“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel. Kamu akan memohon maaf kepadaku atas perbuatan keji yang sudah kamu lakukan kepada putraku.”
Batin Permata menjerit pilu. Anak-anak seusia Angkasa masih sangat membutuhkan sosok orang tua yang utuh. Tapi bocah kecil itu justru tidak tahu bagaimana rupa ayahnya, atau bagaimana suaranya. Jika ayahnya meninggal, itu tentu beda permasalah. Sayangnya, ayah Angkasa pun tak tahu kalau dia memiliki putra menggemaskan di dunia ini.
Almeda mengusap punggung Permata dan menguatkan perempuan itu. “Jangan tunjukkan kesedihanmu di depannya.”
“Aku mengerti.”
Selama ini, Permata selalu menunjukkan ekspresi bahagia setiap bersama dengan Angkasa. Seberat apa pun hari yang dilalui, dia akan tetap bersedia menemani putranya belajar jika bocah itu menginginkannya.
Malam tiba. Permata membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur dan mendesah nyaman. Dia baru saja menidurkan Angkasa di kamar bocah itu dan kini gilirannya mengistirahatkan tubuhnya sendiri setelah bekerja seharian. Permata merasakan kesadarannya tersedot habis dan dia berada di alam mimpi yang begitu gelap. Hanya ada cahaya temaram yang terlihat jauh di ujung sana.
“Permata!”
Panggilan itu membuat Permata membalikkan badannya dan seorang lelaki mendekat ke arahnya. Meskipun gelap, lelaki itu tampak tak terpengaruh. Langkahnya semakin mendekat, dan Permata merasa jika lelaki itu tampak seperti orang yang dikenal.
“Axel?” Permata mengatakan satu nama yang akhir-akhir ini berada di sekitarnya.
Lelaki itu tak menjawab namun sosoknya kini menjulang di depannya dan jawaban didapatkan. Dia benar-benar Axel. Mata hitamnya menatap Permata dengan tatapan dingin dan membekukan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya untuk sesaat. Mereka saling memandang tapi permusuhan itu terasa kental.
“Permata. Meskipun kamu sekarang datang dengan sosok yang baru dan berpikir untuk bisa mengalahkanku, kamu tidak akan pernah mampu melakukannya. Aku tidak akan membiarkanmu merecoki hidupku. Lagi pula, kamu bukanlah lawanku.” Axel memberikan peringatan tegas kepada Permata. “Selagi aku masih berbaik hati, hentikan rencana apa pun yang sedang ada di dalam kepalamu sebelum semuanya terlambat.”
Sorot mata Axel mengandung banyak emosi yang menguasainya. Permata yang mendengarkan ucapan Axel itu segera tersadar dan tersenyum mencemooh.
“Axel, kenapa aku harus mendengarkanmu? Kamu bukan orang penting dalam hidupku sehingga kamu bisa mengaturku. Jangan memandang dirimu setinggi itu ketika kamu adalah orang yang tidak berguna.”
Axel tampak mengeratkan rahangnya. Namun Permata tak ingin berhenti. “Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuatmu menyesal sudah menyakitiku. Aku tidak akan melupakan sikap burukmu yang sudah membuatku menderita. Sejak saat itu, aku bersumpah dalam setiap tarikan nafasku, aku akan membuatmu mengalami penderitaan yang sama seperti yang kamu lakukan kepadaku. Kamu harus mengingat kata-kataku. Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang.”
“Mami!” Entah dari mana Angkasa datang, tapi di sisi kirinya, dia melihat sosok Angkasa yang kecil berjalan mendekat.
“Mami? Ayo kita pergi. Aku tidak suka di sini. Ini terlalu gelap.”
Jantung Permata dan Axel berdetak tak kalah kencangnya. Axel terkejut dengan panggilan mami yang disematkan oleh bocah kecil itu kepada Permata. Angkasa menggenggam tangan kiri Permata namun pandangannya mengarah pada Axel.
“Mami, siapa dia? Apa dia Papi? Apa dia adalah ayah Angkasa?”
Pertanyaan bocah itu membuat kegelapan itu terasa menguasai tubuh Permata dan Axel. Permata bahkan bisa melihat bagaimana Axel menatap Angkasa dengan lekat dan ada sebuah ketertarikan dalam tatapannya.
“Permata, apa maksudnya ini?” Axel menggeser tatapannya ke arah Permata. “Apakah dia putraku?”
“Putramu? Sebelum dia berada di dunia ini, kamu bahkan sudah membuangnya. Ingatlah kata-katamu saat itu. ‘Itu adalah anakmu, kamu bebas melakukan apa saja kepadanya’ bukankah begitu? Sekarang kamu bertanya dia adalah putramu? Kamu terlalu hina untuk mengakuinya sebagai putramu.”
Axel kembali menatap bocah berusia empat tahun itu dengan tatapan yang begitu hangat. Itu seperti tatapan yang dulu pernah diberikan kepada Permata saat Axel sedang berpura-pura mencintainya. Sama sekali tak peduli dengan ucapan Permata yang sudah menghinanya.
“Nak, siapa namamu?” Axel tiba-tiba saja bertanya.
“Angkasa Narendra.”
“Berapa usiamu?”
“Empat.” Angkasa bahkan menunjukkan angka dengan jari-jarinya yang kecil.
Axel kembali menatap ke arah Permata. “Dia benar-benar putraku. Waktunya begitu cocok. Kamu tidak bisa mengelak.”
“Siapa yang peduli dengan itu? Selama ini, aku yang membesarkannya seorang diri. Dia tak membutuhkan sosok ayah seperti dirimu. Kamu harus tahu diri untuk tidak menyebut Angkasa adalah putramu.”
Axel menatap Permata dengan tatapan tajam. Terlihat sekali kalau lelaki itu menginginkan Angkasa untuk dirinya. Bahkan tanpa malu dia menjawab, “Aku juga berhak atas dirinya. Aku adalah ayahnya.”
“Bermimpilah sesukamu. Sampai mati pun, aku tidak akan membiarkan dirimu mencuri dia dari tanganku.”
Permata dengan cekatan mengangkat Angkasa dan menggendongnya. Tanpa mengatakan apa pun, perempuan itu pergi dari hadapan Axel. Membawa putranya meninggalkan tempat itu secepat yang dia bisa karena tidak ingin Axel mengambil Angkasa dari tangannya. Tapi seolah Axel berada di mana-mana, Permata selalu bertemu dengan Axel ke mana pun dia pergi. Permata seolah terjebak.
Angkasa ditarik oleh Axel dari gendongan Permata membuat perempuan itu berteriak kuat. Sekuat mungkin dia menahan Angkasa untuk tetap berada dalam pelukannya.
“Lepaskan, Angkasa. Dia putraku. Kamu tidak berhak mengambilnya!”
“Mami … Mami ….”
“Lepaskan, Axel!”
“Aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku akan mengambil dia darimu. Dia adalah putraku.”
“Tidak. Enyahlah!”
Namun semakin Permata mencegah dan menahan agar Angkasa tetap berada dalam pelukannya, Axel mampu mengambil Angkasa dari tangannya. Lelaki itu membawa lari Angkasa dengan cepat takut Permata bisa mengejarnya.
“Tidak … kembalikan Angkasa kepadaku. Kembalikan putraku. Tidak … tidak … jangan ambil dia dariku … tidak!”
Permata diselimuti keringat di tubuhnya meskipun AC menyala dingin. Perempuan itu terbangun dengan nafas memburu. Kepalanya menoleh ke sana- kemari dan dia berada di dalam kamarnya.
“Mimpi?” tanyanya pada keheningan malam.
Meskipun itu mimpi, Permata buru-buru keluar dari kamarnya menuju ke kamar Angkasa untuk memastikan putranya masih berada di sana. Dia mendekat ke arah ranjang dan sosok kecil itu berbaring di atasnya dengan nafas teratur. Permata terduduk di lantai tepat di samping ranjang Angkasa dengan tubuh lunglai.
Mimpi itu sangat mengerikan. Apa itu sebuah pertanda jika dia harus menyembunyikan Angkasa serapat mungkin untuk menghindari masalah seperti ini terjadi?
Permata menatap Angkasa dan mengelus wajah kecil bocah itu. Kecupan kecil disematkan di pipi Angkasa dengan lembut takut mengganggu istirahat putranya. Tiba-tiba saja, air mata Permata menetes tanpa bisa dicegah. Dia meletakkan tangannya di atas tubuh Angkasa sambil bergumam,
“Mami janji akan membuat kamu aman, Sayang. Tidak ada yang bisa memisahkan kamu dari Mami, bahkan ayahmu sekalipun.”
***
“Kita akan terus bersama-sama melewati hidup ini. Kamu tidak membutuhkan sosok ayah dalam hidupmu karena Mami yang akan bekerja keras untuk memberikan Apa pun yang Angkasa inginkan. Dan menjadi sosok ayah yang Angkasa butuhkan.” Ucapan itu tegas keluar dari mulut Permata dan disaksikan dengan keheningan malam disertai dengan dentingan jarum jam. Dia sudah menjadi kuat sejak keberadaan Angkasa di dunia ini, dan akan seperti itu selamanya. Setelah menyelimuti putranya, Permata meninggalkan kamar Angkasa dengan langkah lunglai. Dia kembali ke kamarnya, namun sisa malam itu, Permata menghabiskannya dengan duduk diam karena rasa kantuknya lenyap begitu saja. Paginya, Berlian tampak lemah. Matanya sayu dan terlihat mengantuk. Almeda lantas mengeluarkan tanyanya, “Ada apa dengan matamu?” “Aku semalam nggak bisa tidur.” Permata menjawab sebelum masuk ke dalam mobil. Duduk dengan tenang di kursi belakang, kemudian memasang sabuk pengaman. Diikuti Almeda di sampingnya, dan Denial di kursi
“Aku benci ketika mengingat kamu membuatku menjadi seperti seorang pelacur.” Permata tidak peduli dengan pertanyaan Axel. “Aku benci ketika kamu membayarku seolah uangmu bisa menghapus luka yang kamu torehkan kepadaku. Tidak semua perempuan miskin bersedia menjual tubuhnya hanya demi uang, Axel.” Permata dengan berani mengelus dada Axel dengan lembut seolah dia sedang menggoda lelaki itu. Tubuh mereka menempel satu sama lain bahkan mereka bisa mencium aroma parfum keduanya. Permata bisa merasakan tubuh Axel menegang dan rahangnya mengerat. Jari-jarinya bermain di atas dada Axel yang berbalut kemeja putih. Permata tampak sudah berpengalaman melakukan hal itu. “Termasuk aku,” bisik Permata tepat di telinga Axel. Dia lebih berani. “Aku juga tidak akan pernah menjual tubuhku demi uang. Tapi, aku perlu berterima kasih kepadamu. Kalau bukan karena luka yang kamu berikan kepadaku, maka aku mungkin tidak akan berada di titik ini. Bahkan seorang Axel, meminta bekerja sama denganku.” K
“Saya belum pernah bertemu dengan Bapak. Mungkin Bapak melihat saya di majalah atau sejenisnya?” Permata belum lama di Indonesia dan dia bahkan langsung bekerja tak lama setelah itu. Terlebih lagi karena di masa lalu pun dia tak mengenal orang-orang kalangan atas selain Axel. Tentu saja Permata dengan yakin mengatakan yang sesungguhnya.“Tidak-tidak. Anda seperti tidak asing di mata saya.” Lelaki itu masih kukuh. Tapi selanjutnya dia menggeleng. “Lupakan saja. Yang penting sekarang adalah kerja sama kita.” Lelaki itu tersenyum kemudian memperkenalkan diri. “Saya Bayu. Yang bertanggung jawab untuk kerja sama ini.” Permata segera mengenalkan dirinya dan dua kawannya yang ada di sampingnya. Saat mereka mengurus kontrak, tim lelaki itu langsung berurusan dengan Infinity sehingga mereka belum sempat untuk bertemu. Dan hari ini untuk pertama kalinya pertemuan itu dilakukan. Ada kepuasan di mata lelaki itu saat melihat Permata bekerja dengan sangat baik.Permata kembali pulang saat malam
“Mami … Mami ….” Permata dibuat terkejut karena Angkasa menyadari keberadaannya. Dengan panik, Permata berlari ke belakang sebuah mobil untuk bersembunyi. Jantungnya hampir meledak saking gugupnya. Melongokkan kepalanya, dia masih bisa melihat Angkasa berdiri sambil menatap ke arahnya. “Maafkan, Mami, Sayang.” Gumamnya pelan.Dari tempatnya bersembunyi, Permata bisa melihat Axel juga menatap ke arah yang sama dengan Angkasa. Entah apa yang diucapkan oleh Axel kepada Angkasa, karena setelah itu putranya kembali dengan kegiatannya. Bocah itu terlihat bahagia dan yang menjadi pertanyaan Permata adalah kenapa Axel tetap bersama dengan Angkasa seolah sedang mengajari sesuatu kepada putranya. Setelah keadaan aman, Permata dengan pelan berjalan mengendap-endap seperti seorang pencuri sampai tiba di mobil Angkasa. “Kamu benar-benar mengambil resiko tinggi.” Denial yang berada di sana segera mengeluarkan rutukannya. “Kamu tahu aku setengah mati tetap berada di dalam mobil agar Axel tidak m
“Lepaskan atau aku akan teriak!” Permata sadar dan segera memberontak. Kedua tangannya berusaha mendorong dan memukul Axel. Tapi itu hanya sebuah kesia-siaan. Semakin dia bergerak, pelukan Axel semakin erat. Permata mengencangkan rahangnya erat dan kepalanya dipenuhi dengan emosi. Tak bisa dipungkiri Permata ketakutan.“Teriak saja. Itu tak berarti apa pun.” Axel semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Permata. Meskipun hanya satu tangan, tapi kekuatan Permata tidak sebanding dengan Axel. “Kenapa kamu ketakutan? Ke mana keberanianmu yang kamu banggakan selama ini? Bukankah saat di hotel kamu berusaha menggodaku?” Tangan kanan Axel yang bebas bergerilya di wajah Permata. Mengelus wajah putih perempuan itu seperti yang dilakukan Permata ketika menggodanya saat itu. Permata mematung di tempatnya. Jantungnya berdentum tak karuan seperti dia akan mendapatkan hukuman mati. Permata berusaha mendorong dada Axel menggunakan kedua tangannya, tapi itu benar-benar tak terpengaruh. “Lepa
“Jangan pergi, Denial!” Permata mencegah agar lelaki itu tidak bertindak gegabah. Tapi Denial tidak peduli dengan teriakan Permata dan dia pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Deruan mesin mobil segera terdengar tak lama setelah itu membuat Permata dan Almeda menarik nafas panjang. Denial tampaknya sudah sangat marah dengan perlakukan Axel yang merendahkan Permata. “Besok aku akan bertemu dengan Pak Gema dan berbicara tentang masalah ini.” Almeda bersuara. “Kita harus menjadwal ulang untuk pemotretan Roque Glacio.“Apa yang akan kamu katakan kepada Pak Gema? Kita nggak mungkin mengungkap yang sebenarnya.” “Akan lebih baik kalau Axel di sana. Sehingga mudah buatku memancingnya memberikan jawaban yang sebenarnya.” Bukan hanya Permata yang merasakan sakit karena ulah Axel. Tapi orang-orang yang sudah bersama dengan Permata selama ini, pun merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakan oleh Permata. Permata tidak banyak bicara setelah itu. Dia pamit kepada Almeda untuk perg
“Perempuan nakal tak tahu malu?” Denial mengulangi ucapan Axel dengan suara dingin yang membekukan. Selama dia mengenal Permata, tak pernah sekalipun Permata berperilaku yang menunjukkan ‘kenakalan’ seperti yang dikatakan oleh Axel. Perempuan itu justru menghindar jika ada laki-laki yang bemaksud tidak baik kepadanya. “Kamu menilai Permata terlalu tinggi, Tuan. Dia tidak sepolos yang Anda bayangkan. Dia adalah perempuan liar yang bisa menggoda siapapun.” Axel kembali mencemooh Permata. Tak tahan dengan ucapan Axel, Denial menyerang Axel kembali dengan hantaman kepalan tangannya di perut lelaki itu. Axel tertunduk berlutut. Lelaki itu memegangi perutnya dan tampak kesakitan. “Kalau mulutmu hanya berisi sampah, maka lebih kamu diam. Kamu tidak pernah tahu apa pun tentang Permata kecuali hanya menggunakan dia sebagai alat untuk mendapatkan keinginanmu.” Denial menjambak Axel sampai kepala lelaki itu mendongak. “Ingatlah kata-kataku. Perbuatanmu yang pengecut itu telah menjadikan P
“Gema, tinggalkan kami. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Berlian.” Ada kecanggungan yang tidak bisa dideskripsikan ketika suara Axel mengudara. Gema menatap Permata seolah dia memiliki banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Tatapan Permata dan Axel beradu namun tidak ada keramahan yang ditunjukkan dari keduanya. Permata bahkan tampak tak seperti biasanya. Dia lebih terlihat dingin dan tak bersahabat. “Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian. Pastikan kalian tidak berkelahi.” Gema mengeluarkan sedikit lelucon agar suasana di antara keduanya bisa sedikit mencair, tapi itu bukan apa-apa kecuali hanya lelucon garing karena baik Axel ataupun Permata tidak ada satupun yang menanggapinya.Gema menjauh setelah mendorong kursi roda Axel ke sebuah lorong sepi namun dia tak benar-benar meninggalkan lelaki itu. Menatap Axel dan Permata dari kejauhan dan memantau situasi. Dua orang yang mengatakan akan berbicara berdua itu kini menatap ke arah yang sama tanpa ada yang membuka percakapan lebih