Berlian mengangguk lemah, masih menangis. Berlian melihat semua itu dengan mata basah, tubuhnya masih gemetaran.
Ny Inara meraih Alif dan mengusap lembut kepala bayi itu yang masih sesenggukan.Berlian menoleh ke arah Pak Rudi yang berdiri dengan pelipis berdarah tapi tersenyum lega.“Saya baik-baik saja, Mbak. Yang penting kalian selamat.”Beberapa menit kemudian, Kaivan dan ayahnya tiba di lokasi dengan mobil berbeda. Wajah Kaivan langsung berubah muram saat melihat kondisi Bunda, Berlian dan Alif.“Berlian!” teriak Kaivan, langsung berlari menghampiri.Berlian menoleh dan tanpa sadar langsung terisak.“Maaf, saya gak bisa jaga Alif baik-baik.” bisiknya.“Ini bukan salah kamu. Aku janji akan cari tau siapa mereka.” ucap Kaivan sambil mengepalkan tangannya.***Malam harinya di ruang kerja Kaivan ...Kaivan berdiri di depan layar besar. Bukan rekaman mall yang diputar, tapi hasil rekaJalanan perumahan elit tampak sepi, hanya lampu-lampu taman yang berderet di sisi kiri-kanan. Mobil yang dikemudikan Kaivan melaju tenang.Di kursi belakang, Ny. Inara duduk dengan Alif di pangkuannya. Berlian di sebelahnya, sesekali membantu membetulkan selimut kecil untuk anak itu.“Bunda pasti capek ikut kita seharian,” ucap Berlian pelan, mencoba mencairkan suasana.Ny. Inara tersenyum tipis. “Capek sedikit tidak apa-apa. Bunda senang melihat Alif lebih ceria.”Berlian mengangguk pelan. Kaivan yang fokus menyetir hanya melirik lewat kaca spion. Wajahnya tetap datar, namun sesekali tatapannya bergeser pada Berlian.Mobil berhenti di depan rumah besar milik Ny. Inara. “Bunda hati-hati. Kalau butuh sesuatu, telepon saya,” kata Kaivan sambil keluar untuk membukakan pintu.Ny. Inara turun, lalu menepuk bahu putranya. “Kamu juga hati-hati di jalan, Van. Jangan terlalu keras pada diri sendiri dan juga pada Berlia
Leo menoleh, matanya merah dan basah, “Tapi, Ma, Alif itu anakku. Berlian juga ... Aaargh! Aku sudah kehilangan semuanya! Bisnis, rumah, sekarang dia pun hilang …” Bu Rahayu tak sanggup berkata apa-apa. Ia hanya mengelus punggung anaknya. Ia tahu, luka ini tak akan sembuh dalam sehari. Dan ia pun sadar, mungkin anaknya sedang menjalani hukuman dari kesalahan masa lalunya. *** Beberapa hari berlalu ... Pagi itu, Leo terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya masih sembab, namun ada tekad baru yang perlahan tumbuh di dadanya. Ia mengambil wudhu, lalu memutuskan untuk pergi ke masjid dekat kontrakan. Suara adzan subuh berkumandang, menyatu dengan dinginnya udara pagi. Di masjid, Leo ikut shalat berjamaah. Saat sujud terakhir, bulir bening di matanya jatuh ke sajadah. "Ya Allah, ampuni aku. Aku sudah terlalu jauh tersesat. Aku tak mau kehilangan-Mu lagi," bisiknya lirih. Selesai dz
Part 37Malam itu, kamar terasa hening hanya ditemani suara detak jam di dinding. Berlian duduk di tepi ranjang, menunduk, raut wajahnya masih terlihat shock dan sedih usai pertemuan dengan Leo tadi.Pintu kamar terbuka pelan. Kaivan masuk, menutup pintu, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di samping Berlian, “Berlian …” panggilnya lirih.Berlian tak langsung menoleh, hanya mengangkat sedikit wajahnya. “Ya?” sahutnya nyaris berbisik.Kaivan menarik napas panjang, menatap kosong ke depan. “Aku ingin kau tahu tentang Alif. Waktu itu, aku sedang hancur karena Bayi kami meninggal tak lama setelah lahir. Dan setelah melahirkan Rania ia terus menanyai bayinya, saak kubilang bayinya meninggal dia tak percaya, depresi. Dan di saat yang bersamaan, Leo …” Kaivan menelan ludah, nada suaranya terdengar berat. "Leo mau membuang bayi yang baru saja lahir darimu. Aku tak tega. Jadi, aku memutuskan mengadopsinya. Aku membayar sejumla
Hari-hari di kontrakan sempit itu terasa seperti dunia baru bagi Leo dan ibunya. Setiap pagi, Leo keluar tanpa tujuan jelas. Kadang ia mencoba mencari peluang pekerjaan atau menjual jasa, kadang hanya berjalan menyusuri jalanan kota. Siang itu, kakinya membawanya ke sebuah lapangan kecil di dekat pasar. Di tengah lapangan, ada panggung sederhana dengan pengeras suara, dan seorang ustadz sedang berceramah di hadapan sekelompok orang.Leo berdiri di pinggir jalan, hanya ingin mengistirahatkan kakinya, tapi satu kalimat sang ustadz membuatnya terpaku.“Beda istri, beda rezeki. Ada istri yang menjadi ladang keberkahan, membuat rumah tangga tenteram dan rezeki mengalir. Tapi ada pula yang justru menjadi ujian berat, menguras tenaga, harta, bahkan menjauhkan kita dari ketenangan hati.”Kata-kata itu menembus pikirannya seperti anak panah. Tanpa sadar, wajah Berlian terlintas di benaknya. Saat awal menikah dengannya, hidupnya tenang. Usahanya berkembang
Part 36Seminggu berlalu.Hari-hari itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai bagi Leo. Pagi sampai malam ia sibuk menandatangani dokumen, bertemu calon pembeli, dan memindahkan barang-barang. Rumah yang selama ini menjadi simbol keberhasilannya kini perlahan kosong satu per satu perabot keluar lewat pintu, diangkat oleh para pembeli atau tukang angkut.Sofa empuk di ruang tamu, meja makan jati, lemari besar, bahkan piring-piring keramik yang dulu dibeli bersama Berlian, semuanya pergi.Mobil hitam yang dulu sering ia pakai rapat ke luar kota pun akhirnya ia lepas. Menyerahkan kunci mobil itu ke tangan pembeli adalah salah satu momen yang membuat dadanya terasa sesak. Uang hasil penjualan langsung ia arahkan untuk melunasi sebagian besar utang ke vendor, bank, dan pihak penagihan. Namun saat semua dihitung, masih ada kekurangan besar untuk membayar pesangon karyawannya.Leo duduk di teras rumah ibunya malam itu, m
Leo memejamkan mata, menyandarkan kepala di sofa. Mereka mungkin sedang menceritakan kabar ini ke keluarganya sekarang. Anak-anak yang bertanya kenapa Ayah pulang cepat. Ibu yang menahan tangis di depan anaknya.Tiba-tiba, suara gedebuk dari depan pintu membuatnya tersentak. Ia bangkit dan berjalan pelan. Di lantai teras, sebuah amplop besar berwarna cokelat tergeletak, basah oleh hujan. Leo mengambilnya, tulisan tebal di sudut kiri atas membuat dadanya langsung berdegup kencang. TAGIHAN TERLAMBAT.Ia membuka perlahan, matanya langsung menatap sederet angka yang membuat perutnya mual. Utang vendor, cicilan alat, dan biaya sewa gedung kantor cabang yang belum lunas. Semua sudah melewati jatuh tempo.Leo menelan ludah. 'Astaga, bahkan sebelum karyawan dapat pesangon, aku harus nutup ini semua dari mana uangnya?'Ia menumpukkan amplop itu di atas dokumen lain. Tidak lama kemudian, suara notifikasi ponselnya berbunyi. Pesan dari pihak bank.