Suara ketukan pintu terdengar di ruangan rumah sakit tempat Aruna dirawat. Daniel yang sedang menata buah-buahan di nakas buru-buru membuka pintu, dan terkesiap ketika melihat sosok Gavin Lysandros berdiri tegap di hadapannya."Tu-tuan Gavin?" Daniel tergagap, rasa bersalah langsung membanjirinya. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap langsung mata mantan bosnya itu. "Silakan masuk."Tanpa berkata apa-apa, Gavin melangkah masuk dengan langkah berwibawa. Matanya langsung tertuju pada Aruna yang terbaring di ranjang dengan pelipis diperban. Wanita itu tampak terkejut melihat kehadiran Gavin, hanya mampu tersenyum tipis ke arahnya. Gavin mengangguk sekilas sebagai balasan.Suasana ruangan terasa kaku dan tegang. Daniel berdiri gelisah di sudut ruangan, jemarinya meremas-remas ujung kemejanya tanpa sadar."Bisakah kita bicara berdua saja?" Gavin akhirnya bersuara, tatapannya tertuju pada Daniel.Daniel mengangguk cepat. "Bisa, Tuan." Ia berpaling pada Aruna, menggenggam tangannya seki
Mobil Gavin meluncur mulus memasuki area parkir eksklusif Geovany Group. Bangunan pencakar langit dengan fasad kaca berkilau itu menjulang megah di hadapan mereka. Gavin memarkir mobilnya di spot yang telah disediakan khusus untuk tamu VIP, lalu mematikan mesin."Kita sudah sampai," ujar Gavin, berusaha menenangkan Livia yang tampak semakin gugup.Dengan sigap, Gavin keluar dari mobil dan bergegas membukakan pintu untuk Livia. Tangan kanannya terulur, memberi isyarat pada Livia untuk menggandengnya."Tak perlu takut," bisik Gavin lembut. "Apapun yang terjadi, aku bersamamu."Livia menarik napas dalam-dalam, meraih tangan Gavin dan menggenggamnya erat. Gavin bisa merasakan jemari Livia yang gemetar dalam genggamannya.Dengan langkah penuh percaya diri, Gavin menuntun Livia memasuki lobi megah Geovany Group. Lantai marmer hitam mengkilap, chandelier kristal berkilauan, dan dinding berlapis ukiran kayu memberi kesan mewah nan elegan.Dua orang petugas keamanan di pintu depan segera membu
Evita menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap bergantian ke arah Gavin dan Livia. "Saya percaya dengan membantu Anda, kita bisa menciptakan sinergi yang menguntungkan kedua belah pihak. Geovany Group bisa memperluas jaringan, dan Lysandros Group bisa bangkit dari keterpurukan.""Tapi jujur saja," Evita menambahkan, tatapannya kini tertuju sepenuhnya pada Livia, "saya memiliki alasan personal juga."Livia mengerjapkan mata, tidak mengerti. "Maksud Anda?"Evita tersenyum lembut. "Mungkin belum saatnya saya jelaskan. Yang pasti, saya ingin membantu kalian." Ia mengalihkan pembicaraan dengan cepat. "Bagaimana kondisi kehamilanmu, Nona Livia? Berapa bulan sekarang?"Livia, masih bingung dengan perubahan topik yang mendadak, menjawab, "Delapan bulan, Nyonya Geovany."Mata Evita berbinar-binar. "Oh! Sebentar lagi kamu akan melahirkan!" Ada kegembiraan yang tulus dalam suaranya. "Jika kalian membutuhkan bantuan apapun, termasuk rekomendasi dokter kandungan terbaik atau rumah sakit, jangan sung
Gavin Lysandros, mematikan mesin mobilnya di garasi rumah mewahnya yang berada di kawasan elit Menteng. Jam tangan mahalnya menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya, saat ini ia masih berada di Singapura menghadiri rapat direksi. Tapi, kejutan ulang tahun untuk sang istri lebih penting dari apapun. Dengan kue ulang tahun di tangannya, ia melangkah tanpa suara, memasuki rumah, menaiki tangga hingga ke lantai dua. Saat tiba di depan pintu kamar utama, ia mematung. Samar-samar terdengar desahan dari dalam. "Ah ... Daniel ... Kamu begitu gagah perkasa. Gavin tidak pernah bisa memuaskanku seperti ini." Suara Bella terdengar dengan jelas. Lima tahun menikah, Gavin memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Di ranjang pun dia payah ... loyo ... tidak bisa membuatku puas," lanjut Bella di sela-sela desahan. "Nyonya Bella memang butuh pria jantan seperti saya ...." Suara Daniel, sopir pribadi yang sudah ia percaya selama tiga tahun, membuat darah Gavin mendidih. "Mmhh ... ya ... Gavin t
Sehari sebelumnya ...Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka."Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menin
Kembali ke hotel ....Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose. Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata. Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental."Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belu
"Maafkan Livia ...." Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembal
"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama. "Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, keb
Evita menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap bergantian ke arah Gavin dan Livia. "Saya percaya dengan membantu Anda, kita bisa menciptakan sinergi yang menguntungkan kedua belah pihak. Geovany Group bisa memperluas jaringan, dan Lysandros Group bisa bangkit dari keterpurukan.""Tapi jujur saja," Evita menambahkan, tatapannya kini tertuju sepenuhnya pada Livia, "saya memiliki alasan personal juga."Livia mengerjapkan mata, tidak mengerti. "Maksud Anda?"Evita tersenyum lembut. "Mungkin belum saatnya saya jelaskan. Yang pasti, saya ingin membantu kalian." Ia mengalihkan pembicaraan dengan cepat. "Bagaimana kondisi kehamilanmu, Nona Livia? Berapa bulan sekarang?"Livia, masih bingung dengan perubahan topik yang mendadak, menjawab, "Delapan bulan, Nyonya Geovany."Mata Evita berbinar-binar. "Oh! Sebentar lagi kamu akan melahirkan!" Ada kegembiraan yang tulus dalam suaranya. "Jika kalian membutuhkan bantuan apapun, termasuk rekomendasi dokter kandungan terbaik atau rumah sakit, jangan sung
Mobil Gavin meluncur mulus memasuki area parkir eksklusif Geovany Group. Bangunan pencakar langit dengan fasad kaca berkilau itu menjulang megah di hadapan mereka. Gavin memarkir mobilnya di spot yang telah disediakan khusus untuk tamu VIP, lalu mematikan mesin."Kita sudah sampai," ujar Gavin, berusaha menenangkan Livia yang tampak semakin gugup.Dengan sigap, Gavin keluar dari mobil dan bergegas membukakan pintu untuk Livia. Tangan kanannya terulur, memberi isyarat pada Livia untuk menggandengnya."Tak perlu takut," bisik Gavin lembut. "Apapun yang terjadi, aku bersamamu."Livia menarik napas dalam-dalam, meraih tangan Gavin dan menggenggamnya erat. Gavin bisa merasakan jemari Livia yang gemetar dalam genggamannya.Dengan langkah penuh percaya diri, Gavin menuntun Livia memasuki lobi megah Geovany Group. Lantai marmer hitam mengkilap, chandelier kristal berkilauan, dan dinding berlapis ukiran kayu memberi kesan mewah nan elegan.Dua orang petugas keamanan di pintu depan segera membu
Suara ketukan pintu terdengar di ruangan rumah sakit tempat Aruna dirawat. Daniel yang sedang menata buah-buahan di nakas buru-buru membuka pintu, dan terkesiap ketika melihat sosok Gavin Lysandros berdiri tegap di hadapannya."Tu-tuan Gavin?" Daniel tergagap, rasa bersalah langsung membanjirinya. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap langsung mata mantan bosnya itu. "Silakan masuk."Tanpa berkata apa-apa, Gavin melangkah masuk dengan langkah berwibawa. Matanya langsung tertuju pada Aruna yang terbaring di ranjang dengan pelipis diperban. Wanita itu tampak terkejut melihat kehadiran Gavin, hanya mampu tersenyum tipis ke arahnya. Gavin mengangguk sekilas sebagai balasan.Suasana ruangan terasa kaku dan tegang. Daniel berdiri gelisah di sudut ruangan, jemarinya meremas-remas ujung kemejanya tanpa sadar."Bisakah kita bicara berdua saja?" Gavin akhirnya bersuara, tatapannya tertuju pada Daniel.Daniel mengangguk cepat. "Bisa, Tuan." Ia berpaling pada Aruna, menggenggam tangannya seki
Mentari pagi menyusup melalui celah tirai jendela kamar Livia. Wanita itu mengerjapkan mata, perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk. Ia bangun dengan hati-hati, mengelus perutnya yang membuncit sambil tersenyum kecil merasakan gerakan bayinya. Livia melangkah ke jendela, membuka tirainya lebar-lebar, dan terkesiap melihat mobil Gavin terparkir di halaman."Gavin di sini?" gumamnya pada diri sendiri, jantungnya berdegup kencang.Dengan tergesa-gesa, Livia melangkah ke kamar mandi. Setelah mandi, ia membuka lemari pakaian, menimbang-nimbang gaun mana yang akan ia kenakan. Tangannya berhenti pada dress berwarna soft peach yang elegan namun nyaman dipakai untuk tubuh hamilnya.Dengan teliti, Livia mendandani wajahnya, memilih riasan natural yang menonjolkan kecantikan alaminya. Ia menyapukan sedikit lip tint merah muda di bibirnya dan mengaplikasikan maskara tipis pada bulu matanya yang lentik. Rambutnya yang hitam legam ia biarkan tergerai, hanya disematkan jepit kecil di si
Di taman rumahnya, Livia duduk di tepi kolam ikan koi. Jemarinya yang lentik sesekali menyentuh permukaan air, membuat ikan-ikan berwarna-warni berenang mendekat. Perutnya yang membuncit delapan bulan terlihat kontras dengan tubuhnya yang ramping. Matanya menerawang jauh, memikirkan perjalanan hidupnya yang tak pernah ia bayangkan akan seperti ini.Getaran ponsel di saku dress-nya membuyarkan lamunan. Nama "Gavin" berkedip di layar, membuat jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menerima panggilan itu."Halo?" Suaranya terdengar lembut."Livia." Suara bariton Gavin terdengar tegas namun ada nada lelah di sana. "Apa aku mengganggu?""Tidak, tidak sama sekali," jawab Livia cepat, merapikan anak rambut yang tertiup angin. "Ada apa, Gavin?"Hening sejenak sebelum Gavin melanjutkan. "Ada ... situasi yang perlu kita bicarakan. Ini tentang calon investor untuk Lysandros Group."Livia mengernyitkan dahi, bingung mengapa urusan bisnis Gavin harus dibicarakan dengannya.
"Benar, Pak. Beliau mengatakan ingin berbicara langsung dengan Anda segera setelah Anda tiba di Indonesia. Katanya sangat penting dan ... menarik untuk Lysandros Group.""Menarik bagaimana?""Beliau tidak menjelaskan detailnya, Pak. Tapi dari nada bicaranya ... sepertinya berhubungan dengan krisis yang sedang kita hadapi."Gavin menimbang sejenak. Geovany Group adalah salah satu konglomerat terbesar, dikenal dengan akuisisi agresif dan investasi-investasi strategis. Jika Evita Geovany menghubunginya di saat seperti ini, pasti ada sesuatu yang besar."Baiklah. Hubungi beliau kembali, katakan aku sudah tiba dan siap berbicara."Tidak sampai lima menit kemudian, telepon di meja Gavin berdering. Nadia mengangkatnya, mengangguk singkat, lalu memberikan isyarat pada Gavin."Pak Gavin, Ibu Evita di line satu."Gavin menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk pembicaraan bisnis penting, lalu mengangkat telepon. "Ibu Evita yang terhormat, Gavin Lysandros di sini.""Ah, Gavin Lysandros. Akhirnya
"Lalu, apa yang membuat Anda memutuskan untuk membongkar semua ini sekarang?" tanya wartawan itu.Daniel menghela napas panjang, wajahnya berubah serius. "Karena saya merasa berdosa telah menutupi kebenaran selama ini. Ketika saya melihat berita bahwa Tuan Gavin dituduh berselingkuh dan Bella mencoba merusak reputasinya ... saya tidak bisa diam saja. Ini tidak adil.""Apakah Anda dibayar oleh pihak Gavin Lysandros untuk membuat pernyataan ini?"Daniel menggeleng tegas. "Tidak sepeserpun. Saya tidak pernah berkomunikasi dengan Tuan Gavin sejak saya berhenti bekerja untuk Bella. Saya melakukan ini karena ini benar.""Anda menyebutkan bahwa Anda 'berhenti bekerja'. Bisakah Anda ceritakan mengapa Anda berhenti?"Ekspresi Daniel berubah muram. "Saya berhenti karena ... karena suatu insiden. Saya sedang melakukan hubungan badan bersama Bella, lalu tiba-tiba Tuan Gavin datang dan melihat kami. Saya dipecat," terang Daniel menundukkan wajah. Sesaat kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya. "D
"Ya," wanita itu menjawab singkat, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. "Ini prioritas utama.""Baik, Bu. Segera saya laksanakan." Priscilla membungkuk sopan sebelum berbalik keluar dari ruangan.Ia memutar kursinya menghadap jendela, memandang kota Jakarta yang terbentang luas. "Setelah bertahun-tahun ... mungkinkah?" gumamnya pada diri sendiri, sementara jarinya tanpa sadar membelai liontin antik yang selalu dipakainya.©©©Beberapa jam kemudian, wanita itu sedang meneliti dokumen keuangan ketika Priscilla mengetuk pintu dan masuk dengan langkah tergesa."Maaf mengganggu, Bu. Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta."Ibu pemilik perusahaan itu mengangkat wajahnya, melepas kacamata bacanya. "Secepat itu? Kamu memang yang terbaik, Priscilla."Priscilla meletakkan tablet dan sebuah folder digital di atas meja. "Tim kita bekerja sangat cepat kali ini. Sepertinya informasi tentang nona Livia ini tidak terlalu sulit didapatkan."Sofia mengambil tablet itu, mulai membaca deng
"JELASKAN APA LAGI?!" Bella meraih vas bunga kristal di meja samping tempat tidur dan melemparkannya ke arah Daniel, yang berhasil menghindar tepat waktu. Vas itu menghantam dinding dan pecah berkeping-keping. "AKU MELIHAT SEMUANYA DENGAN MATA KEPALAKU SENDIRI!""Dia Aruna," Daniel akhirnya berkata, berdiri di antara kedua wanita itu seperti tameng. "Dia ... dia tunanganku dari kampung."Dunia Bella seolah runtuh saat itu juga. "T-tunangan? Kau sudah bertunangan dengannya? LALU AKU INI APA, DANIEL?!""Maafkan aku, Bella," Daniel berkata, wajahnya pucat. "Aku memang bersalah padamu. Tapi Aruna dan aku sudah dijodohkan sejak kecil. Aku tidak bisa menolak keinginan orangtuaku."Aruna, yang kini sudah mengenakan kemeja kebesaran—kemeja pemberian Bella untuk Daniel—melangkah maju dengan dagu terangkat. "Jadi kamu si wanita kaya yang suka berselingkuh itu? Yang kata Daniel kurus itu?""BERSELINGKUH?!" Bella hampir tersedak oleh amarahnya sendiri."Bella, kumohon tenang ...," Daniel mencoba