“Apa? Scopolamine?”
Damian terkejut saat dokter menyebut jenis obat antikolinergik yang bisa menyebabkan disorientasi dan kehilangan memori sementara. Biasanya digunakan secara medis untuk mengatasi mabuk perjalanan atau mual hebat.Namun, di balik fungsinya, juga bisa disalahgunakan sebagai obat penenang atau bahkan alat untuk mengontrol seseorang. Sebab, efeknya bisa membuat kehilangan kesadaran dalam waktu tertentu.“Benar, Pak. Pasien saat ini masih dalam pengaruh obat. Namun, sudah mulai masa pemulihan, karena efek obat mulai keluar dari sistem tubuhnya. Kami sudah melakukan pemeriksaan, dan untungnya dosis obatnya tidak terlalu berat. Tinggal menunggu kesadarannya pulih sepenuhnya.”Damian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras. Marah. Dia tahu Daffa punya niat buruk pada Inara sampai tega melakukan semua itu.“Kurang ajar kamu, Daffa!” geram Damian dalam hatinya.Setelah dokter pamit pergi, Damian masuk kKeesokan harinya, langit begitu cerah ketika mobil Damian berhenti perlahan di halaman mansion keluarga Wardhana. Dia mengantar Inara pulang setelah dirawat semalaman di rumah sakit. Begitu mobil berhenti sempurna, Andrew lalu turun dan membuka pintu bagian tengah mobil di mana Damian dan Inara berada. Damian turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya, hendak membantu Inara turun.“Ayo, aku antar ke dalam,” kata Damian. Tersenyum begitu tulus, bahkan Inara tak bisa menyangkal hal itu. Hanya saja, ia terpaksa menolak. “Tidak perlu, Mas Dam.”Damian mengernyit, cukup kecewa dengan keputusan Inara yang seolah-olah melarangnya datang. Apa karena Inara merasa statusnya sudah jauh di atas Damian?“Kenapa? Kamu tidak ingin aku ke tempatmu?”“Bukan begitu, Mas, tapi Ayah mungkin tidak akan menyukai keberadaanmu.”Ya, Inara jujur hal itu. Selama ini, ayahnya selalu memandang buruk Damian. Jadi, mungkin Dam
“Apa? Scopolamine?” Damian terkejut saat dokter menyebut jenis obat antikolinergik yang bisa menyebabkan disorientasi dan kehilangan memori sementara. Biasanya digunakan secara medis untuk mengatasi mabuk perjalanan atau mual hebat.Namun, di balik fungsinya, juga bisa disalahgunakan sebagai obat penenang atau bahkan alat untuk mengontrol seseorang. Sebab, efeknya bisa membuat kehilangan kesadaran dalam waktu tertentu.“Benar, Pak. Pasien saat ini masih dalam pengaruh obat. Namun, sudah mulai masa pemulihan, karena efek obat mulai keluar dari sistem tubuhnya. Kami sudah melakukan pemeriksaan, dan untungnya dosis obatnya tidak terlalu berat. Tinggal menunggu kesadarannya pulih sepenuhnya.”Damian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras. Marah. Dia tahu Daffa punya niat buruk pada Inara sampai tega melakukan semua itu.“Kurang ajar kamu, Daffa!” geram Damian dalam hatinya.Setelah dokter pamit pergi, Damian masuk k
Di sudut lain, tubuh Daffa juga terhempas ke lantai beton basement hotel. Napasnya memburu. Wajahnya sudah lebam, bahkan terlihat darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Andrew berdiri tak jauh darinya, masih dalam posisi waspada. Sayangnya, ia tak menyadari satu hal ....Benda tajam tadi.Pandangan Daffa mulai terarah pada kilauan logam yang tak jauh dari tangan kirinya itu. Secepat kilat, ia menyeret tubuhnya, meraih senjata itu, lalu bangkit dengan mata berkilat marah, seolah siap menebas siapa pun yang mencoba menghalangi niatnya.Tatapannya tertuju pada Damian yang tengah memeluk Inara dan berusaha menyadarkannya. Langkahnya cepat, sedikit berlari menuju mereka. Melihat itu, Andrew membulatkan mata dan sontak berteriak, “Pak Damian, awas!”Damian berbalik, melihat Daffa berlari cepat ke arahnya. Tangannya terangkat hendak menusuknya, tetapi ia sigap membawa Inara menghindar dengan gerakan berputar. Tak sampai di situ, Daffa tak menyerah. Pria itu kembali berlari ke arah mere
Asap rokok kini mengepul pelan dari bibir Daffa. Jemarinya menggenggam batang rokok dengan santai, sementara tubuh Inara yang lemah bersandar di bahunya. Tak lama kemudian, dua pria berbadan tinggi besar dan satu lagi sedikit gendut, menghampirinya. “Kamar sudah dibereskan sesuai request Bapak. Ada yang perlu kami siapkan lagi?” tanya salah satu dari mereka. Daffa menyeringai puas. Mengembuskan napas rokok terakhir sebelum melempar puntungnya ke lantai dan diinjak. “Tidak perlu. Dia sudah tidak sadar. Aku sendiri yang bakal urus dia malam ini.” Tawa kecil yang penuh kemenangan itu lolos dari mulutnya. Wajahnya terlihat seperti seseorang yang baru saja berhasil memiliki apa yang selama ini dia kejar. “Akhirnya kamu jadi milikku juga, Ra. Cara lembut sudah tidak berhasil, jadi sekarang ... ya, aku pakai cara yang lebih cepat,” gumamnya sambil menyerahkan bobot Inara yang tak berdaya itu pada salah satu anak buahnya. Mereka kini, mulai berjalan menuju lift akses privat hotel
Sementara itu, Selena masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak pucat dan bibirnya kering.Damian berdiri di sisi ranjang, tangan dimasukkan ke saku celana. Ekspresinya kaku, seperti kanebo kering.Selang beberapa saat, Selena perlahan membuka mata. Samar, tetapi begitu melihat Damian, sudut bibirnya langsung tertarik ke belakang. Senang melihat pria itu mendampinginya di saat seperti ini. Tangan kanannya yang lemah terangkat, mencoba menggenggam jemari Damian.“Terima kasih,” gumam Selena dengan suara serak. “Aku tau kamu pasti datang. Aku tau kamu tidak akan bisa diam saja melihatku kesakitan. Aku ....”“Aku tau, kami masih peduli padaku,” ujarnya sambil tersenyum penuh harap.Hanya saja, seketika harapan itu runtuh ketika Damian menarik tangannya dengan sedikit kasar.“Jangan salah paham,” ucapnya pelan, tetapi terdengar menusuk seperti belati. “Aku menolongmu bukan karena kamu pantas, Selena.”
Damian kini duduk di kursi besi dingin yang berderet rapi di luar ruang tindakan. Tangannya yang besar mengusap punggung kecil Vano yang terus menangis dalam diam di sebelahnya, sesekali menarik ingusnya kembali masuk hidung.Andrew berdiri tak jauh di sisi kiri Damian, sesekali menatap arlojinya. Di seberangnya, pengasuh Vano mondar-mandir, memegangi tangan sendiri, bibirnya terlihat komat-kamit. Sedang berdoa, mungkin.Setelah beberapa saat hening, Andrew menoleh pada wanita itu dan bertanya, “Sebenarnya, apa yang terjadi tadi? Kenapa bisa sampai seperti ini?”Wanita itu berhenti, menatap Andrew dengan mata yang basah. Dia menunduk, lalu dengan ragu mengangkat dagunya. “Semua ini terjadi karena ... Pak Daffa. Dia datang ke apartemen dan mengamuk pada Bu Selena. Dan, menyalahkan atas semua yang terjadi. Saya ... saya tidak bisa menghentikannya.”Damian tidak menoleh. Ekspresinya datar mendengar pengakuan sang pengasuh. Namun, gerakan tangannya di