Share

Protes

Emosiku semakin memuncak mendengar ucapan Dokter itu. Jangan-jangan mereka berdua ada hubungan spesial, dan aku tidak tahu. Pantas saja baru saja mengenal Ningsih, mereka sudah begitu akrab. Kurang ajar.

"Justru Dokter yang akan saya laporkan ke polisi, karena sudah menggoda istri saya!" ucapku sambil membalas tatapannya dengan lebih tajam lagi.

"Sudah, sudah, Mas! Jangan membuat keributan di rumah sakit." Akhirnya Ningsih membuka suaranya.

"Pak Dokter, ijinkan saya pulang. Saya juga khawatir dengan keadaan anak saya," lanjutnya pada Dokter Reza.

"Tapi kondisi Anda masih belum stabil," jawab Dokter Reza sok perhatian.

"Tidak apa-apa, Dok. Saya bisa ambil obat jalan saja," ucap Ningsih lagi.

Dokter Reza tampak membuang napas, lalu menatapku.

"Pak, istri Bapak masih Bapak masih perlu menjalani pengobatan sampai kondisinya membaik. Jadi tolong lebih diperhatikan lagi keadaan istri Bapak," ucapnya padaku.

"Saya ini suaminya, jadi saya tahu yang terbaik untuk istri saya," jawabku.

Kesal sekali rasanya mendengar ucapannya yang sok bijak itu. Dia itu belum menikah, mana tahu rasanya menjadi pemimpin rumah tangga. Enteng sekali dia bicara.

"Ya sudah kalau begitu, saya akan memberikan resep untuk obat jalan. Silahkan tunggu dulu sebentar," ucapnya kemudian.

Aku terpaksa mengikuti Dokter Reza untuk menunggu. Setelah semuanya selesai, aku segera membawa Ningsih pulang. Pasti Mama sudah mulai kerepotan mengurus anak itu.

.

.

.

Akhirnya kami tinggal di rumah Mama, seperti permintaan Mama sebelumnya agar sementara waktu kami tinggal di rumah Mama untuk sementara sampai kesehatan Ningsih kembali pulih.

Dalam beberapa hari saja sepertinya Ningsih sudah benar-benar pulih, karena dia mulai melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Mama sepertinya cukup terbantu dengan kehadiran Ningsih. Vian juga bisa sedikit dekat dengan Neneknya. Tahu begini, seharusnya dulu aku tidak membeli rumah sendiri, biar dia juga bisa semakin dekat dengan Mama.

"Sapu yang bersih, Ningsih. Sebentar lagi pasti Mbakmu bakal datang hari Minggu begini," titah Mama.

Ningsih hanya mengangguk sambil melanjutkan pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara bel pintu berbunyi. Aku yang dari tadi duduk di ruang tamu sambil membaca koran turut menatap ke arah pintu yang dibuka oleh Mama.

"Mama," terlihat Mbak Mei langsung memeluk Mama.

Aku terkejut ketika Nella muncul dari belakang punggung Mbak Mei.

"Loh, ada Nella juga?" tanya Mama saat Nella sungkem dengannya.

"Suamiku gak bisa ikut, jadi aku mengajak Nella," jawab Mbak Mei.

Mbak Mei mengajak Nella duduk.

"Ningsih, ambilkan minuman untuk Nella," titah Mama pada Ningsih.

"Kalau boleh aku minta jus buah atau air putih saja, Mbak," ucap Nella. "Aku sedang diet."

"Kamu dengar kan, Ningsih?" ulang Mama. " Ambilkan sekalian untuk Mei dan suamimu."

"Loh, dia ini istrimu, Mas?" Nella membulatkan mata. "Maaf, aku kira pembantu."

Aku hanya meringis seraya mengangguk. Ningsih terlihat melirikku, lalu berjalan ke belakang. Sesaat kemudian dia kembali dengan nampan berisi beberapa cangkir minuman. Susah payah dia berjongkok untuk menatap minuman itu di meja.

"Lamban sekali kamu ini, Ningsih. Itu pasti karena badanmu terlalu besar," ucap Mbak Mei tanpa basa-basi.

"Sudah pasti itu," sahut Mama. "Baru diet beberapa Minggu saja pakai acara masuk rumah sakit segala."

"Masuk rumah sakit?" Mbak Mei kaget mendengar ucapan Mama.

"Aduh, Ningsih. Cuma kamu satu-satunya wanita di dunia ini yang tumbang cuma gara-gara diet. Lucu sekali kamu ini," cibirnya kemudian. "Menahan lapar sedikit aja gak sanggup. Gak bakal mati juga kali, Ningsih."

"Benar itu, Ningsih. Lihat itu Mbakmu, sampai sekarang bisa menjaga badannya tetap ideal. Itu demi menyenangkan suami juga, dan menyenangkan suami itu kewajiban seorang istri. Lain kali dengar dong kata Pak Ustadz."

Muka Ningsih terlihat merah padam, entah karena malu, entah karena menahan marah. Dia hanya diam, dengan tubuh sedikit gemetar.

"Jangan begitu dong, Tante, Mbak Mei. Gak semua wanita sanggup menjalani diet." Nella tiba-tiba menyahut.

"Kita saja yang mau-maunya tersiksa karena gak boleh makan ini itu," lanjutnya sambil tertawa.

"Kamu ini, Nella." Mbak Mei ikut-ikutan tertawa. " Ngomong-ngomong, dulu Ningsih pernah ingin jadi model, loh."

"Oh, ya?" Netra Nella membola. "Kenapa Mas Dicki tidak mendukungnya?"

Aku tersentak dan hanya nyengir mendengar pertanyaan Nella. Ningsih dulu memang pernah punya impian menjadi model. Tapi kalau sekarang rasanya mustahil impian itu akan terwujud.

"Siapa tahu ada sanggar untuk wanita-wanita big-size, Mas," lanjut Nella sambil mutup mulutnya, seperti menahan tawa.

Ucapan Nella membuat Mama dan Mbak Mei sontak ikut tertawa.

"Maaf ya Mbak Ningsih, aku cuma bercanda," ucap Nella lagi pada Ningsih.

Ningsih hanya diam mendengar candaan mereka. Tapi kedua tangannya terlihat mengepal.

"Tapi kamu memang benar, Nella," ucap Mama kemudian. "Wanita itu harus banyak berkorban. Kalau enggak, mereka gak akan pernah bisa sukses, apalagi di jaman yang serba mengutamakan penampilan seperti sekarang. Jadi Model, mimpi kali."

"Siapa bilang wanita gendut tidak bisa sukses?" tiba-tiba Ningsih menjawab.

Aku, Nella, Mbak Mei dan Mama sontak terkejut.

Ningsih berdiri, lalu menatap kami satu-persatu.

"Tidak semua wanita sukses di dunia ini berbadan langsing. Lagipula, tak ada seorang wanita pun yang buruk, baik yang gemuk ataupun kurus. Yang buruk itu mata dan mulut orang-orang yang hanya bisa mengejek mereka dari penampilan luar, padahal mereka belum tentu lebih baik!" ucap Ningsih tajam.

Mbak Mei, Mama dan Nella melongo mendengar ucapan Ningsih.

"Ningsih!" tegurku, sambil berdiri dan mendekat ke arahnya.

Ningsih beralih menatapku dengan mata elang.

"Kenapa? Mas mau protes karena aku menyebut mata dan mulut mereka buruk?" tanyanya.

"Kamu jangan mempermalukan Mama dan Kakakku di depan tamu, Ningsih," tegurku lagi.

"Jadi kalian hanya boleh mempermalukanku saja?"

"Ningsih!" bentakku.

Aku malu pada sikapnya itu, apalagi di depan Nella. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.

"Kamu itu sudah benar-benar berubah, Ningsih!"

Ningsih lagi-lagi menatapku tajam. Untuk pertama kalinya dia berani menatapku seperti itu.

"Aku yang berubah? Justru kamulah yang berubah, Mas!"

"Aku berubah? Apanya yang berubah?"

"Mas lupa, berkat siapa Mas bisa sukses seperti sekarang? Mas lupa dulu perlakuan keluarga Mas seperti apa?"

Aku tersentak kaget mendengar pertanyaannya.

"Ingat, Mas! Kalau bukan karena aku menjual tanah Bapak untuk membantu usahamu, Mas tidak akan mungkin seperti sekarang! Karena itu jugalah impianku menjadi seorang model musnah! Itu gara-gara kamu, Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status