Share

Part 9. Jangan Ambil Putraku

“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel. Kamu akan memohon maaf kepadaku atas perbuatan keji yang sudah kamu lakukan kepada putraku.” 

Batin Permata menjerit pilu. Anak-anak seusia Angkasa masih sangat membutuhkan sosok orang tua yang utuh. Tapi bocah kecil itu justru tidak tahu bagaimana rupa ayahnya, atau bagaimana suaranya. Jika ayahnya meninggal, itu tentu beda permasalah. Sayangnya, ayah Angkasa pun tak tahu kalau dia memiliki putra menggemaskan di dunia ini. 

Almeda mengusap punggung Permata dan menguatkan perempuan itu. “Jangan tunjukkan kesedihanmu di depannya.”

“Aku mengerti.” 

Selama ini, Permata selalu menunjukkan ekspresi bahagia setiap bersama dengan Angkasa. Seberat apa pun hari yang dilalui, dia akan tetap bersedia menemani putranya belajar jika bocah itu menginginkannya. 

Malam tiba. Permata membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur dan mendesah nyaman. Dia baru saja menidurkan Angkasa di kamar bocah itu dan kini gilirannya mengistirahatkan tubuhnya sendiri setelah bekerja seharian. Permata merasakan kesadarannya tersedot habis dan dia berada di alam mimpi yang begitu gelap. Hanya ada cahaya temaram yang terlihat jauh di ujung sana. 

“Permata!” 

Panggilan itu membuat Permata membalikkan badannya dan seorang lelaki mendekat ke arahnya. Meskipun gelap, lelaki itu tampak tak terpengaruh. Langkahnya semakin mendekat, dan Permata merasa jika lelaki itu tampak seperti orang yang dikenal.

“Axel?” Permata mengatakan satu nama yang akhir-akhir ini berada di sekitarnya. 

Lelaki itu tak menjawab namun sosoknya kini menjulang di depannya dan jawaban didapatkan. Dia benar-benar Axel. Mata hitamnya menatap Permata dengan tatapan dingin dan membekukan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya untuk sesaat. Mereka saling memandang tapi permusuhan itu terasa kental.

“Permata. Meskipun kamu sekarang datang dengan sosok yang baru dan berpikir untuk bisa mengalahkanku, kamu tidak akan pernah mampu melakukannya. Aku tidak akan membiarkanmu merecoki hidupku. Lagi pula, kamu bukanlah lawanku.” Axel memberikan peringatan tegas kepada Permata. “Selagi aku masih berbaik hati, hentikan rencana apa pun yang sedang ada di dalam kepalamu sebelum semuanya terlambat.” 

Sorot mata Axel mengandung banyak emosi yang menguasainya. Permata yang mendengarkan ucapan Axel itu segera tersadar dan tersenyum mencemooh. 

“Axel, kenapa aku harus mendengarkanmu? Kamu bukan orang penting dalam hidupku sehingga kamu bisa mengaturku. Jangan memandang dirimu setinggi itu ketika kamu adalah orang yang tidak berguna.” 

Axel tampak mengeratkan rahangnya. Namun Permata tak ingin berhenti. “Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuatmu menyesal sudah menyakitiku. Aku tidak akan melupakan sikap burukmu yang sudah membuatku menderita. Sejak saat itu, aku bersumpah dalam setiap tarikan nafasku, aku akan membuatmu mengalami penderitaan yang sama seperti yang kamu lakukan kepadaku. Kamu harus mengingat kata-kataku. Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan tenang.”

“Mami!” Entah dari mana Angkasa datang, tapi di sisi kirinya, dia melihat sosok Angkasa yang kecil berjalan mendekat. 

“Mami? Ayo kita pergi. Aku tidak suka di sini. Ini terlalu gelap.” 

Jantung Permata dan Axel berdetak tak kalah kencangnya. Axel terkejut dengan panggilan mami yang disematkan oleh bocah kecil itu kepada Permata. Angkasa menggenggam tangan kiri Permata namun pandangannya mengarah pada Axel.

“Mami, siapa dia? Apa dia Papi? Apa dia adalah ayah Angkasa?” 

Pertanyaan bocah itu membuat kegelapan itu terasa menguasai tubuh Permata dan Axel. Permata bahkan bisa melihat bagaimana Axel menatap Angkasa dengan lekat dan ada sebuah ketertarikan dalam tatapannya. 

“Permata, apa maksudnya ini?” Axel menggeser tatapannya ke arah Permata. “Apakah dia putraku?”

“Putramu? Sebelum dia berada di dunia ini, kamu bahkan sudah membuangnya. Ingatlah kata-katamu saat itu. ‘Itu adalah anakmu, kamu bebas melakukan apa saja kepadanya’ bukankah begitu? Sekarang kamu bertanya dia adalah putramu? Kamu terlalu hina untuk mengakuinya sebagai putramu.” 

Axel kembali menatap bocah berusia empat tahun itu dengan tatapan yang begitu hangat. Itu seperti tatapan yang dulu pernah diberikan kepada Permata saat Axel sedang berpura-pura mencintainya. Sama sekali tak peduli dengan ucapan Permata yang sudah menghinanya. 

“Nak, siapa namamu?” Axel tiba-tiba saja bertanya. 

“Angkasa Narendra.” 

“Berapa usiamu?” 

“Empat.” Angkasa bahkan menunjukkan angka dengan jari-jarinya yang kecil. 

Axel kembali menatap ke arah Permata. “Dia benar-benar putraku. Waktunya begitu cocok. Kamu tidak bisa mengelak.” 

“Siapa yang peduli dengan itu? Selama ini, aku yang membesarkannya seorang diri. Dia tak membutuhkan sosok ayah seperti dirimu. Kamu harus tahu diri untuk tidak menyebut Angkasa adalah putramu.” 

Axel menatap Permata dengan tatapan tajam. Terlihat sekali kalau lelaki itu menginginkan Angkasa untuk dirinya. Bahkan tanpa malu dia menjawab, “Aku juga berhak atas dirinya. Aku adalah ayahnya.” 

“Bermimpilah sesukamu. Sampai mati pun, aku tidak akan membiarkan dirimu mencuri dia dari tanganku.” 

Permata dengan cekatan mengangkat Angkasa dan menggendongnya. Tanpa mengatakan apa pun, perempuan itu pergi dari hadapan Axel. Membawa putranya meninggalkan tempat itu secepat yang dia bisa karena tidak ingin Axel mengambil Angkasa dari tangannya. Tapi seolah Axel berada di mana-mana, Permata selalu bertemu dengan Axel ke mana pun dia pergi. Permata seolah terjebak. 

Angkasa ditarik oleh Axel dari gendongan Permata membuat perempuan itu berteriak kuat. Sekuat mungkin dia menahan Angkasa untuk tetap berada dalam pelukannya. 

“Lepaskan, Angkasa. Dia putraku. Kamu tidak berhak mengambilnya!” 

“Mami … Mami ….” 

“Lepaskan, Axel!”

“Aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku akan mengambil dia darimu. Dia adalah putraku.”

“Tidak. Enyahlah!” 

Namun semakin Permata mencegah dan menahan agar Angkasa tetap berada dalam pelukannya, Axel mampu mengambil Angkasa dari tangannya. Lelaki itu membawa lari Angkasa dengan cepat takut Permata bisa mengejarnya. 

“Tidak … kembalikan Angkasa kepadaku. Kembalikan putraku. Tidak … tidak … jangan ambil dia dariku … tidak!” 

Permata diselimuti keringat di tubuhnya meskipun AC menyala dingin. Perempuan itu terbangun dengan nafas memburu. Kepalanya menoleh ke sana- kemari dan dia berada di dalam kamarnya. 

“Mimpi?” tanyanya pada keheningan malam. 

Meskipun itu mimpi, Permata buru-buru keluar dari kamarnya menuju ke kamar Angkasa untuk memastikan putranya masih berada di sana. Dia mendekat ke arah ranjang dan sosok kecil itu berbaring di atasnya dengan nafas teratur. Permata terduduk di lantai tepat di samping ranjang Angkasa dengan tubuh lunglai. 

Mimpi itu sangat mengerikan. Apa itu sebuah pertanda jika dia harus menyembunyikan Angkasa serapat mungkin untuk menghindari masalah seperti ini terjadi? 

Permata menatap Angkasa dan mengelus wajah kecil bocah itu. Kecupan kecil disematkan di pipi Angkasa dengan lembut takut mengganggu istirahat putranya. Tiba-tiba saja, air mata Permata menetes tanpa bisa dicegah. Dia meletakkan tangannya di atas tubuh Angkasa sambil bergumam,

“Mami janji akan membuat kamu aman, Sayang. Tidak ada yang bisa memisahkan kamu dari Mami, bahkan ayahmu sekalipun.” 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status