"Gimana kelanjutan kamu dengan Fahri, Vin?" Mira bertanya padaku tanpa menoleh. Tangan dan matanya tetap fokus dengan kain yang tengah dia obras, sebelum ahirnya diletakan di mejaku untuk proses berikutnya.
"Nggak ada kelanjutan. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, Mir." jawabku datar.Aku tahu, Mira akan kesal dengan jawaban yang keluar dari mulutku. Lagipula, aku males andai punya pacar tukang pamer seperti si Fahri itu."Ck, kamu itu perempuan beruntung, Vin. Berkali-kali aku nyariin Fahri kenalan, tapi cuma kamu yang bisa bikin dia sreg. Dia masih hubungi kamu, kan?""Ya masih. Paling ya sebatas 'udah makan?', 'udah tidur', 'udah mandi?'. Aku bosen ngladenin basa-basi nggak penting. Toh setiap hari Emakku dirumah juga menanyakan hal semacam itu.""Itu perhatian namanya ...""Emang suamimu dulu waktu PDKT juga begitu, Mir?""Kayanya, enggak deh," Mira terlihat berpikir saat menjawab pertanyaanku. "Eh, kayanya iya. Entah, aku sudah lupa, Vin,"Aku memaklumi jika Mira lupa. Dia memacari 3 pria sekaligus, sebelum ahirnya menikah dengan suaminya. Sungguh wanita buaya."Oh-"Mira mencebik setelah mendengar jawabanku yang sangat singkat.***Aku menghela nafas panjang setelah target produksi hari ini melampaui jumlah terget yang ditentukan. Tidak ada kewajiban lembur hari ini. Aku bisa pulang lebih awal. Ah, senang rasanya. Setelah seminggu penuh aku selalu pulang petang, kini aku merasakan kembali keluar pabrik disaat matahari belum terbenam.Senja terpampang menjingga dengan megahnya menghiasi cakrawala. Sekejap aku menikmati mahakarya indah dari tangan Sang Pencipta itu. Aku ingin menemukan pria yang mencintaiku seperti senja. Senja selalu menerima langit apa adanya. Aku harap Tuhan sisakan satu laki-laki seperti senja yang diciptakan khusus untukku.***Satu sepeda motor matic bewarna hitam terparkir di teras rumahku. Membuatku berhenti sejenak untuk berpikir. Kiranya, milik siapa motor ini? Sepeda motor dengan plat kendaraan kota Semarang, aku belum pernah melihat motor ini sebelumnya. Tamu kah? Atau jangan-jangan laki-laki aneh yang sengaja Emak undang ke rumah untuk dijodohkan denganku. Seperti waktu lalu.Dari pada hanya menerka-nerka dan aku jadi parno gak jelas, lebih baik langsung saja aku pastikan."Assalamualaikum," netraku menyapu seisi ruang tamu. Rupanya Fahri sedang duduk sembari berbincang dengan orang tuaku."Wa'alaikumsalam" jawab mereka serentak."Sudah pulang, Vin?" tanya Fahri sembari tersenyum."Ya, bisa kamu lihat sendiri kan," jawabku datar."Vin, ditanya baik, ya harusnya kamu jawabnya baik. Kasian lo, Nak Fahri jauh-jauh dari Ungaran datang ke sini. Mbok ya dihargai,"Aku hanya memutar bola mata menanggapi ocehan Emak.Sebenarnya aku malas ketemu dia lagi. Tapi ini lebih baik. Setidaknya Emak berpikir aku punya pacar, dan Emak nggak akan jodoh-jodohin aku seenak ekornya sendiri. Seketika aku teringat dengan perkataan batinku, Emak kan nggak punya ekor.Aku mendaratkan berat tubuhku di atas kursi. Masih memakai atribut lengkapku sebagai pengendara motor, jaket dan sarung tangan yang masih membungkus punggung tangan dan jemariku."Itu helmnya nggak mau dilepas, Vin?" Bapak menunjuk benda yang menutupi kepalaku. Helm bergambar karakter Jarjit Singh, tokoh kesukaanku di sinema animasi Upin dan Ipin."Oh, lupa, Pak,"Fahri terlihat menutup mulut dengan telapak tangan. Aku tau saat ini dia tengah menertawakanku.Aku memperhatiakn pemandangan di atas meja. Mencari sesuatu untuk aku kunyah. Terdapat secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Dan toples-toples berisi camilan. Namun, betapa terkejutnya aku, saat melihat setoples permen jelly kesukaanku hanya tersisa 3 butir."Lah, Mak, jelly gulungnya habis?"Seketika Fahri yang tengah menyesap kopi terbatuk. Aku melihat Emak mengedipkan mata, seolah memberi kode yang langsung aku ketahui apa maknanya. Fahri yang sudah menghabiskan permen jallyku. Aku mencebik kesal ke arah Emak.Sebenarnya tak masalah, toh aku bisa membelinya lagi. Aku kesal karena yang menghabiskan jellyku si Fahri, laki-laki ngeselin, tukang pamer. Baru juga sekali bertamu ke rumah, sudah menghabis-habiskan."Sudah, ayo, Pak. Kita jangan ganggu mereka. Biarkan mereka ngobrol berdua" Emak berjalan masuk menarik tangan Bapak."Kalau kamu mau, aku bisa belikan sekarang," Fahri menawari."Nggak, kok. Nggak perlu. Jadi apa maksud kedatanganmu kemari?" aku bertanya tanpa basa-basi."Pengen silaturahmi aja, sekalian pengen ketemu orang tuamu. Kamu keberatan aku datang kesini?"'Ya memang aku keberatan, Fahri, dengan kedatanganmu di rumah. Sudah pasti Emak berharap lebih, kalau kau itu pacarku. Tapi tak mengapa, kau bisa menjadi tamengku untuk saat ini. Hahaha.' batinku."Oh, enggak, sama sekali enggak." aku memaksa diri untuk tersenyum. Fahri pun tersenyum sembari mengangguk. Sok iye sekali laki-laki ini.Aku baru menyadari, ternyata di luar rumah, ada seorang perempuan paruh baya bertubuh gemuk. Sedang mengintaiku di balik pohon kelengkeng yang berjarak 7 meter dari teras rumah. Mungkin dia tidak menyadari, besar tubuhnya masih terlihat olehku sekalipun dia berusaha sembunyi disana. Dasar Bu Ginah! Sebenarnya, apa yang sedang dia lakukan?***"Bu, Pak, Fahri pamit, ya?" pamit Fahri sambil menempelkan kening di punggung tangan orang tuaku secara bergantian."Nggeh, Nak Fahri, sering-sering datang kesini, Le. Ibu seneng kamu main kesini, lain kali kalo datang kesini, mau minta dibuatin apa?" Emak begitu sumpringah saat berbicara dengan Fahri."Nggak usah, repot-repot, Bu. Diijinkan datang saja, saya sudah senang. Saya pamit ya, Pak, Bu."Kami sekeluarga mengantar Fahri sampai ke teras. Menunggu Fahri melajukan kendaraan, baru kami akan kembali masuk ke dalam rumah.Tak berselang lama setelah Fahri melajukan kendaraan. Perempuan berkaos orange yang tadi mengintip di balik pohon kelengkeng datang menghampiri kami. Tapi dia tidak sendiri, kali ini dia bersama 2 anggota lainnya."Jadi, itu calon suami Mbak Vina, Yu Lastri?" ucap Bu Ginah sembari menunjuk ke arah si Fahri pergi."InshaAllah, inggih Bu Ginah," Emak tersenyum puas. Sembari mengelus Tiwul yang ada dalam gendongan Emak."Apa-apaan sih, Mak," aku mencebik sembari mencubit tangan Emak."Walah ... Walah ... Tak kira itu ganteng to, kok ternyata jiteng, kurus, kaya cacing," ucap Bu Ginah menghina, diikuti gelak tawa 2 personil Biang Gosip yang lain. Membuat kesal saja."Tapi, dia itu anak orang kaya ..." Emak berbicara tenang, namun penuh penekanan. "La wong kemarin saja, ngantar Vina pulang naik mobil,""Halah, paling juga mobil minjem. Dari tampilanya saja nggak terlihat kalau dia orang kaya kok. Awas, Mbak Vina, hati-hati, nanti kalau kamu nikah, ternyata suamimu itu pengangguran, gimana?" kali ini perempuan bertubuh gendut itu menyilangkan tangan di depan dada. Seperti merasa sudah paling benar dengan ucapanya.Aku hanya diam. Enggan untuk meladeni mereka, meski aku bisa balik menyerang dengan berkata,"Seperti halnya Eko, anak Bu Ginah, kan. Jiteng, kurus, rambut keribo, sudah seperti genderuwo saja," tapi aku hanya membatin. Nggak ada bedanya aku dengan dia, andai kata aku balas ocehanya itu. Lagipula, aku tidak mau menghina fisik. Bukankah sama saja aku menghina Penciptanya?"Tapi kan-" sahut Emak kemudian yang langsung terhenti begitu aku menarik tanganya. Aku mengajak Emak masuk supaya kami tidak berlama-lama berhadapan dengan mereka."Biarlah, Mak. Anjing menggonggong, Kafilah berlalu!" teriakku santer sembari menggandeng Emak masuk ke rumah."Loh, loh, malah ngatain anj*ng, dasar bocah kurang ajar!" ucap Bu Ginah yang sama sekali tidak aku hiraukan.Brakk!!Aku membanting pintu untuk meluapkan kekesalanku. Bagaimana bisa, aku hidup berdampingan dengan tetangga aneh seperti mereka? Suka sekali ikut campur urusan orang lain."Nggak usah dipikir, Mak. Biarin aja, kalau bisa, Emak menghindar setiap ketemu mereka." aku menggerutu sembari melepas asal jilbap yang ku pakai.Aku melihat Emak menyeka kasar air mata yang tumpah membasahi pipi. Ini sangat konyol, Emak menangis seperti anak-anak yang sedang merajuk hanya karena hal seperti itu? Ck ck. Aku hanya bisa bisa terus beristighfar di dalam hati.***"Vin, aku langsung pulang ya? Ada pesanan sayuran untuk acara hajatan." Ucap suamiku begitu mobil yang kami kendarai tiba di jalanan beraspal, tepat di depan pekarangan rumahku. "Iya." Jawabku singkat, tanpa mempertanyakan atau pun sekedar berbasa-basi meminta suamiku singgah sebentar di rumah orang tuaku. Aku langsung melenggang memasuki pekarangan rumah tanpa mempedulikan suamiku lagi. Aku hanya ingin segera menatap wajah keluarga yang sangat aku rindukan. Mungkin baru tiga bulan aku tidak menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh dan berkembangku dalam asuhan orang tuaku, tetapi rasanya setara satu tahun. Langkahku terasa berat saat aku memasuki rumah orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungan dan kehangatan di masa lalu. Namun, kali ini, aku datang dengan hati yang hancur dan beban yang tak tertahankan. Aku membutuhkan dukungan dan kekuatan dari keluargaku untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja kudapati. "Assalamu'alaikum," aku mengucapkan
Siang itu aku baru saja selesai menjemur cucian di halaman rumah, dan disaat bersamaan aku melihat ibu mertuaku turun dari motor tukang ojek. Beliau berlalu begitu saja seolah tidak ada orang di sana. Kebetulan suamiku belum pulang, aku berpikir untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang masalah berat yang sedang aku alami. "Sudah pulang, Mbok," sapaku saat berlalu melintasi ibu mertua yang sedang bersandar di kursi sembari memainkan ponsel. "Hem," ketus, singkat, dan padat. Memang seperti itulah kebiasaan ibu mertua jika aku menyapanya. Tak mengapa, mungkin setelah aku menceritakan borok suamiku, ibu mertua akan sedikit berbaik hati padaku. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu mertuaku tentang foto tak senonoh Akas dengan Witri. Meskipun aku takut dengan reaksi ibu mertuaku, aku merasa bahwa kejujuran adalah langkah pertama yang harus aku ambil. "Mbok, ada yang ingin saya kasih tau sama si Mbok." ucapku seraya berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah mertuaku. Sorot mata
Malam semakin larut, suasana di rumah terasa hening. Suara jangkrik bersahutan terdengar nyaring mengisi keheningan malam. Aku yang tadinya menatap bintang di langit dan menyampaikan perasaan rinduku akan kebersamaan dengan keluargaku akhirnya menutup jendela kamar saat angin dingin menggigit kulit. Saat aku berbalik badan dan berjalan menuju ranjang, ku dapati Akas sedang memainkan ponselnya. Apa yang sedang dia lakukan? Entahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkan apa yang menarik dari ponselnya saat ini. Pikiranku terlalu penuh dengan tubuh sempurna Witri yang hanya menggunakan pakaian dalam di dalam galeri ponsel suamiku. Aku berbaring memunggungi Akas dan memaksa mataku untuk memejam. Bayangan akan kebersamaan di kampung asalku bersama orang tua dan adikku Nuril terlintas di hati yang membuatku semakin rindu. Huh, seandainya dulu aku tau akan jadi seperti ini, mungkin aku akan berbuat tega terhadap Akas dan menolakpinangannya apapun yang terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi
Aku duduk di samping tempat tidur, mataku terpaku pada ponsel suamiku yang tergeletak di atas nakas. Suamiku sudah tertidur pulas di sebelahku. Seperti yang sudah ku rencanakan sebelumnya, aku akan mengecek isi ponselnya untuk mencari bukti terkait kecurigaanku. Aku segera meraih ponsel Akas yang sedari tadi menarik perhatianku. Aku segera membuka ponselnya yang ternyata masih menggunakan kata sandi yang sama. Aku berharap Akas tak menyadari bahwa aku sedang menelusuri pesan dan foto-foto yang tersembunyi di dalam ponselnya. Dalam diam, hatiku berdebar kencang ketika aku menemukan sesuatu yang membuatku terdiam. Ada banyak foto yang menarik perhatianku. Foto itu menampilkan Akas berpose mesra dengan seorang wanita setengah telanjang, hanya menggunakan setelan pakaian dalam berwarna merah muda. Wanita itu tak lain adalah Witri, wanita dari masalalu Akas. Tangan Akas dan kecupan bibirnya di atas buah dada wanita itu membuat perutku berdesir. Aku mengambil ponselku untuk memfoto satu
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
Satu minggu berlalu semenjak operasi pengangkatan kista dan satu ovariumku. Hari ini, aku berniat untuk memulai hariku seperti sebelumnya. Beberapa hari hanya berbaring di kasur membuatku merasa bosan. Aku bangkit dari tempat tidur dan memulai aktifitas membersihkan tubuh. Setibanya di kamar mandi dan melepas pakaianku, mataku tertuju pada bekas jahitan yang ada di perut. Entah mimpi apa yang pernah ku alami, sampai aku menemui kejadian yang sangat tidak ingin aku alami. Aku menyentuh bagian bekas jahitan di perutku sembari menatap langit-langit kamar mandi dengan tatapan menerawang. Satu ovariumku telah diangkat. Bukankah itu artinya, peluangku untuk mendapatkan anak juga akan berkurang? Bagaimana jika suamiku memilih untuk meninggalkanku karena tak kunjung mendapat momongan?Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunanku. Aku langsung mendesah kesal mendengar nada bicara menyebalkan yang aku tahu persis suara siapa itu. "Mbak Vina, cepet ya? Keburu telat aku berangkat ke seko
Aku benar-benar merasa bosan berada terlalu lama di ruangan ini. Sudah satu jam aku keluar untuk menghisap beberapa rokok sebelum akhirnya kembali ke ruangan ini, tetapi istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda pergerakan. Aku mendaratkan pantat di sebuah kursi yang ada di samping ranjang. Aku meraih ponsel dari dalam saku celana untuk membunuh rasa bosan. Setidaknya mencari hiburan agar tidak mati gara-gara bosan menunggu terlalu lama di sini. Banyak pesan masuk yang belum sempat aku balas karena sungkan dengan keluarga istriku. Aku baca deretan pesan masuk, dari saudara yang menanyakan kondisi istriku saat ini. Tapi ada satu nama yang membuatku seakan berhenti bernafas, karena saking senangnya. Tanpa menunggu lama, aku segera membalas pesan dari gadis tetapi bukan perawan pujaanku, Witri. Entah mengapa bayangan wajah cantiknya tetap menyelinap di pikiranku, meski aku sedang dilanda kekacauan karena perbuatanku yang menyebapkan istriku terbaring seperti sekarang ini.[Yank, krim
PoV AkasAku berjalan mondar-mandir di depan ruangan operasi. Sepasang mata masih menatapku tajam, sudah seperti harimau yang membidik mangsa saja gadis itu. Setiap kali pandangan kami berserobok, aku tersenyum dan berpura-pura tidak merasa sedang diperhatikan olehnya. Cantik, sih. Tapi sepertinya Nuril itu tipe gadis yang ganas. Kalau saja sejak awal yang aku temukan pingsan di halte gadis itu bukan Vina, mungkin dengan membuatnya berhutang budi padaku, dia akan mudah menerimaku seperti kakaknya yang bodoh. Hanya perlu sedikit gombalan saja.Aku terus merutuki diri karena berlaku implusif yang menyebapkan Vina jatuh pingsan. Semoga kista yang dia alami jinak. Tolong lancarkan oprasi istriku Tuhan. Rasa cinta memang belum tumbuh di hatiku, tapi mengingatnya merintih kesakitan, membuat aku iba dan menyesal karena telah berbuat kasar padanya. Mungkin lebih tepatnya, aku takut jika kesalahan yang ku perbuat berakibat fatal. Bagaimana jika kistanya pecah? “Duduk Nak Akas. Kamu yang tena