Share

Part 10. Mengingat Kejadian di Tempat Yang Sama

“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.”

Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya. 

Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja. 

Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?”

“Aku semalam nggak bisa tidur.”

Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi depan di dekat supir.

“Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?”

“Nggak. Aku membaca naskah dan aku berpikir kalau cerita ini seperti kisahku. Dan aku berencana untuk menerimanya.”

“Kamu yakin?”

“Aku yakin. Aku tertarik memainkannya. Ini pertama kalinya aku bermain drama dan aku berharap akan membuat namaku lebih kukuh di dunia hiburan.” 

“Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Pak Gema.” Almeda meyakinkan kepada Permata. 

Mereka tiba di Infinity tak lama setelah itu. Mereka keluar dari mobil dan menuju ke ruangan Gema. Axel terlihat di sana sedang mengobrol dengan Gema. Sambutan Gema terdengar ramah. 

“Maaf karena membuat kalian harus datang pagi-pagi sekali.” Gema memulai. “Ini adalah beberapa perhiasan yang akan kamu kenakan saat pemotretan nanti.” Gema membuka kotak perhiasan mewah dan perhiasan bertahtakan berlian biru keabuan segera tampak berkilauan. 

“Roque Glacio memiliki ciri khasnya dengan berlian biru keabuannya. Karena itu kenapa perusahaan perhiasan ini diberikan nama Roque Glacio sesuai dengan cirinya.” 

Gema menjelaskan kepada Permata alih-alih Axel yang melakukannya. Penjelasan itu ditujukan untuk memperkenalkan perhiasan tersebut untuk ‘mengakrabkan’ Permata dengan benda tersebut. Si pemilik Roque Glacio itu justru hanya diam dengan tatapan mata lurus menatap Permata. Permata menatap perhiasan itu dengan konsentrasi tinggi. Benda itu benar-benar tampak mewah dan berkilauan. 

“Kapan kita akan melakukan pemotretan?” tanya Almeda. 

“Satu minggu lagi. Pemotretan akan dilakukan di perusahaan saya.” Axel menjawab namun tatapannya sama sekali tak beralih dari Permata. 

Namun Permata mengabaikan apa pun di sekitarnya dan hanya terus menatap sekotak perhiasan yang ada di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Permata ketika sejak datang tadi perempuan itu tidak berbicara sepatah kata pun. Permata tampak kurang bersemangat. Dia juga tidak fokus. 

“Berlian.” Almeda menyenggol Permata dengan pelan untuk menyadarkan perempuan itu. “Pemotretan akan dilakukan seminggu lagi di Roque Glacio. Apa kamu setuju?”

“Lakukan saja.” Permata menjawab cepat. “Aku sudah mendengar semua yang kalian bicarakan,” lanjutnya dengan santai. “Bisakah saya pamit dan menyerahkan semuanya kepada Almeda? Ada hal yang perlu saya kerjakan.” 

“Kamu mau ke mana? Ada jadwalmu dua jam lagi.” Almeda mencoba menahan. 

“Aku akan datang ke sana tepat waktu. Sekarang aku benar-benar harus pergi. Al, aku serahkan semuanya kepadamu. Pak Gema dan Pak Axel, Anda bisa membicarakan apa pun kepada Almeda tentang pekerjaan saya.” 

Permata berdiri dari duduknya, menyandang tasnya, kemudian pamit. “Denial ikut bersamamu!” Almeda menahan Permata yang akan pergi. 

“Aku akan pergi sendiri. Tenang saja, aku akan berhati-hati.” 

Tanpa menunggu lagi, Permata pergi begitu saja. Hal itu membuat Almeda tampak khawatir meskipun dia berusaha berkonsentrasi. Namun yang membuat kekhawatiran Almeda bertambah tinggi adalah ketika Axel juga pamit dari sana tak lama setelah Permata pergi. Tampak terburu-buru seperti ingin mengejar Permata. 

Sedangkan Permata yang sudah berada di dalam taksi itu tampak santai. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin pergi ke suatu tempat. Permata sampai di depan hotel bintang lima. Bertanya kepada resepsionis apakah kamar tujuannya ada yang menempati atau tidak. Dan dia segera memesannya untuk dirinya sendiri saat kamar itu kosong. 

Membuka pintu kamar hotel yang dipesannya, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan sedih luar biasa. Menyusuri setiap sudut tempat itu dengan langkah pelan. 

“Tempat ini. Tempat ini adalah saksi bisu hancurnya perasaanku karena dirimu, Axel.” 

Ekspresi Permata menegang dan pegangan tangannya pada tasnya menguat. Raut wajahnya sungguh kelam. 

“Kalau kamu tidak memerangkapku dalam permainanmu, aku tidak akan pernah melangkah sejauh ini. Aku dulu sangat mencintaimu tapi kamu menyia-nyiakan cinta itu.” 

Permata sudah seperti orang gila karena berbicara seorang diri. Permata menatap ranjang, dan dia masih ingat betul bagaimana terburu-burunya Axel menidurinya. Dia saat itu beranggapan kalau yang dilakukan oleh Axel karena lelaki itu melakukannya karena begitu mencintainya. Sayangnya itu hanya sebuah permainan. 

Kejadian lima tahun lalu yang tidak pernah dilupakan oleh Permata itu kini seperti sebuah film yang diputar ulang dan menunjukkan adegan demi adegan yang terjadi. 

Permata duduk di sofa di dekat dinding kaca sambil menatap ke arah langit. Cuaca hari ini memang cerah, tapi tidak dengan suasana hati Permata. Karena mimpinya semalam, dia menjadi ketakutan kalau Axel benar-benar mengambil Angkasa dari tangannya.

“Apa yang kamu lakukan di sana?” Permata memesan makanan dan siapa yang menduga kalau Axel yang mengantarkannya.

Lelaki itu mendorong troli makanan menuju ke arahnya. Permata menatap lelaki itu dengan datar. Tak menyangka kalau Axel akan mengikutinya. 

Ada seringaian di bibir Axel ketika lelaki itu duduk di depan Permata. “Sepertinya kamu sedang bernostalgia di tempat ini. Kenapa? Kamu ingin mengulanginya?” 

Permata tidak menjawab dan hanya memberikan jawaban dari pertanyaan Axel karena dia memiliki pertanyaannya sendiri.

“Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini? Mengikutiku?” 

“Untuk apa aku mengikutimu? Kamu tidak seberharga itu sampai aku harus membuang waktuku.”

“Kalau begitu pergilah. Wajahmu sangat menjijikkan sampai aku mual dibuatnya. Pergi!” 

Seringaian Axel yang tadinya tampak di bibirnya itu kini menghilang karena ucapan Permata. “Sepertinya, sopan santunmu menghilang karena kelamaan berada di luar negeri.” 

“Aku harus bersikap sopan dengan orang yang berhak mendapatkannya. Pergilah. Jangan membuatku marah,” usir Permata lagi tapi Axel tidak pernah peduli dengan ucapan perempuan itu. 

“Kenapa? Seharusnya kamu senang aku ada di sini. Karena imajinasimu mengenang malam itu akan semakin terbantu. Kamu datang ke sini tentu saja bukan tanpa tujuan bukan?” 

“Kamu benar. Aku berada di tempat ini bukan tanpa tujuan.” Tatapan Permata dan Axel beradu. Ada kobaran api yang menyala di dalam mata perempuan itu. “Aku sedang kembali mengingat tentang bagaimana aku disakiti oleh lelaki bedebah bernama Axel. Aku ingat bagaimana lelaki itu menghancurkan hatiku tanpa tersisa menimbulkan luka menganga dan berdarah-darah.” 

Senyuman Permata muncul setelah mengatakan itu. “Kamu tahu saat itu apa yang ingin aku lakukan? Mengakhiri hidupku. Aku ingin mati dan menghilang dari dunia ini. Untuk apa aku hidup jika aku harus menderita dan itu karena keegoisan seorang. Tapi aku merasa lebih bodoh lagi karena mudah sekali diperdaya oleh perasaan cinta yang aku miliki.”

Permata menarik nafasnya panjang. Tatapannya masih melekat pada wajah Axel yang tampak mengeratkan rahangnya. 

“Aku dulu mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Kamu pasti bangga dengan dirimu sendiri, kan, karena berhasil membuat perempuan polos jatuh ke dalam pelukanmu? Namun pada akhirnya, aku tidak lagi menyalahkanmu setelahnya. Itu adalah kesalahanku kenapa aku lemah terhadap cinta semu yang tidak seharusnya aku rasakan. Bukankah Axel adalah orang paling benar? Jadi kejadian lima tahun yang lalu semata hanyalah kesalahanku. Benar-benar kesalahanku.” 

Permata berdiri dan bermaksud untuk mengambil makanan yang masih ada di troli. Namun dia mengurungkannya sebab dia tak ingin Axel menambahkan sesuatu di dalamnya dan membuatnya kehilangan kesadaran. Permata berjalan mendekati Axel. Duduk di atas pangkuan lelaki itu kemudian mengalungkan tangannya di lehernya, membuat Axel terkejut.

“A – apa yang kamu lakukan?” 

*** 

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Rahmawa Rahma
menarik jlan ceritanya...
goodnovel comment avatar
Elite Seven
Asyikkkk ceritanaya
goodnovel comment avatar
Deasny Muliati
anda benar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status