tidak, bukan kah sama sekali tidak ada urusanya dengan mereka?

"Tenang saja, Bu, kemarin sudah ada pemuda mengantar Vina pulang kerumah, paling nggak lama lagi," sahut Emak dengan bangga.

Aku menyikut lengan Emak yang berbicara ngasal, hingga adonan kue yang Emak pegang jatuh menggelinding. Aku tau yang Emak maksud itu Fahri.

"Wah, dikenalin lah, Mbak, sama kita-kita, kerjaanya apa, Mbak? Jangan bilang kalau hanya tukang bangunan," Bu Ginah kembali berbicara.

"Tukang cilot paling ..." ibu-ibu ber gamis biru tua yang sedari tadi anteng, mendadak ikut bersuara.

Baru tahu aku, ternyata sifat nyinyir itu bisa menular ya. Emak sama sekali tidak memberi pembelaan kepadaku.

"Hei, jaga ucapanmu, suamiku juga dagang cilot lho!" Bu Jati tersinggung dengan ucapan personil bergamis biru tua itu.

Ingin sekali aku menyumpal mulut perempuan gemuk bergamis merah itu dengan adonan di tanganku ini. Kalau dia mulai berbicara, otomatis akan memancing 2 sahabatnya untuk ikut menimpali. Bikin kesal saja.

"Lah, bukanya, Mas Eko sendiri belum menikah ya, Bu? Itu putra Ibu yang jejaka tua?" jawabku memberanikan diri.

"Huuss!", Emak mencubit pahaku.

Aku melihat Bu Ginah melirik ke arahku dengan rahang yang ditutup rapat. Dalam hati aku merasa sangat puas, karena berhasil membungkam mulut tukang julid itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status