“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.”
Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya.
Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja.
Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?”
“Aku semalam nggak bisa tidur.”
Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi depan di dekat supir.
“Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?”
“Nggak. Aku membaca naskah dan aku berpikir kalau cerita ini seperti kisahku. Dan aku berencana untuk menerimanya.”
“Kamu yakin?”
“Aku yakin. Aku tertarik memainkannya. Ini pertama kalinya aku bermain drama dan aku berharap akan membuat namaku lebih kukuh di dunia hiburan.”
“Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan Pak Gema.” Almeda meyakinkan kepada Permata.
Mereka tiba di Infinity tak lama setelah itu. Mereka keluar dari mobil dan menuju ke ruangan Gema. Axel terlihat di sana sedang mengobrol dengan Gema. Sambutan Gema terdengar ramah.
“Maaf karena membuat kalian harus datang pagi-pagi sekali.” Gema memulai. “Ini adalah beberapa perhiasan yang akan kamu kenakan saat pemotretan nanti.” Gema membuka kotak perhiasan mewah dan perhiasan bertahtakan berlian biru keabuan segera tampak berkilauan.
“Roque Glacio memiliki ciri khasnya dengan berlian biru keabuannya. Karena itu kenapa perusahaan perhiasan ini diberikan nama Roque Glacio sesuai dengan cirinya.”
Gema menjelaskan kepada Permata alih-alih Axel yang melakukannya. Penjelasan itu ditujukan untuk memperkenalkan perhiasan tersebut untuk ‘mengakrabkan’ Permata dengan benda tersebut. Si pemilik Roque Glacio itu justru hanya diam dengan tatapan mata lurus menatap Permata. Permata menatap perhiasan itu dengan konsentrasi tinggi. Benda itu benar-benar tampak mewah dan berkilauan.
“Kapan kita akan melakukan pemotretan?” tanya Almeda.
“Satu minggu lagi. Pemotretan akan dilakukan di perusahaan saya.” Axel menjawab namun tatapannya sama sekali tak beralih dari Permata.
Namun Permata mengabaikan apa pun di sekitarnya dan hanya terus menatap sekotak perhiasan yang ada di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Permata ketika sejak datang tadi perempuan itu tidak berbicara sepatah kata pun. Permata tampak kurang bersemangat. Dia juga tidak fokus.
“Berlian.” Almeda menyenggol Permata dengan pelan untuk menyadarkan perempuan itu. “Pemotretan akan dilakukan seminggu lagi di Roque Glacio. Apa kamu setuju?”
“Lakukan saja.” Permata menjawab cepat. “Aku sudah mendengar semua yang kalian bicarakan,” lanjutnya dengan santai. “Bisakah saya pamit dan menyerahkan semuanya kepada Almeda? Ada hal yang perlu saya kerjakan.”
“Kamu mau ke mana? Ada jadwalmu dua jam lagi.” Almeda mencoba menahan.
“Aku akan datang ke sana tepat waktu. Sekarang aku benar-benar harus pergi. Al, aku serahkan semuanya kepadamu. Pak Gema dan Pak Axel, Anda bisa membicarakan apa pun kepada Almeda tentang pekerjaan saya.”
Permata berdiri dari duduknya, menyandang tasnya, kemudian pamit. “Denial ikut bersamamu!” Almeda menahan Permata yang akan pergi.
“Aku akan pergi sendiri. Tenang saja, aku akan berhati-hati.”
Tanpa menunggu lagi, Permata pergi begitu saja. Hal itu membuat Almeda tampak khawatir meskipun dia berusaha berkonsentrasi. Namun yang membuat kekhawatiran Almeda bertambah tinggi adalah ketika Axel juga pamit dari sana tak lama setelah Permata pergi. Tampak terburu-buru seperti ingin mengejar Permata.
Sedangkan Permata yang sudah berada di dalam taksi itu tampak santai. Entah kenapa tiba-tiba saja dia ingin pergi ke suatu tempat. Permata sampai di depan hotel bintang lima. Bertanya kepada resepsionis apakah kamar tujuannya ada yang menempati atau tidak. Dan dia segera memesannya untuk dirinya sendiri saat kamar itu kosong.
Membuka pintu kamar hotel yang dipesannya, hatinya tiba-tiba dipenuhi dengan perasaan sedih luar biasa. Menyusuri setiap sudut tempat itu dengan langkah pelan.
“Tempat ini. Tempat ini adalah saksi bisu hancurnya perasaanku karena dirimu, Axel.”
Ekspresi Permata menegang dan pegangan tangannya pada tasnya menguat. Raut wajahnya sungguh kelam.
“Kalau kamu tidak memerangkapku dalam permainanmu, aku tidak akan pernah melangkah sejauh ini. Aku dulu sangat mencintaimu tapi kamu menyia-nyiakan cinta itu.”
Permata sudah seperti orang gila karena berbicara seorang diri. Permata menatap ranjang, dan dia masih ingat betul bagaimana terburu-burunya Axel menidurinya. Dia saat itu beranggapan kalau yang dilakukan oleh Axel karena lelaki itu melakukannya karena begitu mencintainya. Sayangnya itu hanya sebuah permainan.
Kejadian lima tahun lalu yang tidak pernah dilupakan oleh Permata itu kini seperti sebuah film yang diputar ulang dan menunjukkan adegan demi adegan yang terjadi.
Permata duduk di sofa di dekat dinding kaca sambil menatap ke arah langit. Cuaca hari ini memang cerah, tapi tidak dengan suasana hati Permata. Karena mimpinya semalam, dia menjadi ketakutan kalau Axel benar-benar mengambil Angkasa dari tangannya.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” Permata memesan makanan dan siapa yang menduga kalau Axel yang mengantarkannya.
Lelaki itu mendorong troli makanan menuju ke arahnya. Permata menatap lelaki itu dengan datar. Tak menyangka kalau Axel akan mengikutinya.
Ada seringaian di bibir Axel ketika lelaki itu duduk di depan Permata. “Sepertinya kamu sedang bernostalgia di tempat ini. Kenapa? Kamu ingin mengulanginya?”
Permata tidak menjawab dan hanya memberikan jawaban dari pertanyaan Axel karena dia memiliki pertanyaannya sendiri.
“Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini? Mengikutiku?”
“Untuk apa aku mengikutimu? Kamu tidak seberharga itu sampai aku harus membuang waktuku.”
“Kalau begitu pergilah. Wajahmu sangat menjijikkan sampai aku mual dibuatnya. Pergi!”
Seringaian Axel yang tadinya tampak di bibirnya itu kini menghilang karena ucapan Permata. “Sepertinya, sopan santunmu menghilang karena kelamaan berada di luar negeri.”
“Aku harus bersikap sopan dengan orang yang berhak mendapatkannya. Pergilah. Jangan membuatku marah,” usir Permata lagi tapi Axel tidak pernah peduli dengan ucapan perempuan itu.
“Kenapa? Seharusnya kamu senang aku ada di sini. Karena imajinasimu mengenang malam itu akan semakin terbantu. Kamu datang ke sini tentu saja bukan tanpa tujuan bukan?”
“Kamu benar. Aku berada di tempat ini bukan tanpa tujuan.” Tatapan Permata dan Axel beradu. Ada kobaran api yang menyala di dalam mata perempuan itu. “Aku sedang kembali mengingat tentang bagaimana aku disakiti oleh lelaki bedebah bernama Axel. Aku ingat bagaimana lelaki itu menghancurkan hatiku tanpa tersisa menimbulkan luka menganga dan berdarah-darah.”
Senyuman Permata muncul setelah mengatakan itu. “Kamu tahu saat itu apa yang ingin aku lakukan? Mengakhiri hidupku. Aku ingin mati dan menghilang dari dunia ini. Untuk apa aku hidup jika aku harus menderita dan itu karena keegoisan seorang. Tapi aku merasa lebih bodoh lagi karena mudah sekali diperdaya oleh perasaan cinta yang aku miliki.”
Permata menarik nafasnya panjang. Tatapannya masih melekat pada wajah Axel yang tampak mengeratkan rahangnya.
“Aku dulu mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Kamu pasti bangga dengan dirimu sendiri, kan, karena berhasil membuat perempuan polos jatuh ke dalam pelukanmu? Namun pada akhirnya, aku tidak lagi menyalahkanmu setelahnya. Itu adalah kesalahanku kenapa aku lemah terhadap cinta semu yang tidak seharusnya aku rasakan. Bukankah Axel adalah orang paling benar? Jadi kejadian lima tahun yang lalu semata hanyalah kesalahanku. Benar-benar kesalahanku.”
Permata berdiri dan bermaksud untuk mengambil makanan yang masih ada di troli. Namun dia mengurungkannya sebab dia tak ingin Axel menambahkan sesuatu di dalamnya dan membuatnya kehilangan kesadaran. Permata berjalan mendekati Axel. Duduk di atas pangkuan lelaki itu kemudian mengalungkan tangannya di lehernya, membuat Axel terkejut.
“A – apa yang kamu lakukan?”
***
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny