Tiba di mansion, Inara menggandeng tangan Alma yang baru bangun menaiki anak tangga kediaman megah keluarganya itu. Rafiq dan Rafa mengapit di sisi kanan dan kirinya.
Di belakang mereka, tampak bodyguard dan Suster Liana mengikuti dengan raut yang tampak tegang seolah pasrah menerima nasib mereka setelah ini.Begitu pintu utama terbuka, mereka disambut oleh pemandangan para pelayan yang berdiri berjajar dengan kepala tertunduk. Di tengah ruang tamu megah itu, Pak Baskara duduk di kursi utama dengan sorot matanya yang tajam, sedangkan Bu Anastasia berdiri di sampingnya.Melihat Alma, ia langsung berlari menghampiri sang cucu. Mendekapnya erat seakan menunjukkan sikap takut kehilangan, lalu dengan suara parau berkata, “Alma ... ya Tuhan, kamu tidak apa-apa, Sayang? Apa ada yang terluka?”Alma menggeleng cepat. “Enggak, Oma. Alma baik-baik aja. Untungnya Papa, Bunda, dan semuanya cepat datang tolongin Alma.”“Syukurlah kalau begitu, SayangDamian mematung dengan pandangan keluar jendela selama dalam perjalanan pulang. Meskipun begitu, gemerlap jalanan kota tak sedikit pun menarik perhatiannya. Di sebelahnya, suara riuh Selena yang sibuk menyusun daftar pernikahan terdengar seperti dengungan kosong baginya.“Dam, aku sudah hubungi bridal planner. Biar semuanya cepat. Aku mau semuanya sempurna, Mas. Sudah lama aku menantikan saat-saat ini,” ujarnya sambil memeluk tangan Damian dan meletakkan kepalanya di bahu pria itu.Namun, Damian tidak menjawab, tetap menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dalam diam, rahangnya mengeras, begitu tangannya yang sontak mengepal kuat. Di pikirannya terbayang wajah kecewa Alma saat ia menolak ajakan putrinya tadi, karena Selena tiba-tiba menariknya seolah dia barang miliknya.Diamnya Damian, tak membuat Selena menyerah. Dia tetap antusias berbicara. “Mas, jangan diam terus, dong. Kamu juga harus memikirkan masa depan kita. Tiga hari lagi kita me
Jauh di sana, Inara duduk di tepi ranjang, membantu Alma berbaring, lalu menarik selimut hingga menutupi hingga ke bahu sang putri. Dielusnya lembut rambut hitam Alma yang masih agak kusut karena kejadian hari ini. Hatinya mencelos tiap kali mengingat betapa nyaris ia kehilangan gadis kecil itu.“Alma, dengar Bunda ya, Sayang ...,” ucap Inara pelan, “Lain kali, kamu tidak boleh sembarangan ikut sama orang asing, apalagi kalau tidak bilang dulu ke Bunda. Bukannya Papa dan Bunda selalu peringati kalau mau ke mana-mana harus izin orang tua. Bunda bisa sangat sedih kalau kamu kenapa-kenapa, Sayang.”Alma mengangguk kecil, matanya memerah merasa bersalah pada sang bunda. “Maaf, Bunda ...,” gumamnya lirih.Inara menghela napas. “Memangnya kenapa kamu bisa ikut mereka, hm?”Alma menggigit bibirnya. “Soalnya … Om Dodi sama Om Jalu bilang disuruh Papa jemput Alma, makanya Alma percaya saja. Lagian, Suster Liana lama banget tidak datang. Jadi, Alm
“Mas, kamu ini bagaimana? Aku memintamu agar menjemput Alma, tapi kenapa tak dijemput?” Suara Inara yang tak bisa menahan rasa kecewa dan marah langsung menyerang telinga Damian begitu masuk ke rumah.Suami Inara itu membuang napas berat, menaruh tas kerjanya di meja, sebelum menghempaskan tubuh ke sofa, lalu berkata dengan santai. “Aku tadi ada urusan mendesak, Ra. Maaf.”“Urusan mendesak yang lebih penting dari anakmu sendiri?!” Nada suara Inara sedikit meninggi kali ini. Raut wajah yang biasanya tenang kini memerah, menahan emosi yang siap meledak kapan saja. “Sebelumnya kamu bilang bisa. Aku sudah percaya padamu.”Damian mengusap wajahnya dengan kasar. “Iya, aku tau, tapi ....” Suaranya tercekat. Ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya terasa terhenti di tenggorokan.“Padahal aku hanya minta tolong karena harus ke rumah sakit.” Inara menggeleng kecewa. Jika kakinya tak tertusuk paku yang cukup dalam, ia jelas akan menjemput putrinya tanpa harus meminta bantuan sang suami, tapi ap
“Bunda?”“Kita tunggu sebentar lagi, ya, Sayang.” Inara yang tak mau mengecewakan sang putri yang sangat menginginkan kehadiran papanya pun terpaksa memberinya sedikit harapan. Untungnya, Alma mengangguk kecil. Beralih duduk di sofa sambil menopang wajah dengan kedua tangan. Sesekali, memajukan bibir bawah dengan mata yang mulai berkaca-kaca, menandakan kalau ia benar-benar sedang bersedih.“Kasihan kamu, Nak,” ucap Inara dalam hati. Ditatapnya pintu depan, berharap sosok kepala keluarga itu muncul dengan alasan yang bisa diterima.Akan tetapi, sepertinya ini hanya khayalan belaka karena Damian mungkin kembali melewatkan kebersamaan mereka kali ini.Inara lantas mendekati lalu mengusap-usap rambut Alma dengan lembut sambil berkata, “Kita potong aja kuenya sekarang. Mau, enggak? Nanti Papa menyusul.”“Tapi, Bunda ... Papa udah janji akan pulang cepat dan rayain ulang tahunku sama-sama.” Suara Alma lemah dan bergetar. Inara pun tahu kalau putrinya berusaha menahan tangis.Tak ada yang
Setelah beberapa saat, Damian kembali ke hadapan Inara dengan raut cemas. “Sayang, aku harus keluar sebentar.” “Selena lagi?” Inara mencoba menebak. Dan, diamnya Damian membuatnya langsung bisa menyimpulkan kalau dugaannya memang benar. Selalu saja begitu, ‘kan? “Anaknya Selena jatuh dari sepeda, Ra. Dia terluka dan butuh dibawa ke rumah sakit, tapi mobilnya masih di bengkel. Jadi, dia minta tolong aku untuk mengantarnya dulu,” jelas Damian, berharap sang istri memahaminya. “Kenapa harus kamu?” “Kamu tau sendiri kalau Selena sudah enggak punya siapa-siapa di sini, Ra.” Inara menggeleng kuat-kuat. Tak habis pikir lagi dengan sikap Damian yang seakan-akan mementingkan membantu mantan kekasihnya daripada menghabiskan waktu bersama keluarganya sendiri. “Kamu pikir aku dan Alma punya siapa-siapa di sini selain kamu? Putrimu hanya ingin menghabiskan waktu denganmu di hari libur, loh, Mas. Mau kamu merusak kebahagiaannya lagi? Kamu lupa tadi malam aku susah payah membujuknya, meny
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil cukup sunyi. Alma sibuk memeluk kelinci mainan barunya, sedangkan Inara memandang jalan dengan tatapan kosong.Bayangan Damian bersama Selena dan bocah laki-laki itu terus terputar di kepalanya. Mereka terlihat bahagia sekali. Namun, bukankah Damian bilang akan mengantarnya ke rumah sakit? Lantas, mengapa mereka ada di mal?Hati Inara sakit mengingat pemandangan itu, tetapi dia menahan setiap emosi agar tidak terlihat oleh putrinya.Tiba di rumah, Inara langsung membawa Alma ke kamarnya. “Sayang, kamu istirahat dulu, ya. Pasti capek dari jalan-jalan.”Alma mengangguk, setidaknya raut wajahnya sudah tak lagi menyiratkan kesedihan seperti tadi. “Oke, Bunda.”Setelah memastikan sang putri nyaman di tempat tidurnya. Inara menutup pintu kamar dengan perlahan, kemudian melangkah ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Alma.Sampai di kamar, dia bersandar di balik pintu, menatap kosong ke arah lantai. Napasnya berat, pikirannya sangat kacau, tetapi
Di depan pintu kamarnya, Inara berdiri mematung. Tangannya gemetar saat menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isakan yang hampir meluncur dari bibirnya. Hatinya hancur oleh sikap suaminya sendiri yang seakan-akan tak bisa menentukan pilihan.“Bunda ....”Inara terkejut. Cepat-cepat berbalik dan melihat Alma sudah berdiri di hadapannya, memeluk boneka kelinci barunya dengan tatapan bingung.“Kenapa Bunda menangis? Bunda bertengkar sama Papa?” tanya Alma dengan raut polos, matanya menatap langsung ke arah ibunya.Inara tergagap, mencoba mencari alasan tepat. Dia menggeleng, kemudian berjongkok agar sejajar dengan Alma.Sambil tersenyum sedikit terpaksa, Inara menjawab, “Enggak, kok, Sayang. Bunda cuma kelilipan aja, tadi ada hewan kecil yang masuk mata Bunda.”Alma terlihat ragu dengan jawaban Inara sebelum akhirnya berkata, “Bunda ... Alma enggak apa-apa, kok, kalau Papa belum punya waktu buat main sama Alma.”Kata-kata itu seakan-akan
Pintu rumah terbuka perlahan. Damian masuk dengan langkah pelan agar suara langkahnya tak membangunkan siapa pun.Hanya saja, langkahnya mendadak terhenti saat melihat lampu ruang tamu ternyata menyala. Di sana, istrinya duduk dengan wajah datar, kedua tangannya dilipat di depan dada.Pemandangan itu, seketika membuat Damian canggung. Bukankah tadi, Inara sudah tidur ketika ia pergi?“Ra? Kenapa kamu belum tidur?” Damian memberanikan diri bertanya.Wanita itu bangkit dari sofa, menatap Damian tajam. “Aku bangun karena mendapati kamu tidak ada di kamar. Malam-malam begini pergi ke mana kamu dan baru pulang saat sudah dini hari?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.Damian terdiam sejenak, jelas tidak menyangka kalau akan dihantam dengan pertanyaan itu. Sebelumnya, dia berpikir kalau Inara akan tetap tidur ketika ia kembali, seperti saat memutuskan diam-diam keluar dari rumah tadi.Dia berdehem pelan, terlihat berpikir sebelum akhirnya menjawab, “Tadi tiba-tiba sekretarisku telepon, katan
Jauh di sana, Inara duduk di tepi ranjang, membantu Alma berbaring, lalu menarik selimut hingga menutupi hingga ke bahu sang putri. Dielusnya lembut rambut hitam Alma yang masih agak kusut karena kejadian hari ini. Hatinya mencelos tiap kali mengingat betapa nyaris ia kehilangan gadis kecil itu.“Alma, dengar Bunda ya, Sayang ...,” ucap Inara pelan, “Lain kali, kamu tidak boleh sembarangan ikut sama orang asing, apalagi kalau tidak bilang dulu ke Bunda. Bukannya Papa dan Bunda selalu peringati kalau mau ke mana-mana harus izin orang tua. Bunda bisa sangat sedih kalau kamu kenapa-kenapa, Sayang.”Alma mengangguk kecil, matanya memerah merasa bersalah pada sang bunda. “Maaf, Bunda ...,” gumamnya lirih.Inara menghela napas. “Memangnya kenapa kamu bisa ikut mereka, hm?”Alma menggigit bibirnya. “Soalnya … Om Dodi sama Om Jalu bilang disuruh Papa jemput Alma, makanya Alma percaya saja. Lagian, Suster Liana lama banget tidak datang. Jadi, Alm
Damian mematung dengan pandangan keluar jendela selama dalam perjalanan pulang. Meskipun begitu, gemerlap jalanan kota tak sedikit pun menarik perhatiannya. Di sebelahnya, suara riuh Selena yang sibuk menyusun daftar pernikahan terdengar seperti dengungan kosong baginya.“Dam, aku sudah hubungi bridal planner. Biar semuanya cepat. Aku mau semuanya sempurna, Mas. Sudah lama aku menantikan saat-saat ini,” ujarnya sambil memeluk tangan Damian dan meletakkan kepalanya di bahu pria itu.Namun, Damian tidak menjawab, tetap menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Dalam diam, rahangnya mengeras, begitu tangannya yang sontak mengepal kuat. Di pikirannya terbayang wajah kecewa Alma saat ia menolak ajakan putrinya tadi, karena Selena tiba-tiba menariknya seolah dia barang miliknya.Diamnya Damian, tak membuat Selena menyerah. Dia tetap antusias berbicara. “Mas, jangan diam terus, dong. Kamu juga harus memikirkan masa depan kita. Tiga hari lagi kita me
Tiba di mansion, Inara menggandeng tangan Alma yang baru bangun menaiki anak tangga kediaman megah keluarganya itu. Rafiq dan Rafa mengapit di sisi kanan dan kirinya. Di belakang mereka, tampak bodyguard dan Suster Liana mengikuti dengan raut yang tampak tegang seolah pasrah menerima nasib mereka setelah ini. Begitu pintu utama terbuka, mereka disambut oleh pemandangan para pelayan yang berdiri berjajar dengan kepala tertunduk. Di tengah ruang tamu megah itu, Pak Baskara duduk di kursi utama dengan sorot matanya yang tajam, sedangkan Bu Anastasia berdiri di sampingnya.Melihat Alma, ia langsung berlari menghampiri sang cucu. Mendekapnya erat seakan menunjukkan sikap takut kehilangan, lalu dengan suara parau berkata, “Alma ... ya Tuhan, kamu tidak apa-apa, Sayang? Apa ada yang terluka?”Alma menggeleng cepat. “Enggak, Oma. Alma baik-baik aja. Untungnya Papa, Bunda, dan semuanya cepat datang tolongin Alma.”“Syukurlah kalau begitu, Sayang
Inara menoleh pada Daffa yang berdiri tak jauh darinya. Kini, mereka sudah bersiap untuk pulang setelah misi penyelamatan Alma berhasil. Mata Inara masih sembab, tetapi kini perasaannya sudah lebih tenang karena Alma akhirnya berhasil ditemukan dengan selamat. “Kak Daffa ... terima kasih sudah menyelamatkan Alma tadi,” ucapnya lirih dan terdengar sangat tulus, meskipun enggan menatap wajah Daffa. Luka kemarin yang ditorehkan pria itu masih membekas di dasar hatinya dan cukup untuk mengusiknya. “Tidak masalah, Ra.” Daffa menyela sambil tersenyum percaya diri. “Aku tidak akan biarin siapa pun menyakiti Alma atau kamu.”Inara mengangguk pelan. “Aku tau masalah kita cukup rumit … rumit, tapi terlepas dari semua itu, aku berutang nyawa Alma padamu.”Daffa tertawa pelan, menyilangkan tangan di dada. “Kamu jangan berkata seperti itu, Inara. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”Ekspresi Daffa berubah menjadi se
“Jangan!” Semua orang berteriak panik. Inara sampai menutup mulut sambil menjerit, tubuhnya gemetar, lututnya nyaris rubuh. Tak akan pernah siap melihat Alma kenapa-kenapa. Matanya tak berkedip menatap anak semata wayangnya yang berdiri di ujung rooftop, di bawah cengkeraman seorang wanita tak waras yang dulu juga pernah menghancurkan keluarganya. Namun, ia tidak ada daya untuk melakukan sesuatu. Sementara itu, Damian, Rafiq, dan Rafa kompak bergerak maju. Naluri mereka sama, yakni menyelamatkan Alma, tetapi langkah mereka seketika terhenti ketika melihat tubuh Alma hanya tersentak sedikit. Tidak sampai jatuh. Selena hanya mendorong pelan, cukup sebagai peringatan dan ancaman, tetapi cukup untuk membuat jantung semua orang di sana hampir copot. Tangannya masih menggenggam erat lengan Alma. “Selena! Lepaskan Alma! Jangan main-main dengan nyawa keponakanku!” bentak Rafa, wajahnya merah padam karena marah juga panik. Akan tetapi, Selena hanya menyeringai. Sama sekali tak meras
Angin sore itu meniup lembut rambut Alma yang duduk di dekat pagar besi berkarat. Bukannya menangis atau ketakutan seperti anak seusianya ... Alma malah tampak kesal karena disuruh duduk di tempat berbahaya itu sejak tiba tadi.Mulanya, ia pikir akan dibawa ke restoran, rumah atau apa gitu yang elit-elit. Tahu-tahu dibawa ke tempat kayak gini. Entah apa yang menarik di sini? Bibir Alma mengerucut sebal. “Om, Alma mau turun! Anginnya kenceng, nanti Alma masuk angin. Kalau Alma sakit, Om harus tanggung jawab, loh!” gerutunya sambil menyilangkan tangan kecilnya di depan dada. Jalu menahan napas, melirik Dodi yang memegang ponsel setelah memotret Alma diam-diam, hanya bisa mengusap wajah penuh frustrasi.“Bocah ini … bisa-bisanya ngancem kita.”“Alma haus juga! Mau jus strawberry. Kalau enggak ada, biar Alma yang pergi cari sendiri!” Alma mengancam dengan nada lucu dan polosnya. Dodi langsung panik. Ia mendekat ke arah Alma dan Ja
Di dalam mobil yang terus melaju itu, Alma mulai gelisah. Ia celingak-celinguk melihat keluar jendela. Wajahnya manyun karena bosan sedari tadi naik mobil, tetapi tidak sampai-sampai ke tujuan. Malah, Alma ngerasa mobil hanya berputar-putar tidak jelas di jalan yang sama.“Om, ini jalannya muter-muter terus. Kapan sampainya kita, sih?” gerutunya sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. “Pusing Alma naik mobil terus. Lama-lama, Alma muntahin, loh, mobil, Om.”Dodi dan Jalu langsung melotot, saling melempar pandang. “Eh, jangan! Jangan muntah di sini!” seru Dodi panik, sontak menoleh ke belakang. “Nanti muntah kamu bau amisnya kek ikan asin dicampur nasi basi!” “Iya, ih. Jangan jorok di sini!” Jalu mencebik. Betapa tak kuat ia membayangkan membersihkan mobil karena muntah Alma. Ah, baru membayangkan saja ia sudah jijik.Dodi buru-buru menurunkan kaca jendela, berharap angin bisa mendinginkan perut bocah lima tahun itu agar t
“Om! Berhenti! Berhenti!” Alma tiba-tiba berteriak dari jok belakang mobil.Sebab, teriakan nan melengking itu membuat Dodi yang menyetir langsung ngerem mendadak. Jidat Jalu sampai kejedot Dashboard dan kepala Alma bertabrakan dengan kursi Jalu.“Astaga, ini bocah! Kenapa, sih, pake teriak-teriak segala? Kamu pikir ini angkot, hah?!” serunya kesal, tetapi juga terlihat panik. Gara-gara Alma yang berteriak sembarangan, kendaraan lain di belakang membunyikan klakson, bahkan ada yang nyaris menabrak pantat mobil.Jalu mengusap jidat sambil menoleh pada Alma. “Ada apa lagi, Alma?”Alma menggigit bibir bawahnya, lalu menatap keduanya bergantian dengan wajah memelas. “Alma ... mau pipis,” katanya akhirnya.Dodi menepuk jidatnya keras-keras. “Astaga, bocah lukcnut! Dari tadi diem, giliran jauh dari rest area baru ngomong!” keluhnya. Entah berapa tingkat lagi stok kesabarannya menghadapi Alma.“Ya kan, tadi belum kerasa, Om. S
Deru mobil berhenti mendadak di depan gerbang sekolah. Andrew buru-buru turun dan membuka pintu untuk sang atasan. Damian turun lebih dulu, walau kakinya masih sedikit sakit, ia tetap siaga menyambut Inara turun dari mobilnya. Dia kasihan, wajah wanita itu pucat. Matanya sembap, bahkan tubuhnya sangat lemas seolah jiwanya ikut melayang bersama hilangnya sang putri.Mereka berganung dengan Arvin, Genta, Suster Liana, dan yang lainnya yang lebih dulu tiba.Melihat kedatangan Inara, guru Alma terlihat sangat gelisah. Wajahnya memdadak pucat.“Bu Inara, saya mohon maaf … saya benar-benar tidak menyangka kalau kejadiannya bakal seperti itu.” Suara wanita itu terdengar berat. “Orang itu bilang utusan papanya Alma, terus Alma percaya saja, dan saya pikir Alma mengenalnya. Tidak taunya malah seperti ini. Saya sangat bersalah dan menyesal, Bu. Saya tidak teliti.”Inara menunduk, tak bisa berkata-kata. Lututnya lemas. Damian refleks menopangnya, m