"Selanjutnya, kami memiliki bukti transfer dana sebesar 500 juta rupiah dari rekening terdakwa ke rekening Bram Setiawan sebagai upah pembunuhan," Joseph menunjukkan print out rekening.Bram yang semula diam, tiba-tiba berdiri. "Yang mulia, saya ingin mengaku!""Bram!" Pak Sugeng memandang garang pada pembunuh yang diperintahkannya."Saya tidak tahan lagi. Benar, Pak Sugeng yang menyuruh saya untuk membunuh Pak Gavin. Dia bilang kalau Pak Gavin adalah penghalang bisnisnya. Jefri yang saya suruh untuk menembak," Bram berkata dengan suara bergetar.Ruang sidang menjadi ricuh. Pak Sugeng berdiri dan berteriak, "Kamu gila, Bram! Kamu tidak bisa sembarangan menuduhku!""Terdakwa, harap tenang!" ketua hakim mengetuk palu.Joseph tersenyum puas. "Yang mulia, dengan pengakuan saksi Bram dan bukti-bukti yang kami sajikan, jelas bahwa terdakwa Sugeng adalah dalang dari percobaan pembunuhan ini."Pengacara Pak Sugeng yang baru, mencoba membantah, tapi bukti-bukti yang ada terlalu kuat. Pak Sugen
Hari berganti hari, luka di tubuh Gavin kian membaik. Setelah dua minggu di rumah, kondisi fisiknya sudah hampir pulih sepenuhnya. Hanya sesekali rasa pegal yang muncul di punggungnya ketika terlalu lama duduk atau berdiri.Siang itu adalah hari pertamanya setelah kejadian penembakan datang ke perusahaan. Mobil hitam milik Gavin memasuki basement parkir gedung kantor pusat. Dika yang sudah kembali bertugas sebagai bodyguard pribadi, turun terlebih dahulu untuk memastikan keamanan."Tuan, situasi aman," Dika membuka pintu mobil untuk Gavin.Begitu Gavin melangkah keluar dari lift menuju lobi utama, seluruh karyawan yang kebetulan berada di sana langsung bersorak gembira. Mereka spontan bertepuk tangan menyambut kedatangan sang pemimpin."Selamat datang kembali, Pak Gavin!" seru salah seorang karyawan."Syukurlah Bapak sudah sembuh!" tambah yang lain.Gavin tersenyum hangat dan melambaikan tangan. "Terima kasih semuanya. Saya senang bisa kembali bekerja."Sekretaris pribadi Gavin, mende
Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada
Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba
"Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be
Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S