Pagi ini udara terasa sangat dingin, aku memutuskan untuk kembali menarik selimut dan tidur usai sembahyang subuh. Terlebih ini hari Minggu. Pabrik tempatku bekerja menjadwalkan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari libur semua karyawan, terkecuali bagi mereka yang memiliki tugas lembur.
Tidur merupakan healing yang sesungguhnya bagiku. Karena di dalam tidur, aku tidak menemukan omelan Emak yang selalu menyinggung perihal nikah setiap kali berbicara denganku. Mataku mulai berat, hawa dingin pagi ini berhasil menina-bobo kan aku di atas pangkuan ranjang yang empuk.Selang 10 menit aku tertidur, aku merasakan sentuhan kasar membelai pipiku, beradu dengan sentuhan lembut yang terasa dingin. Sebenarnya aku tidak asing dengan hal ini, tetapi keberadaanya cukup mengusikku yang sangat ingin kembali tidur, dan kembali melanjutkan mimpi."Meeow ..." sapa binatang berbulu itu sembari terus menggosokkan wajah lucunya ke muka bantalku."Apa sayang? Tiwul lapar, ya? Mau minta mamam ya, sayang?" tanganku membelai lembut bagian kepala binatang manja itu."Meeow ...", aku menafsirkan ucapanya ini sebagai kata 'iya'."Ayo, Mbak ambilkan kamu makan, Wul,"Aku beranjak dari tempat tidurku, diikuti Tiwul yang berjalan mengekoriku. Aku tidak bisa menolak setiap kali dia meminta jatah makan kepadaku, aku begitu sayang, seperti aku menyayangi anggota keluarga yang lain.Tiwul ini sudah seperti bagian dari anggota keluargaku. Berambut putih dengan poni hitam belah tengah membingkai wajahnya. Berwajah sedikit tirus dengan mata bewarna hazel. Hidung serta bibir bewarna merah muda, salah satu ciri dirinya yang membuatku iri sebagai kaum hawa. Aku yakin, andai Tiwul ditakdirkan sebagai manusia, sudah pasti dia akan menjadi kembang desa dikampungku.Aku menuang makanan kucing dimangkuk yang aku beli secara khusus untuknya, sebuah mangkuk bewarna merah muda dengan dua cekungan di dalamnya, di mana satu cekungannya lagi berfungsi sebagai wadah minum.Aku memutuskan untuk tetap diposisi berjongkok. Menemani Tiwul menghabiskan sarapannya pagi ini. Tak terasa sudah 5 tahun lamanya Tiwul hidup bersama keluargaku."Buruan mandi, Vin," perintah Emak sembari meletakan sayur lodeh di meja makan, lengkap dengan ikan asin sebagai lauk. Di daerahku ikan asin lebih sering disebut gereh asin."Masih pagi, toh ini hari Minggu, Mak.""Kemarin, Emak dimintai tolong sama Bu Darmanto, di suruh ikutan rewang, mau ngunduh mantu, kamu ikutan lah, nggak enak kalo nggak datang, Vin."Sebenarnya aku males, pasti di tempat rewang banyak ibu-ibu bigos, alias biang gosip. Di mana ada kerumunan dikampungku, pasti para bigos itu juga ada disana. Tapi, ada benarnya juga apa yang Emak bilang. Nggak enak kalau nggak datang, terlebih jarak rumah kami dengan rumah Bu Darmanto hanya selisih 3 rumah."Iya, Mak, nanti Vina berangkat bareng Emak.""Lah iya, memang harus begitu, Vin. Biar besok kalau kamu nikah, yang ikutan rewang di acara nikahanmu juga banyak," Emak berbicara dengan nada menekan."Mulai .... Mulai .... ""Loh, bukan begitu, Vin, tapi memang kan-" Emak masih saja berusaha membenarkan ucapanya."Uwa uwa uwa, Vina nggak dengar, Vina nggak dengar!" aku menggeleng dan menutup kedua telingaku dengan telapak tangan.Perasaanku tidak enak. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang menyebalkan, hiks!***Aku dan Emak berjalan kaki menuju rumah Bu Darmanto, karena jarak cukup dekat, aneh rasanya kalo kami naik motor."Silahkan masuk, Bu, itu dibelakang sudah banyak juga yang datang," sambut tuan rumah dengan ramah begitu aku dan Emak tiba."Nggih, Buk," jawabku dan Emak hampir bersamaan.Dan benar saja, di bawah tenda biru yang terpasang dibelakang rumah ini sudah banyak orang yang ikut merewang, tak terkecuali trio ubur-ubur si biang gosip. Aku lihat dari kejauhan mereka tengah berbincang, atau mungkin sedang asik bergosip? Aku juga tidak tau. Yang aku tahu, mereka sedang membentuk adonan kue mendut."Yu Lastri, sini bantuin, kok malah mbegegeg saja!" seru Bu Ginah, salah satu personil grup biang gosip."Oh, nggeh, Yu,"Waduh, perasaanku mulai tidak enak. Kenapa harus Bu Ginah? Dari sekian banyak perewang disini, mengapa hanya mereka yang memanggil kami?Dengan berat hati aku mengikuti Emak yang mulai berjalan mendekati mereka bertiga. Aku hanya diam begitu duduk di dekat mereka, demi menghindari ucapan-ucapan tak berfaedah.Ku lapisi tanganku dengan pelastik dan mulai mengambil secukupnya adonan kue bewarna hijau itu. Kue mendut memang sudah umum dibuat di acara pernikahan di daerahku. Kue yang terbuat dari tepung ketan dengan enten-enten kelapa dan gula jawa sebagai isianya."Mbak Vina, kapan giliranya? Kami sudah tidak sabar pengen cepat-cepat rewang di acara nikahan Njenengan, e," ucap Bu Ginah sembari tetap membentuk adonan."Iya, Mbak Vina, nanti kaya si Prihati, keburu jadi perawan tua, nggak ada yang mau," Bu Anjar ikut menimpali.Aku hanya tersenyum. Kalau boleh jujur, aku sangat tidak suka dengan pertanyaan semacam ini. Aku menikah atau tidak, bukan kah sama sekali tidak ada urusanya dengan mereka?"Tenang saja, Bu, kemarin sudah ada pemuda mengantar Vina pulang kerumah, paling nggak lama lagi," sahut Emak dengan bangga.Aku menyikut lengan Emak yang berbicara ngasal, hingga adonan kue yang Emak pegang jatuh menggelinding. Aku tau yang Emak maksud itu Fahri."Wah, dikenalin lah, Mbak, sama kita-kita, kerjaanya apa, Mbak? Jangan bilang kalau hanya tukang bangunan," Bu Ginah kembali berbicara."Tukang cilot paling ..." ibu-ibu ber gamis biru tua yang sedari tadi anteng, mendadak ikut bersuara.Baru tahu aku, ternyata sifat nyinyir itu bisa menular ya. Emak sama sekali tidak memberi pembelaan kepadaku."Hei, jaga ucapanmu, suamiku juga dagang cilot lho!" Bu Jati tersinggung dengan ucapan personil bergamis biru tua itu.Ingin sekali aku menyumpal mulut perempuan gemuk bergamis merah itu dengan adonan di tanganku ini. Kalau dia mulai berbicara, otomatis akan memancing 2 sahabatnya untuk ikut menimpali. Bikin kesal saja."Lah, bukanya, Mas Eko sendiri belum menikah ya, Bu? Itu putra Ibu yang jejaka tua?" jawabku memberanikan diri."Huuss!", Emak mencubit pahaku.Aku melihat Bu Ginah melirik ke arahku dengan rahang yang ditutup rapat. Dalam hati aku merasa sangat puas, karena berhasil membungkam mulut tukang julid itu."Vin, aku langsung pulang ya? Ada pesanan sayuran untuk acara hajatan." Ucap suamiku begitu mobil yang kami kendarai tiba di jalanan beraspal, tepat di depan pekarangan rumahku. "Iya." Jawabku singkat, tanpa mempertanyakan atau pun sekedar berbasa-basi meminta suamiku singgah sebentar di rumah orang tuaku. Aku langsung melenggang memasuki pekarangan rumah tanpa mempedulikan suamiku lagi. Aku hanya ingin segera menatap wajah keluarga yang sangat aku rindukan. Mungkin baru tiga bulan aku tidak menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangku dalam asuhan orang tuaku, tetapi rasanya setara satu tahun. Langkahku terasa berat saat aku memasuki rumah orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungan dan kehangatan di masa lalu. Namun, kali ini, aku datang dengan hati yang hancur dan beban yang tak tertahankan. Aku membutuhkan dukungan dan kekuatan dari keluargaku untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja kudapati. "Assalamu'alaikum," aku mengucapkan
Siang itu aku baru saja selesai menjemur cucian di halaman rumah, dan disaat bersamaan aku melihat ibu mertuaku turun dari motor tukang ojek. Beliau berlalu begitu saja seolah tidak ada orang di sana. Kebetulan suamiku belum pulang, aku berpikir untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang masalah berat yang sedang aku alami. "Sudah pulang, Mbok," sapaku saat berlalu melintasi ibu mertua yang sedang bersandar di kursi sembari memainkan ponsel. "Hem," ketus, singkat, dan padat. Memang seperti itulah kebiasaan ibu mertua jika aku menyapanya. Tak mengapa, mungkin setelah aku menceritakan borok suamiku, ibu mertua akan sedikit berbaik hati padaku. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang foto tak senonoh Akas dengan Witri. Meskipun aku takut dengan reaksi ibu mertuaku, aku merasa bahwa kejujuran adalah langkah pertama yang harus aku ambil. "Mbok, ada yang ingin saya kasih tau sama si Mbok." ucapku seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah mertuaku. Sorot mata
Malam semakin larut, suasana di rumah terasa hening. Suara jangkrik bersahutan terdengar nyaring mengisi keheningan malam. Aku yang tadinya menatap bintang di langit dan menyampaikan perasaan rinduku akan kebersamaan dengan keluargaku akhirnya menutup jendela kamar saat angin dingin menggigit kulit. Saat aku berbalik badan dan berjalan menuju ranjang, ku dapati Akas sedang memainkan ponselnya. Apa yang sedang dia lakukan? Entahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkan apa yang menarik dari ponselnya saat ini. Pikiranku terlalu penuh dengan tubuh sempurna Witri yang hanya menggunakan pakaian dalam di dalam galeri ponsel suamiku. Aku berbaring memunggungi Akas dan memaksa mataku untuk memejam. Bayangan akan kebersamaan di kampung asalku bersama orang tua dan adikku Nuril terlintas di hati yang membuatku semakin rindu. Huh, seandainya dulu aku tau akan jadi seperti ini, mungkin aku akan berbuat tega terhadap Akas dan menolakpinangannya apapun yang terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi
Aku duduk di samping tempat tidur, mataku terpaku pada ponsel suamiku yang tergeletak di atas nakas. Suamiku sudah tertidur pulas di sebelahku. Seperti yang sudah ku rencanakan sebelumnya, aku akan mengecek isi ponselnya untuk mencari bukti terkait kecurigaanku. Aku segera meraih ponsel Akas yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku segera membuka ponselnya yang ternyata masih menggunakan kata sandi yang sama. Aku berharap Akas tak menyadari bahwa aku sedang menelusuri pesan dan foto-foto yang tersembunyi di dalam ponselnya. Dalam diam, hatiku berdebar kencang ketika aku menemukan sesuatu yang membuatku terdiam. Ada banyak foto yang menarik perhatianku. Foto itu menampilkan Akas berpose mesra dengan seorang wanita setengah telanjang, hanya menggunakan setelan pakaian dalam berwarna merah muda. Wanita itu tak lain adalah Witri, wanita dari masalalu Akas. Tangan Akas dan kecupan bibirnya di atas buah dada wanita itu membuat perutku berdesir. Aku mengambil ponselku untuk memfoto satu
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku