Evita menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka luka lama yang sudah bertahun-tahun ia pendam."Malam itu," mulai Evita sambil terisak, "aku dan seorang pria memutuskan untuk kawin lari. Aku sangat mencintai dia, walaupun ibuku menentang keras karena dia hanyalah seorang sopir. Ibuku ingin aku menikah dengan pria yang sederajat, dari keluarga kaya, tapi rasa cintaku sangat besar padanya. Aku tidak peduli dengan status sosial."Livia mendengarkan dengan seksama, tangannya mencengkeram lengan kursi dengan erat."Kami pergi ke sebuah perkampungan terpencil dan menikah secara sederhana. Tak lama kemudian aku hamil, dan melahirkan seorang putri yang sangat cantik." Evita menatap Livia dengan mata berkaca-kaca. "Walaupun hidup kami pas-pasan dan aku harus beradaptasi dengan kehidupan yang berubah 180 derajat—dari mewah menjadi sederhana—tapi itu bukanlah menjadi penghalang. Secara batin aku sangat bahagia memiliki pria itu dan bayi kecilku."Suara Evita semakin be
Evita menoleh, wajahnya pucat pasi mendapati Livia yang sudah berdiri di ambang pintu bersama Gavin. Matanya membulat kaget, dan untuk sesaat ia kehilangan kata-kata. Tangannya yang dipenuhi gelang dan jam tangan mahal sedikit bergetar."Sa-saya ingin menjengukmu, tapi mereka menahan saya," kata Evita dengan suara tergagap, berusaha menenangkan diri sambil melirik nervous ke arah petugas keamanan.Salah satu petugas keamanan langsung membungkuk pada Gavin. "Maaf, Tuan, saya sudah berusaha mencegah nyonya ini untuk masuk tetapi beliau memaksa. Beliau terus berteriak ingin bertemu dengan Tuan dan Nyonya."Gavin mengangguk dengan tenang. "Tidak apa-apa, terima kasih sudah menjaga dengan baik."Kemudian Gavin beralih pada Evita. "Silakan masuk, Bu Evita."Evita masuk dengan langkah perlahan. Begitu memasuki ruangan, ia langsung mendekati Livia dan tanpa ragu-ragu mengelus rambut panjang Livia dengan penuh kasih sayang. Sentuhan tangannya begitu lembut, seolah takut Livia akan menghilang.
Livia menghela napas panjang. "Masih diselidiki oleh polisi. Gavin curiga ada yang sengaja menabrak kami, tapi kita belum punya bukti."Elena mengerutkan dahi, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Ini pasti ada hubungannya dengan drama kemarin, bukan?"Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Daniel dan Aruna masuk dengan wajah cemas namun lega melihat kondisi Livia dan Gavin."Syukurlah kalian selamat," kata Aruna sambil menghampiri Livia dan memeluknya."Kami sangat khawatir," tambah Daniel, matanya berkaca-kaca. "Dika menelepon dengan nada panik, kami pikir terjadi sesuatu yang buruk.""Justru ada keajaiban," kata Livia sambil menunjuk ke arah Gavin yang menggendong Alaric. "Bayi kami lahir dalam perjalanan ke rumah sakit."Aruna terkesiap, tangannya menutup mulut karena terkejut sekaligus terharu. "Ya Tuhan! Jadi dia lahir di ambulans?""Ya, dengan bantuan paramedis yang luar biasa," jawab Gavin.Aruna menghampiri Gavin, menatap bayi dalam gendongannya dengan mata berkaca
Dalam hitungan jam, pemberitaan tentang kecelakaan yang menimpa mobil mewah Gavin telah menyebar bagai api dalam sekam. Video amatir yang direkam oleh pengendara lain memperlihatkan mobil Mercedes hitam yang ringsek parah di tengah jalan tol, dengan ambulans yang datang untuk mengevakuasi korban. Media sosial dipenuhi spekulasi dan komentar, sementara stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan berita terbaru tentang kecelakaan yang melibatkan pengusaha muda yang baru-baru ini viral karena konflik dengan keluarga mantan istrinya.Tim forensik polisi bekerja dengan cermat di lokasi kecelakaan, mengumpulkan setiap jejak yang tersisa. Serpihan kaca, bekas rem di aspal, dan reruntuhan logam difoto dari berbagai sudut. Seorang investigator senior mengerutkan dahi saat memeriksa pola kerusakan pada mobil Gavin."Ini bukan kecelakaan biasa," gumamnya pada rekan kerjanya. "Lihat sudut benturannya—ini seperti sengaja ditabrak."©©©Di kantornya, Elena sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya ket
Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Livia, kali ini bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena haru mendengar ucapan tulus Gavin. Ia mengangguk lemah, berusaha percaya pada kata-kata Gavin.Tiba-tiba, Livia merasakan dorongan yang luar biasa kuat dari dalam perutnya."A-aku ... aku rasa bayinya ... mau keluar!" jeritnya panik.Paramedis pria segera memeriksa kondisi Livia dan mengangguk pada rekannya. "Pembukaan lengkap. Bayi ini akan lahir sekarang.""T-tapi kita belum sampai rumah sakit!" protes Gavin, panik bukan main."Tidak apa-apa, Tuan. Kami sudah terlatih untuk situasi seperti ini," jawab paramedis wanita dengan tenang. "Tolong tetap di samping istri Anda, berikan dia dukungan."Ambulans berhenti di bahu jalan untuk memudahkan proses persalinan yang tidak bisa ditunda lagi. Tim paramedis bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk membantu kelahiran bayi Livia dan Gavin."Saat kontraksi berikutnya datang, Nona perlu mengejan sekuat mungkin,"
Tatapan Gavin kembali pada mobil SUV hitam yang baru saja menabrak mereka—mobil itu kini berputar balik dan melaju pergi dengan kecepatan tinggi, menghilang di kejauhan."Bajingan," geram Gavin, menyadari bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa. Namun fokusnya segera kembali pada Livia yang kini mengerang kesakitan."Bertahanlah, sayang. Ambulans akan segera datang," bisik Gavin, menyeka keringat dingin yang membasahi dahi Livia. Dika segera melapor melalui radionya. "Kode merah! Kode merah! Kami butuh ambulans segera di kilometer 23. Kecelakaan dan wanita hamil dalam proses persalinan! Ulangi, wanita hamil dalam proses persalinan!"Livia menangis dalam diam, rasa sakit dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. "Gavin ... ini masih terlalu cepat," bisiknya di sela-sela kontraksi. "Bayinya ... belum waktunya ...." "Ssst, tenanglah," Gavin berusaha menenangkan, meski ia sendiri panik luar biasa. "Kamu dan bayi kita akan baik-baik saja. Aku janji."Waktu terasa begitu lambat bagi mereka.